.

.
.

Minggu, 21 Maret 2010

SEJARAH PHI KUALA TUNGKAL (BAB IV/BAG 22)

SEJARAH PHI KUALA TUNGKAL (BAB IV/BAG 22)

B. PERIODESASI PERKEMBANGAN PP PHI KUALA TUNGKAL

Sebagaimana dimaklumi, bahwa di Kuala Tungkal belum ada satu sekolah Islampun sebelum berdirinya MHI. Cikal bakal madrasah ini adalah berasal dari pengajian anak-anak pria dan wanita di rumah kediaman Guru Daud sendiri, yang kemudian Beliau bersama masyarakat membentuk sebuah madarasah (sekolah) swasta yang modern di kala itu, dengan berkelas yang memakai meja, kursi, papan tulis dan peralatan-peralatan yang praktis dipergunakan sehari-hari yang pada umumnya sudah lengkap, walapun hanya bersifat sederhana, yang merupakan usaha penyesuaian atas tradisi persekolahan yang dikembangkan oleh pemerintah Hindia-Belanda sebagai tandingan di mana khusus diberikan pengetahuan keagamaan. Mengingat struktur dan mekanismenya yang hampir sama, sekilas dapat diduga madrasah merupakan bentuk lain atau ”jelmaan” dari sekolah ala Belanda yang hanya diberi muatan dan corak ala Islam.

Masuknya pemerintah kolonial Belanda dengan membawa sistem persekolahan yang sekuler, telah melahirkan dikotomi sistem madrasah dengan sistem sekolah. Keadaan ini telah mengiring MHI menjadi terisolir dari mainstream pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah Belanda; bahkan MHI sebagai benteng perlawan terhadap pemerintah kolonial. Keadaan ini menjadi salah satu penyebab kekurang tertarikan pendidikan di MHI terhadap bidang studi umum, karena memang pada awalnya tidak terdapatnya guru bidang studi umum.

Pengajian yang dirintis oleh Guru Daud dalam rangka pembangunan dan penyebaran agama Islam di daerah ini telah menghasilkan dasar-dasar pandangan hidup yang berakar kuat dalam masyarakat Kuala Tungkal. Timbulnya golongan ulama sebagai hasil yang diperoleh melalui pengajian ini merupakan modal yang berperanan besar dalam perkembangan masyarakat di daerah ini. Melalui kelompok ulama inilah pengajian terus berkembang dan meluas.

Pada waktu itu kegiatan pendidikan dan pengajaran antara yang diselenggarakan oleh pemerintah dengan yang diselenggarakan oleh masyarakat tidak terdapat hubungan kerja sama. Apabila pendidikan swasta (keagamaan) yang merupakan bentuk baru dari pengajian mendapat dukungan dari masyarakat, maka sekolah-sekolah pemerintah tidak mendapat simpati dari masyarakat.

Untuk mengikuti perkembangan MHI (Madrasah Hidayatul Islamiyah) yang kemudian berubah nama menjadi PP PHI (Pondok Pesantren Perguruan Hidayah Islamiyah) dikarenakan memiliki lima unsur pendukung yang menjadi karakteristik sebuah pondok pesantren. Yaitu pada umumnya ditandai dengan adanya pondok (asrama), masjid, pengajaran dengan kitab-kitab Islam yang klasik, santri dan kyai. Elemen terakhir merupakan figur sentral yang menjadi motor penggerak lembaga pendidikan tradisonal Islam di Indonesia. Alangkah baiknya, marilah kita simak priodesasi perkembangan PP PHI yang terbagi menjadi 8 (delapan) periode:

1. PERIODE I (1936-1945)

Periode ini disebut dengan periode kesadaran religius dan kebangsaan. Yaitu dengan mengarahkan kepada kesadaran beragama dengan memberikan ilmu pengetahuan dasar keagamaan[1] yang tujuan utamanya adalah untuk mendidik para murid agar taat beragama menjadi orang yang bertaqwa kepada Allah SWT dan cinta tanah air. Periode ini adalah zaman peralihan dari kekuasaan Belanda ke kekuasaan Jepang.

Tidak berapa lama setelah peresmian MHI, tepatnya pada tanggal 26 September 1936 ditunjuklah secara langsung H. M. Ismail bin H. Bustami (orang tua KH. M. Said Ismail) oleh Hoofd Penghulu Jambi sebagai tenaga pengajar pertama MHI sesuai dengan Surat Keputusuan yang dikeluarkan langsung oleh Hoofd Penghulu Kersesidenan Jambi, yang kemudian di angkat oleh Guru Daud Guru sebagai Wakil Kepala madrasah pertama. Beliau adalah alumnus madrasah Nurul Iman yang tidak diragukan lagi faham keagamaannya yang lama menuntut ilmu di Makkah al-Mukarramah. Dengan dibantu beberapa guru/staff pengajar yang mana para pengajar tersebut di antaranya adalah murid-murid yang belajar di luar daerah kemudian kembali ke Kuala Tungkal.

Adapun bunyi Surat Keterangan yang dikeluarkan oleh Hoofd Penghulu Jambi tersebut sebagaimana berikut ini, tetapi telah dialihkan ke dalam bahasa Indonesia yang teks aslinya dengan berbahasa Arab Melayu:

No 4 Surat Keterangan[2]

Kami yang bertanda tangan di bawah ini menerangkan H. Ismail yang berada di Kuala Tungkal Jambi yaitu berasal dari murid Madrasah Nurul Iman Jambi di Pacinan (Jambi) menurut pendapat kami yaitu H. Ismail ada mengerti tentang lembaga agama yang sejatinya. Oleh itu patut diberikan izin oleh yang berkuasa yaitu H. Ismail mengajar di lembaga agama di Kuala Tungkal selama tidak diubahnya pengajian yang sudah dipelajarinya dalam madrasah tersebut. Demikianlah adanya, Jambi 26/9/36.

Hoofd Penghulu di Jambi Guru yang mengajar di madrasah tersebut

H. Abdushshomad ttd,

di stempel

H. Anwari Hakim

Ttd

Pasirah

Di Pasirah dan Tungkal Ilir

ttd, di stempel

Setelah dibukanya MHI, maka peran ulama dan kiyai sangatlah penting dan dominan dalam menentukan arah kebijakan MHI ke depan. Pada periode awal ini, kepemimpinan madrasah bersifat sistem manajemen tradisional, dalam arti sistem kepemimpnan tunggal dengan figur sentral seorang kiyai. Maka dibentuklah struktur organisasi madrasah.

Adapun struktur kepengurusan MHI pada masa awal berdirinya (1936) adalah: Kepala Sekolah: KH. M. Daud Arif, Wakil Kepala Sekolah: KH. Ismail Bustami, Penasehat: KH. Husin, Bendahara: KH. Amin Thohir, Penilik Sekolah: KH. M. Kasim Saleh Bestuur, Guru-guru: KH. Husin, KH. Amin Thohir, KH. M. Kasim Saleh Bestuur, KH. Abdul Karim, KH. M. Abdurrahman Hakim (anak H. Anwari Hakim), KH. Abdul Kadir, KH. Hasan. AR. Murid laki-laki: H. Muhammadan, H. Sayamsuddin, H. M. Noer, H. Hasan, H. Nafiah, Muhammadan Berahim, Abdul Hamid, Nahwu, dll. Murid perempuan: Hj. Aminah, Salasiah, Nurdiah, Maimun, Amnah, Ramlah, Norma, dll.[3]

Pada periode ini MHI mulai berkembang, yang mana semula sebuah gedung yang dibangun hanya diperuntukkan untuk murid laki-laki tidak mencukupi lagi untuk menampung murid-murid baru, karena bertambah banyak dari sebelumnya.

Pada masa-masa awalnya, sesudah berdiri MHI, untuk tingkatan sekolah pada waktu itu, pada mulanya mempunyai jenjang atau tingkatan pendidikan yang berbeda-beda, terbagi pada 3 tingkatan, yaitu Qism Awwaly (Tingkat Nol) masa belajarnya selama 2 tahun, Qism Tahdiriy (Tingkat Setengah) masa belajarnya selama 2 tahun, dan Qism Ibtida’i (Tingkat Dasar) masa belajarnya selama 2 tahun.[4] Tingkatan madrasah yang paling sederhana tidak hanya mengajarkan cara membaca huruf Arab dan al-Qur'an, di samping menyelenggarakan pelajaran langsung ke beberapa jenjang pelajaran, mengajarkan berbagai kitab fiqh, ilmu akidah dan kadang-kadang amalan sufi, di samping tata bahasa Arab (nahwu dan sharf). Madrasah yang agak modern berkelas yang memakai meja, kursi, papan tulis. Pada masa ini belum ada pemungutan uang sekolah, guru-guru mengajar hanya karena Allah semata-mata, tidak mengharapkan gaji/upah atau honorium. Walaupun MHI telah dibuka, akan tetapi, Guru Daud tetap mengadakan pengajian dikediaman Beliau.

Adapun lembaga pendidikan MHI atau dikenal dengan ”Sekolah Arab” dilaksanakan pada waktu sore hari, MHI pada mulanya adalah sekolah yang hanya mengajarkan pendidikan Islam melalui sumber asli kitab-kitab kuning yang berbahasa Arab ”Asli Arab” (Fusha) dan ”Asli Indonesia” (Melayu) sebahgai bahasa terjemahan, di tempat inilah banyak murid-murid yang memahami bahasa Arab. MHI inilah sekolah yang menjadi rival dari sekolah Belanda atau dikenal dengan ”Sekolah Latin” yang telah muncul terlebih dahulu yang hanya mengajarkan pendidikan umum atau tidak terdapat di dalamnya pelajaran agama yang dilaksanakan pada pagi hari. Terlebih lagi MHI inilah yang kiranya mewarnai masyarakat Kuala Tungkal dengan pendidikan yang sama sekali baru jika dibandingkan dengan pola pendidikan Barat yang berseberangan, tentunya dengan bahasa Belanda sebgai bahasa pengantar yang diselingi bahasa Indonesia. Dari pendidikan di sekolah Belanda inilah murid-murid yang belajar di sana dapat mengetahui bagaimanakah menulis huruf Latin. Selanjutnya dalam perjalanannya, maka terjadilah persaingan antara MHI dengan sistem ala ”Timur” versus Volkschool dengan sistem ala ”Barat”.

Karena daya tampung asrama tidak mencukupi untuk para pelajar, maka selain tinggal di asrama maka para pelajar yang jauh berasal dari kampung-kampung sekitar Tanjung Jabung yang pada mulanya tinggal di rumah-rumah penduduk di sekitar madrasah.

Pelajar atau siswa yang belajar bukan saja dalam kota, bahkan juga berasal dari parit-parit (desa-desa). Seperti Parit 2, 3, 4, 5, 6, 7, Teluk Sialang Betara, Beramitam Kanan dan Pembengis, dikarenakan hubungan jalan sudah cukup baik dewasa itu. Madrasah dibuka belajar waktu pagi hingga sampai pendudukan Jepang. Para pelajar yang berada di dekat madrasah tinggal di rumah orang tua masing-masing, dan bagi yang berasal dari daerah luar tinggal di rumah-rumah penduduk yang berada dekat dengan madrasah. Sedangkan para orang tua belajar pada malam hari dengan Guru Daud.[5]

Adapun kebutuhan kitab-kitab yang dipelajari tersebut didapatkan berasal dari pribadi Guru Daud sendiri yang mana kitab-kitab tersebut dibeli/didatangkan Singapura yang berasal terbitan Timur Tengah, kemudian murid-murid membeli kitab-kitab tersebut. Tidak ada bantuan dari pemerintah Belanda.[6]

Pada tingkatan ini yang diutamakan adalah pengajaran melalui kitab-kitab Islam klasik/Arab gundul (al-kutub al-mu'tabarah) yang berasal dari Makkah al-Mukarramah Saudi Arabia Timur Tengah. Umumnya kitab-kitab yang dipakai di MHI adalah hampir sama semuanya dengan madrasah-madrasah di Jambi yang tergabung dalam Perukunan Tsamaratul Insan, di antanya adalah:[7]

1. Nahwu (Matn al-Ajurumiyyah, al-Kawâkib al-Durriyyah)

2. Sharf (Matn al-Kailâni, Matn al-Binâ')

3. Fiqh (Fath al-Qorib, Riyâdh al-Badi'ah)

4. Tafsir (Al-Qur'an 4 juz, Al-Jalâlain)

5. Tauhid (Al-'Aqôid al-Diniyyah, Matn al-Sanusi)

6. Hadits (Al-Arba'in al-Nawâwiyyah, Al-Targhib wa al-Tarhib)

7. Manthiq (Idhôh al-Mubham)

8. Bayân (Al-Bayân)

9. Ushûl al-Fiqh (Al-Sullam)

10. Dll.

Pada masa ini boleh dikatakan perubahan kurikulum tidak ada, sebab kitab-kitab yang beredar di madrasah selalu mendapat sensor dari pemerintah Belanda. Kitab-kitab yang isinya bersifat membahayakan pemerintahannnya tidak akan diperbolehkan masuk ke Indonesia.

Boleh jadi kitab-kitab ini berasal dari cetakan-cetakan Timur Tengah yang telah lebih dulu maju, karena juga pengaruh kitab-kitab itu berasal dari ulama-ulama Timur Tengah. Lebih dari itu, sangat mungkin sekali banyak karya-karya lain yang terlupakan. Namun setidaknya koleksi tersebut menghadirkan contoh-contoh yang cukup representative mewakili seluruh bahan-bahan pelajaran yang dipakai di MHI pada waktu ini.

Dilihat dari kitab-kitab yang pertama kali diajarkan adalah kitab-kitab Arab bukan Latin (umum). Mengapa belum dimasukkannya pelajaran-pelajaran umum? Hal ini kemungkinan besar disebabkan karena latar belakang pendidikan guru-gurunya, tidak adanya guru dalam mata pelajaran umum, situasi sosial dalam lingkungan madrasah, sikap dan pandangan serta prospektif guru dan masyarakat sekitar mengenai perubahan-perubahan yang akan terjadi.

Selain itu, pada umumnya para pemimpin madrasah yang mendapat pendidikan di Saudi Arabia itu merasa sadar dengan sepenuhnya bahwa bangsanya terjajah, namun tiada kekuatan untuk melawannya, maka satu-satunya perjuangan mereka adalah lewat pendidikan itu. Oleh karena itu mereka selalu menanamkan suatu sikap benci dengan penjajah di kalangan masyarakat, sehingga dengan adanya sikap tersebut mengakibatkan adanya penilaian negatif terhadap sesuatu yang datang atau dibawa oleh penjajah. Termasuk pula disini yang berkenaan dengan masalah pendidikan umum yang diberikan/didirikan oleh orang Belanda, mereka juga tidak mau menerimanya. Oleh karena itu pada tahap pertama ini tidak diberikan sama sekali fak-fak umum di madrasah. Hal ini tidak hanya berpengaruh pada mata pelajaran saja, akan tetapi sampai masalah cara berpakaianpun dilarang menyerupai pakaian orang Belanda.

Di samping itu, secara tidak langsung, ditanamkan pula kesadaran kebangsaan, yaitu pada waktu mengajar para guru memberikan ulasan pelajaran dikaitkan dengan kesadaran berbangsa.[8] Walaupun pelajaran ini secara langsung dilarang oleh Belanda dan selalu diawasi dengan ketat. Namun demikian, di MHI tetap diajarkan walaupun Belanda tetap memberikan warning keras kepada MHI. Sebagaimana diketahui, pemerintah kolonial Belanda berusaha menekan dan mendeskriditkan pendidikan Islam yang dikelola oleh pribumi. Penyelenggaraan pendidikan Islam di Indonesia menurut pemerintah kolonial Belanda terlalu jelek dan tidak memungkinkan untuk menjadi sekolah-sekolah modern. Oleh karena itu, mereka mengambil alternatif kedua, yaitu mendirikan sekolah-sekolah sendiri yang tidak ada hubungannya dengan lembaga pendidikan yang telah ada.

Adapun indikator-indikator dari adanya ajaran kesadaran kebangsaan di MHI yang menumbuhkan rasa perjuangan rakyat ketika itu, yaitu ditandai dengan munculnya cinta beragama dan tanah air, sebab yang memimpin perjuangan pertama-tama adalah Beliau, selain dengan cara tabligh dilakukan pula antara lain dengan cara:[9]

1. Lagu-lagu wajib yang sering dinyanyikan liriknya mengandung kesadaran berbangsa, seperti; “wahai umat Islam Indonesia, bangunlah kita tampil kemuka, Islamlah dasar kita bekerja, dalam memperjaya agama dan bangsa”, satu lagu yang bernafaskan perjuangan yang menjadi mars MHI. Berikut ini 2 (dua) lagu mars MHI yang telah dialihkan ke dalam bahasa Indonesia yang teks aslinya dengan berbahasa Arab Melayu:[10]

NASYID AGAMA ISLAM

Agama Islam agama kita agama suci lagi mulia

Agama menuntun kepada bahagia dianjurkan oleh Rasul pembela

Tidak toloknya tidak bandingnya 2x

Hiduplah Islam hidup bahagia 2x

Wahai umat Islam di Indonesia bangunlah kita tampil ke muka

Islamlah dasar kita bekerja dalam memperjaya agama dan bangsa

Turutlah jejak junjungan kita 2x

Hiduplah Islam hidup bahagia 2x

Aduhai ayah ibu bersana tunjanglah kami belajar agama

Lenyapkanlah perasaan yang lama agar tercapai mulia sentosa

Itulah tujuan sekolah kita

Hiduplah Islam hidup bahagia 2x

NASYID MAULIDUN NABI MUHAMMAD SAW

Malidun Nabi Muhammad Nabi akhiriz zaman

Sebelum fajar dilahirkan malam isnin rabi’ul awwal 2x

12 tanggal lahirnya di Makkah itulah tempatnya di situ mulai tersiar

Reff#

Agama Islam mulia sehingga sampai ke Indonesia semua

Mari kita merayakan kelahiran junjungan kita 2x

Ayo, kita turut perintah menjauhkan yang dilarang Allah

Bersatu kita disuruh jangan berpecah belah

Yaa saudaraku tempo bersatu

Mari kita menguatkan pertalian sesama Islam 2x

Sampai sekarang wafatnya jauh ibarat lampu 2x

Kalau tidak dikuatkan Islam berkurang-kurang tentu 2x

2. Dalam pelajaran khat (kaligrafi), kalimat yang ditulis juga mengandung ajaran kesadaran berbangsa dan bernegara, seperti: “Hubbul wathon minal iman” (cinta tanah air adalah sebagian dari iman). Adapun tujuan perasaan cinta kepada bangsa dan tanah air supaya setiap umat Islam merasa terpanggil untuk berjuang dan membelanya dari penjajahan bangsa asing, ditanamkan benar-benar dalam diri setiap murid bahwa dalam Islam, membela bangsa dan tanah air adalah mati syahid.

3. Dalam pelajaran tafsir, hadits, fiqh misalnya, diajarkan pula tentang keutamaan mati syahid dalam membela agama dan bangsa.

D­i samping itu, dibentuk pula organisasi-organisasi/kegiatan ekstra madrasah yang bermotivasi agama dalam kegiatan pendidikan swasta yang merupakan saingan terhadap pendidikan kolonial yang diselenggarakan Belanda yang masing-masing menyelenggarakan kegiatan pengajaran di masyarakat. yang mana pengurus dan anggotanya terdiri dari para pendidik dan pelajar MHI, seperti:[11]

1. Taman Bacaan al-Qur'an (1936) yang dikelola oleh Kurnain Azat, H. Masdar, H. Azhari, dkk.

2. Persatuan Pelajar “Musyawaratutthalibin” (1937), cabang dari Banjarmasin (Kalsel). Untuk cabang Kuala Tungkal, persatuan ini diketuai oleh Kurnain Azat, H. Asnawi (waka), H. Hasan (sekr), dan M. Bek. Persatuan ini termasuk salah satu dari gerakan kemerdekaan bangsa Indonesia. Sedangkan anggotanya terdiri dari pelajar-pelajar MHI. Organisasi ini adalah organisai kebangsaan di kalangan umat Islam Indonesia yang membawa pengaruh besar kepada pelajar-pelajar MHI dalam rangka kesadaran berbangsa dan bernegara.

Organisasi Musyawaratutthalibin didirikan pada tahun 1930 di Kalimantan Selatan yang mempunyai madrasah tersebar di kota-kota di Kalimantan Selatan. Persatuan ini merupakan salah satu/sebagai organisasi pemuda dan keagamaan lokal yang juga turut mewarnai pergerakan kebangsaan di Kalimantan Selatan sebagai wadah untuk memperjuangkan nilai-nilai kebebasan dan keadilan. Merupakan organisasi Islam lokal terbesar di Kalimantan Selatan, karena selain mempunyai beberapa cabang di Kalimantan, juga melebar ke luar pulau Kalimantan, terutama di daerah komunitas Banjar perantauan seperti Sapat, Tembilahan dan daerah lain di Pesisir Timur Sumatera.[12] Musyawaratutthalibin menempati keistimewaan tersendiri dalam panggung sejarah pergerakan di Kalimantan Selatan.[13]

3. Pandu Nasrul Ulum (1937)[14] cabang dari Banjarmasin (Kalsel). Adapun sebagai ketua H. Syarkawi, dan sekretaris Hanafiyah dan Kalot/Murad Alwi, yang mana murid-murid MHI yang menjadi anggotanya.

Pandu tersebut yang dibuka waktu Sapat Ibu Kota Indragiri Hilir (sekarang beribukota Tembilahan) sudah maju dengan kepanduannya. Diterima oleh Kalot Murad. PB (Pengurus Besar) berkedudukan di Kalimantan Selatan yang diketuai Muhammad Arsyad dengan berkembang organisasi tersebut mengadakan kongresnya bertempat di Tembilahan utusan yang hadir dari Kuala Tungkal, Sapat dan Kuala Enok (Indragiri Hilir) Riau.[15]

Akhirnya dapat dikemukakan bahwa kurangnya minat masyarakat Kuala Tungkal pada umumnya untuk memasukkan anak mereka di sekolah-sekolah pemerintah Belanda, di samping berdirinya sekolah swasta yang bermotivasi agama, maka seperti telah disebutkan di atas keadaan ini mempunyai kaitan erat dengan peranan dan jiwa orang-orang yang sebelumnya telah mengenal sistem pengajian yang sudah banyak dipakai sebelum berdirinya MHI.

Sebagaimana diketahui, pada tanggal 8 Desember 1941 Jepang menyerang pangkalan laut Amerika di Pasifik dalam waktu singkat 3 bulan Jepang berhasil menghancurkan kekuatan Sekutu (Amerika, Inggris dan Belanda) di Pasifik. Tanah jajahan yang dikuasai sekutu jatuh pula ke tangan Jepang, termasuk Indonesia yang pada waktu itu dijajah oleh Belanda.

Ketika berakhirnya pemerintahan kolonial Belanda, datanglah pemerintahan balatentara Jepang, menurut sejarah, pada waktu itu Jepang sedang dihadapkan usaha untuk memenangkan perangnya, sehingga memaksakan dirinya mengadakan pendekatan dengan umat Islam. Bahkan dapat diketahui kedudukan Jepang di Indonesia sangat bergantung pada bantuan umat Islam dalam menghadapi luasnya daerah yang telah diduduki sekutu dan antara jepang serta umat Islam mempunyai kepentingan yang sama, yaitu menghadapi penjajah-Barat.

Jepang pertama kali menginjakkan kaki di bumi Indonesia pada tahun 1942. Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Belanda setelah ±3½ abad menjajah Indonesia. Pemerintahan Hindia-Belanda yang menyerah tanpa syarat kepada Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, menandai berakhirnya tampuk kepemimpinan penjajah Belanda sehingga digantikan oleh pemerintahan pendudukan Jepang.

Kemudian pada tanggal 9 Maret 1942 Jepang menduduki Indonesia memerintah Indonesia hingga tanggal 9 Maret 1945. Pemerintah Belanda diusir dan diganti dengan pemerintah Jepang di dampingi orang Indonesia. Kedatangan bala tentara Jepang di Kuala Tungkal disambut dengan antusias oleh MHI.

Pemerintahan Jepang di Kuala Tungkal sendiri di dampingi oleh masyarakat, karena mereka tidak bisa bergerak tanpa adanya orang Indonesia. Sedangkan orang-orang Indonesia yang turut memegang tampuk pemerintahan di daerah Jambi, di antaranya adalah M. Bahsan, sebagai Gunco (Demang zaman Jepang),[16] Boncak/Wedana M. Amin dan Ali Sudin (Jepang), H. Ali Hamzah (RI) dan Assisten Wedana H. Masdar (RI).[17] Selain itu yang memegang pimpinan kepolisian pada masa pemerintahan Jepang di daerah Jambi di antaranya adalah Suparjo, Kepala Polisi Tungkal.[18]

Jika ditinjau dari segi pendidikan pada zaman Jepang, berdampak negatif dan positif terhadap perkembangan MHI.

a. Dampak Negatif

Adapun dampak negatif terhadap MHI setelah kependudukan Jepang di Kuala Tungkal adalah setelah lama kelamaan, murid-murid yang jauh tidak lagi masuk belajar karena biaya sekolah yang semakin sulit, setahun kesulitan penghidupan rakyat mulai terasa susah. Kelapa, kopra, getah rakyat tidak dapat dikirim keluar, akhirnya kebun kelapa tidak dapat dikerjakan karena tidak ada harga, dan juga menjadikan nilai mata uang seperti seketip dan 5 sen yang tidak begitu berharga, menimbulkan krisis atau kemerosotan ekonomi sehingga menjadi tidak stabil yang membuat morat-marit rakyat Kuala Tungkal yang kondisinya berbeda dengan zaman Belanda.[19]

Selain itu keadaan mulai susah karena bahan pokok tidak lagi bebas dijual di toko-toko, pedagang terpaksa menjual barang dagangannya gelap-gelap (bersembunyi) agar tidak diketahui oleh Jepang. Jepang lebih kejam dari Belanda, bukan lagi ”saudara tua”, sering terjadi pemerasan, begitu kasar, ganas terhadap masyarakat.[20] Walaupun orang Jepang hanya 3½ menjajah negara ini, akan tetapi pengaruhnya begitu terasa terhadap masyarakat, apalagi jika ditinjau dari aspek ekonomi dan kemanusiaan.

Situasi berubah, terjadi krisis ekonomi, bahan makanan seperti padi, beras, gula dimonopoli oleh Jepang, masyarakat harus dengan cara antri mendapatkannya atau dengan cara sembunyi-sembunyi. Untuk mendapatkan bahan pakaian, para pedagang menggunakan perahu layar dengan membawa ubi/kemunak, padi kesalah seorang pedagang (Kuala Tungkal-Singapura) yang kemudian membawa kain celupan. Karena kebanyakan murid madrasah berasal dari anak petani, tentu saja banyak juga mempengaruhi terhadap adanya kegiatan dari murid untuk menuntut ilmu tersebut.[21]

b. Dampak Positif

Pergantian pemerintahan tersebut tetap berpengaruh terhadap perkembangan lembaga pendidikan MHI, karena masih sama-sama dikuasai oleh penjajah. Betapa tidak sekolah ini gerak-geriknya selalu diawasi oleh tentara Jepang tidak berbeda dengan pemerintahan Belanda. Akan tetapi, sikap penjajah Jepang terhadap pendidikan Islam ternyata biasa-biasa saja, tidak mengganggu, lebih lunak sehingga ruang gerak pendidikan Islam lebih bebas.[22] Pemerintah Jepang mengeluarkan kebijakan yang menawarkan bantuan dana bagi sekolah dan madrasah, keadaan yang berbeda dengan zaman pemerintahan kolonial Belanda, Pondok pesantren sering mendapat kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang.

Tatkala pemerintah Jepang berkuasa di daerah Jambi-Syu pernah mengeluarkan produk perundang-undangan yang dilaksanakan di daerah Jambi antara lain adalah: Undang-undang Nomor 22/2604 (1944) tentang penertiban sekolah-sekolah swasta.[23] Peraturan ini adalah sebagai realisasi dari kewaspadaan pemerintah Jepang yang menganggap bahwa madrasah-madrasah itu memiliki potensi perlawanan yang membahayakan bagi pendudukan Jepang di Indonesia.

Pengasuh kharisma golongan ulama di daerah ini ternyata dapat merebut hati masyarakat untuk memihak lembaga pendidikan swasta yang berupa madrasah. Sementara ada di antara segelintir masyarakat yang berkesempatan memasuki sekolah kolonial, tetapi sebagian anggota masyarakat yang menyadari kedudukan sebagai orang bumiputra.

Walaupun dikeluarkannya undang-undang itu adalah untuk mengekang atau menutup sekolah-sekolah swasta, namun MHI tetap dibuka, tetapi murid-muridnya hanya dalam kota saja. Jepang tidak melarang untuk belajar di madrasah, dengan kata lain mereka tidak terlalu mempermasalahkan agama atau tidak merubahnya, tidak terlalu peduli dengan permasalahan agama, tidak ada gangguan, tidak ada penyimpangan. Jepang tidak menaruh curiga terhadap MHI karena madrasah ini telah mengantongi izin dari keresidenan Jambi.

Ada peraturan lain yang dikeluarkan pemerintah Jepang berlaku terhadap MHI dan Sekolah Rakyat, yaitu meliburkannya dengan tidak menegadakan pembelajaran selama satu bulan penuh saat bulan Ramadhan tiba. Peraturan ini tidak berbeda dengan peraturan yang dikeluarkan oleh Belanda saat sebelum datanganya pemerintahan Jepang. Peraturan ini dikeluarkan Jepang, untuk membantu para pelajar untuk dapat menjalankan ibadah puasa, agar kiranya dapat melaksanakannya dengan dengan baik sesuai dengan anjuran agama. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa pemerintah Jepang sangat memperhatikan masalah keagamaan, tidak ada persoalan mengenai hal tersebut.[24]

MHI dapat maju dan bertahan lama yakni sampai masuknya Jepang di daerah ini, karena pandangan bahwa anak-anak mereka harus memasuki sekolah agama dari pada bersekolah di Volkschool atau Vervolgschool kepunyaan Belanda yang dianggap masyarakat sebagai “sekolah kapir”.

Di daerah Jambi pada sekolah-sekolah yang diselenggarakan pemerintah pendudukan Jepang, pelajaran bahsa Jepang merupakan pelajaran wajib, sedangkan bahasa Belanda dan Inggris dilarang. Pada umumnya pengajaran berupa pengetahuan umum kurang diuatamakan dan kurang lancar jalannya, karena yang diutamakan sekali selain bahasa Jepang dan bertaiso olaharaga, bergotong royong dan pendidikan semangat ala Jepang (Nippon Seisyin). Ketika ini, murid sering kali diharuskan ikut kerja bakti seperti membersihkan bengkel, asrama, dan mengumpulkan bahan untuk membuat pertahanan dan sebagainya.

Selain pendidikan madrasah pada sore hari yang dikenal dengan ”Sekolah Arab” yang tidak dilarang oleh Jepang, Guru Daud, tentunya dengan bahasa pengantar Bahasa Arab diselingi dengan bahasa Indonesia. Sebagai pimpinan MHI juga tetap mengadakan pengajian untuk murid-murid MHI di rumah kediaman Beliau pada pagi hari tanpa ada sedikitpun larangan dari pihak Jepang. Sekolah MHI adalah sekolah yang hanya mengajarkan pendidikan Islam melalui kitab-kitab gundul dengan berbahasa Arab ”Asli Arab” (Fusha) yang kemudian kitab-kitab tersebut di dhabit (diterjemahkan perbaris) dengan menggunkan bahasa Arab ”Asli Indonesia” (Melayu). Adapun untuk pendidikan umum yang biasa disebut dengan ”Sekolah Latin”, yang di masa pendidikan Jepang tetap dibuka, dengan pelajaran yang hampir sama dengan pelajaran pada zaman Belanda akan tetapi tentunya bahasa Jepang sebagai bahasa pengantar diselingi dengan bahasa Indonesia. Adapun Sekolah Latin ini, murid-murid yang belajar di sana dapat mengetahui bagaimanakah menulis huruf Latin.[25]

Di daerah Jambi pada sekolah-sekolah yang diselenggarakan pemerintah pendudukan Jepang, pelajaran bahsa Jepang merupakan pelajaran wajib, sedangkan bahasa Belanda dan Inggris dilarang. [26]

Dilaporkan bahwa pada masa penjajahan Jepang pengembangan madrasah Awaliyah digalakkan secara luas. Majlis Islam Tinggi menjadi penggagas dan sekaligus menjadi penggerak utama untuk berdirinya madrasah-madrasah Awaliyah yang diperuntukkan bagi anak-anak berusia minimal 7 tahun. Program pendidikan pada madrasah-madrasah Awaliyah itu lebih ditekankan pada pembinaan keagamaan dan diselenggarakan pada sore hari. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan bagi anak-anak yang pada umumnya mengikuti sekolah-sekolah rakyat pada pagi hari. Perkembangan madrasah-madrasah itu telah ikut mewarnai pola pengorganisasian pendidikan agama yang lebih sistematis.[27]

Sebagaimana diketahui orang Jepang adalah orang yang briliant (pintar-pintar). Sehingga dengan adanya tentara Jepang ini, murid-murid MHI dan rakyat Kuala Tungkal pandai/bisa menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.[28] Bahasa Indonesia dijadikan bahasa resmi di kantor dan di sekolah. Hal ini baik untuk perkembangan bahasa Indonesia selanjutnya.

Dalam zaman pendudukan Jepang, semua sekolah pemerintah yang lama dilanjtukan terus, sekolah tersebut ditukar namanya dengan bahasa Jepang. Pada masa pendudukan Jepang di daerah Jambi, terjadi perubahan yang penting artinya bagi perkembangan pendidikan dan pengajaran dengan dihapuskannya perbedaan pengajaran golongan Belanda dan golongan pribumi, serta pemakaian bahasa Indonesia baik sebagai bahasa resmi maupun sebagai bahasa pengantar di sekolah. [29]

Dengan berkembangnya bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, rasa persatuan dan kesatuanpun dengan mudah dapat digalang dan dibina dengan baik di tengah masyarakat, karena sekarang mereka dengan mudah dan mengerti untuk mengungkapkan perasan dan buah pikiran terhadap orang lain. Dengan dijadikannya bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, keuntungan bukan saja dalam pengembagan bahasa Indonesia itu saja, tetapi dapatnya dibina kesatuan bangsa dengan cepat, situasi yang diperlukan untuk mencapai Indonesia merdeka.

Situasi mulai berubah, Jepangpun mendirikan sekolah non-formal melalui organisasi kepemudaan seperti bagodan (ketentaraan/pasukan pertahanan lokal dusun), Murid-murid MHI yang besar dan masyarakatpun dilatih dan diajarkan peraturan baris-berbaris dan disiplin militer disuruh untuk berlatih bagaimana menggunakan tombak yang dikumpulkan di sebuah lapangan.[30] Hal ini menjadi keuntungan tersendiri bagi masyarakat Kuala tungkal yang mendapatkan latihan militer langsung yang dilakukan oleh tentara Jepang. Pendidikan untuk mereka itu dimaksudkan untuk dapat mempersiapkan diri menjaga Kuala Tungkal, tetapi sesuanguhnya mereka semua dipersiapkan sebagai tenaga cadangan apabila tentara Jepang sudah berkurang.

Dengan didirikannya sekolah non-formal melalui organisasi kepemudaan seperti bagodan Sehingga menjadi cikal bakal berdirinya lasykar-lasykar perjuangan seperti Lasykar Hulubalang, Hizbullah, Sabilillah dan Selempang Merah, dll, yang menjadikan Kota Kuala Tungkal menjadi pusat pergerakan perjuangan, tanpa terkecuali MHI sendiri yang menjadi basis perjuangan.

Secara keseluruhan perkembangan agama Islam pada masa ini tidak dihalang-halangi oleh pemerintah Jepang. Di Jambi, madrasah-madrasah boleh berjalan seperti biasa, namun karena sulitnya penghidupan rakyat, anak-anak tidak banyak yang masuk belajar di madrasah, kedudukan hoofd penghulu sebagai tokoh agama tidak diganggu-gugat oleh Jepang dan tetap menjalankan tugasnya sebagaimana biasa. Demikian pula kedudukan guru agama pada masa-masa ini tidak diganggu Jepang. Tentara Jepang berusaha untuk mempengaruhi guru-guru, ulama, serta tokoh-tokoh agama untuk turut mempropagandakan perang suci Asia Timur Raya, supaya dimenangkan oleh Jepang.

Umat Islam mempunyai kesempatan yang banyak untuk memajukan usaha pendidikan, sehingga tanpa disadari oleh Jepang sendiri, bahwa umat Islam sudah cukup mempunyai potensi untuk maju dalam bidang pendidikan, ataupun perlawanan kepada penjajah.

Kerjasama Jepang dan umat Islam mungkin sebagai akibat propagandanya yang licin sehingga umat Islam sementara tidak melihat niat Jepang sebagai penjajah. Namun di balik itu, kesempatan ini dimamfaatkan oleh MHI dengan mencoba meneruskan madrasahnya berjalan sebagai lembaga pendidikan Islam.

Demikianlah jalan pengajaran dan pendidikan di sekolah rendah pada masa penddukan Jepang. Pengajaran dan pendidikan hanya dititik beratkan kepada memperluas bahasa Jepang serta memperdalam bushido ala Jepang, dan sekolah-sekolah menajdi tempat indoktrinasi dan tempat pendidikan yang militeris.[31]

Selanjutnya, karena banyaknya penduduk memeluk agama Islam dan mereka ingin memperdalam ajaran agama, kemudian mereka belajar kepada guru atau dari yang menyebarkan agama tersebut. Disebabkan mendapat ajaran dari nabi Muhammad tentang cara mengajarkan agama itu, maka banyak masyarakat di sekelilingnya belajar kepadanya. Biasanya seorang guru yang mengajarkan agama dan banyak mendapat pengikut, maka mereka bersama-sama mendirikan mesjid.

Kemudian pada periode ini, tepatnya pada tahun 1945, dibangunlah masjid Al-Istiqomah/Raya, yang sebagai pengurusnya adalah Guru Daud dan KH. Kasim Saleh yang berdampingan dengan MHI sebagai tradisi yang dipegang kyai dalam mengembangkan pesantren. Adapun lokasi tempat mesjid Agung ini adalah panggung tempat wayang orang dari Banjar, tempat berkumpul masyarakat untuk pertunjukan seni Wayang Urang Banjar.[32] Sebelum masjid Al-Istiqomah/Raya ini dibangun, memang telah ada bangunan dua buah masjid yang bernama masjid Lama (dikenal dengan sebutan Masjid Hidayatullah) yang terletak di Parit Tiga Tungkal III dan mesjid Perukunan Melayu (mengenai mesjid ini telah dijelaskan pada Bab III).

Pembangunan mesjid Al-Istiqomah/Raya ini berdasarkan keputusan Demang Bahsan dan musyawarah pengurus mesjid Jami’ dan mesjid Melaju (dua buah mesjid ini telah dijelaskan sebelumnya) bahwa jamaah mesjid Al-Istiqomah/Raya ini harus disatukan guna untuk mempersatukan antara suku bangsa yang berada di daerah kecamatan Tungkal Ilir dengan persyaratan bahwa sholat jum’at di masjid Jami’ dan mesjid Melayu harus ditiadakan. Maka atas sepakat dan musyawarah ini mayarakat sekitar menyetujuinya. Maka H. Bahruddin yang menjabat sebagai penghulu memberi tanah wakaf untuk didirikan mesjid pada tahun 1945 yang disebut dengan mesjid Agung, tanah tersebut ia wakafkan memang semata-mata untuk diberikan atau dibangun menjadi rumah ibadah untuk masyarakat ataupun untuk orang-orang yang beragama Islam.[33]

Maka masyarakat sekitar mesjid Lama menyetujui untuk meniadakan Sholat jum’at di Mesjid tersebut yang berlaku hingga saat ini. Hal ini dikarenakan ulama-ulama dan pemuka masyarakat di sekitar mesjid Lama dan mesjid Agung adalah sama. Akan tetapi berbeda dengan masyarakat di sekitar mesjid Melayu yang tidak menyetujui untuk di tiadakannya jum’atan (sholat jum’at).[34] Mesjid Lama (mesjid Urang Banjar) dan mesjid Melaju (mesjid Wong Palembang) harus ditiadakan.

Pada waktu hendak membangun mesjid Agung tersebut, masyarakat setempat bermusyawarah untuk dapat terlaksana dengan mudah dalam membangun serta hal yang lain dianggap perlu, kemudian masyarakat setempat membentuk Panitia Pengurus Pembangunan Mesjid. Adapun panitia tersebut, yaitu: Ketua: KH. M. Daud Arif, Wakil Ketua: KH. Kasim Saleh, Sekretaris: H. Asmuni Bendahara: Hasbullah Naud.[35]

Adapun biaya pembangunan mesjid terebut diperoleh dari Demang, masyarakat setempat dan orang-orang lain kemudian setelah terkumpulnya biaya, pembangunan segera dilaksanakan. Membanguan mesjid tersebut memakan waktu yang cukup lama yaitu lebih kurang satu tahun, hal ini dikarenakan biaya yang diperoleh yakni dengan cara berangsur-angsur. Setelah berdirinya mesjid Agung ini, maka masyarakat sekitarnya menggunakan mesjid tersebut dengan baik yaitu dengan dengan mengadakan sholat berjamaah, pengajian-pengajian dan mengadakan ceramah-ceramah agama. Ternyata hal ini berjalan terus dengan lancar, lama kelamaan bertambah banyak, maka mesjid inipun kelihatannya bertambah maju.[36]

Masyarakat yang ada di sekitarnyapun kemudian mengikuti sholat jum’at di mesjid Agung yang baru saja selesai dibangun digunakanlah mesjid tersebut dengan baik, yaitu dengan mengadakan sholat berjamaah, pengajian-pengajian dan mengadakan ceramah-ceramah agama, ternyata hal ini berjalan terus dengan lancar, lama kelamaan bertambah banyak, maka mesjid inipun kelihatannnya bertambah maju.

Akan tetapi, setelah pembangunan mesjid Agung selesai, masyarakat di sekitar mesjid Melayu, tidak menyetujui ditiadakannya sholat jum’at di mesjid Melayu. Sehingga mereka tetap menggunakan mesjid Melayu sebagai tempat sholat Jum’at. Walaupun begitu, perseteruan masalah tempat sholat jum’at ini tidak menimbulkan permusuhan antar suku bangsa yang ada di Kuala Tungkal.

Karena masjid yang ada tidak mampu lagi menampung jamaah karena masyarakat umat Islam Kuala Tungkal makin besar jumlahnya dan mulai mengetahui dan menyadari betapa pentingnya keberadaan masjid tersebut. Karena betapa pentingnya keberadaan masjid dalam hal mengembangkan madrasah, maka masjidpun menjadi skala prioritas karena dianggap sebagai simbol yang tak pernah terpisahakan dari madrasah. Masjid tidak hanya menjadi tempat peraktek ritual ibadah semata-mata, tetapi juga pengajaran kitab-kitab klasik dan aktivitas lainnya. Masjid itu sampai sekarang masih tetap berdiri kokoh dengan beberapa kali mengalami renovasi sebagai saksi hidup yang tidak dapat berbicara. Sekarang telah menjadi mesjid kebanggaan kota Kuala Tungkal.

Mesjid Agung adalah pemersatu umat Islam di Kuala Tungkal, karena dimasa penjajahan di Kuala Tungkal ada dua mesjid yang saling bertentangan akibat adu domba Belanda, kemudian dibangunlah mesjid ini sebagai mesjid pemersatu. Di samping itu mesjid ini juga sebagai mesjid perjuangan, di mesjid ini para pejuang kemerdekaan berhimpun.[37]

Pembangunan mesjid ini selain bertujuan untuk hal di atas, yang paling penting juga adalah untuk melengkapi sarana prasarana MHI itu sendiri, yang mana pembangunan mesjid ini adalah atas inisiatif Guru Daud dan dibantu ulama-ulama serta pemuka masyarakat agar dibangunnya sebuah mesjid di lingkungan madrasah ini. Karena mesjid yang ada sudah tidak mencukupi lagi menampung masyarakat untuk menampung jama’ah disebabkan masyarakat pendatang semakin lama semakin bertambah. MHI itu sendiri berlokasi di tengah-tengah Kuala Tungkal, yang penduduknya cukup banyak, yang tentunya adalah dari murid-murid MHI itu sendiri.

Pembangunan mesjid Raya (Jami’) ini diperakarsai oleh Guru Daud dan KH. M. Kasim Saleh, yang tujuannnya selain untuk beribadah, yang juga berfungsi untuk murid MHI melaksanakan kegitannya sebagai sekolah berbasiskan Islam, yang mana masjid ini juga digunakan untuk musyawarah.

Setelah berdirinya mesjid Agung, maka masyarakat dari kalangan suku Melayu yang semula berseberangan terhadap suku Banjar, mulai berangsur-angsur sedikit demi sedikit ”melemah”, sehingga banyak dari kalangan mereka yang memasukkan anak-anaknya untuk bersekolah di MHI dan banyaklah dari kalangan mereka yang masuk Islam, tentunya menjadi muallafin. Semenjak itulah, hubungan antara 2 etnis perantauan ini semakin membaik walaupun masih ada perselisihan yang belum terselesaikan.

Beberapa tahun kemudian, mesjid ini runtuh karena ditiup angin. Kemudian dibentuklah kepanitiaan baru yang diprakarsai oleh Guru Daud untuk membangun kembali mesjid tersebut dengan diberi nama Mesjid Agung al-Istiqomah. Alhamdulillah sampai sekarang masjid ini tetap terawat dengan baik mengalami beberapa kali renovasi masjid termegah di Pantai Timur ini.

Sejak berdirinya MHI hingga pra-agresi Militer Belanda kesatu dan kedua, kegiatan di MHI yang bersifat – sebenarnya penentangan – terhadap penjajahan tidaklah begitu terlihat oleh Belanda karena dilakukan secara sirriyah atau sembunyi-sembunyi di balik tembok MHI agar tidak diketahui oleh Belanda. Sebagaimana diketahui, bahwa mereka, penjajah Belanda benar-benar anti terhadap lembaga pendidikan Islam, seperti madrasah yang di dalamnya mengajarkan pelajaran yang dapat menggoyahkan kecongkakan pemerintahan mereka di tanah air ini.


[1] Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 2.

[2] SK. KH. Ismail yang dikeluarkan oleh Hoofd Penghulu Jambi Abdushshomad, 1936. KH. Said Ismail. Dokumentasi.

[3] MA PHI (2003). Al-Anwar asy-Syâthi’ah, MA PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 66.

[4] M. Ridwan (1994). Pola Belajar Nahwu dan Shorof Dengan Prestasi Belajar Bahasa Arab di Madrasah Tsanawiyah Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. IAIN STS Jambi: Jambi. H. 19-20.

[5] KH. M. Arsyad, Dokumentasi.

[6] KH. M. Arsyad, Wawancara.

[7] MA PHI (2001). MA PHI (2003). Al-Anwar asy-Syâthi’ah, MA PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 67.

[8] Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 2.

[9] Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 3.

[10] MA PHI (2001). Nafasah al-Khawâtir, MA PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 128-129.

[11] Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 3.

[12] Yang termasuk salah satu daerah mayoritas etnis perantauan Banjar Kalimantan Selatan yang terletak di pantai Timur Sumatera adalah Kota Kuala Tungkal Kabupaten Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi.

[13] www.Google.com, Wajidi, Sejarah Lokal dan Nasionalisme, http/blog/spot,html.Wajidi.

[14] Sekarang seperti pramuka. Pandu Nasrul Ulum didirikan tidak lama setelah berdiri organisasi Musyawaratutthalibin yang merupakan bagian dari organisasi Musyawaratutthalibin.

[15] KH. M. Arsyad, Wawancara.

[16] Departemen P & K. (1986). Sejarah Revolusi Kemerdekaan Daerah Jambi. Karya Kita: Jambi. h. 21.

[17] KH. M. Arsyad, Documentasi.

[18] Departemen P & K. (1986). Sejarah Revolusi Kemerdekaan Daerah Jambi. Karya Kita: Jambi. H. 22.

[19] KH. M. Arsyad, Wawancara.

[20] KH. M. Arsyad, Documentasi.

[21] KH. M. Arsyad, Dokumentasi

[22] KH. M. Arsyad, Wawancara.

[23] Departemen P & K. (1986). Sejarah Revolusi Kemerdekaan Daerah Jambi. Karya Kita: Jambi. H. 23.

[24] Hj. Sampurna, Wawancara.

[25] Departemen P & K: Peroyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah (1982). Sejarah Pendidikan Daerah Jambi. CV. Anita: Jambi. h. 52.

[26] Hj. Sampurna, Wawancara.

[27] Suwendi (2004). Sejarah & Pemikiran Pendidikan Islam. RajaGrafindo Persada: Jakarta. h. 90.

[28] KH. M. Arsyad, Wawancara.

[29] Departemen P & K: Peroyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah (1982). Sejarah Pendidikan Daerah Jambi. CV. Anita: Jambi. h. 52.

[30] KH. M. Arsyad, Wawancara.

[31] Departemen P & K: Peroyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah (1982). Sejarah Pendidikan Daerah Jambi. CV. Anita: Jambi. h. 53.

[32] KH. M. Arsyad, Wawancara.

[33] Zubaidah (1991). Mesjid Al-Istiqomah Sebagai Lembaga Pendidikan Agama Islam Bagi Masyarakat Kelurahan Tungkal III Kecamatan Tungkal Ilir Kabupaten Tanjung Jabung. IAIN STS Jambi: Jambi. h. 30.

[34] Hasan Basri, Wawancara.

[35] Zubaidah (1991). Mesjid Al-Istiqomah Sebagai Lembaga Pendidikan Agama Islam Bagi Masyarakat Kelurahan Tungkal III Kecamatan Tungkal Ilir Kabupaten Tanjung Jabung. IAIN STS Jambi: Jambi. h. 30-31.

[36] Zubaidah (1991). Mesjid Al-Istiqomah Sebagai Lembaga Pendidikan Agama Islam Bagi Masyarakat Kelurahan Tungkal III Kecamatan Tungkal Ilir Kabupaten Tanjung Jabung. IAIN STS Jambi: Jambi. h. 31.

[37] Biro Humas dan Protokol 27/2/2009. Gubernur Jambi Ajak masyarakat Sukseskan Pemilu 2009. Ini dipetik dari ungkapan KH. Abdul Halim Kasim, SH.


2.
PERIODE II (1945-1950)

Periode ini dinamai dengan periode perjuangan fisik mempertahankan kemerdakaan.[1] Di waktu Indonesia sudah merdeka, maka landasan dan tujuan sistem pendidikan yang berlaku di Kuala Tungkal berubah.

Indonesi telah menetapkan Pancasila sebagai Dasar Negara atau Landasan Ideal bagi seluruh aktivitas rakyat Indonesia dan UUD 1945 sebagai Landasan Struktural bagi negara Indonesia. Pendidikan harus berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945. Sebagai negara kesatuan, hal itu berlaku umum bagi seluruh daerah dan rakyat Indonesia.

Tujuan pendidikan yang hendak dicapai disesuaikan dengan tujuan negara yang baru merdeka dan sedang menghadapi perjuangan menghadapi Belanda ialah penanaman semangat patriotisme. Tujuan yang hendak dicapai supaya seluruh rakyat Indonesia bersatu padu menghadapi ancaman Belanda. Landasan dasar, tujuan dan sasaran pendidikan itu juga berlaku untuk MHI Kuala Tungkal seperti daerah Indonesia lainnya.

Pada awal tahun 1945 sebagaimana diketahui, bahwa setelah Perang Dunia ke-2 (PD II), tepat pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia telah siap memproklamirkan diri menjadi bangsa merdeka dan berdaulat yang terbebas dari belenggu penjajahan Belanda dan mengalami perang kemerdekaan. Revolusi fisik yang dicetuskan oleh Soekarno-Hatta. Pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah ”hari keramat” bagi seluruh bangsa Indonesia dan merupakan hari malapetakan dan bala bencana bagi pemerintahan Belanda. Pada tanggal itu pula merupakan puncak perjuangan bangsa Indonesia menentang penjajahan Belanda yang telah berlangsung 3½ abad.

Perjuangan fisik yang dimulai pada awal tahun 1945 KH. M. Kasim Saleh, Hasbullah, H. Asmuni (semua pengurus MHI) ditangkap oleh tentara Jepang yang kemudian dibawa dan diasingkan sementara ke Jambi dengan tuduhan menghasut masyarakat untuk melawan Jepang; yaitu ”AGAR RAKYAT MENYIMPAN BAHAN MAKANAN DI DESA-DESA DAN JANGAN DIBAWA KE KUALA TUNGKAL YANG NANTINYA AKAN DIRAMPAS OLEH TENTARA JEPANG YANG AKAN DIPERGUNAKAN SEBAGAI BAHAN LOGISTIK MEREKA”. Namun pada akhirnya mereka dilepas oleh tentara Jepang setelah mendapat jaminan dari Residen Bahsan (Bohsan) yang pernah menjadi Wedana/Demang di Kuala Tungkal.[2]

Sebagaimana dimaklumi, bahwa kekuasaan Belanda di Indonesia berakhir pada tanggal 9 Maret 1942, pada saat Belanda menyerah kepada sekutu tanpa syarat, maka pemerintahan Indonesia digantikan oleh pemerintahan Jepang. Pemerintahan Jepang berlangsung lebih dari 3 tahun, yang berakhir tepatnya pada tanggal 14 Agustus 1945 karena Jepang bertekuk lutut kepada sekutu setelah Perang Dunia ke-2 (PD II). Maka pada tanggal 17 Agustus 1945 Soekarno-Hatta memproklamirkan Indonesia merdeka keseluruh dunia menjadi Negara Republik Indonesia.

Kemudian berita proklamasi kemerdekaan ini disebarluaskan keseluruh pelosok daerah Jambi, dan hanya beberapa hari setelah proklamasi 17 Agustus 1945 dilakukan, maka rakyat di daerah Sarolangun, Bangko, Bungo, Batang Hari, Kuala Tungkal dan Kerinci sudah mengetahui bahwa Indonesia telah merdeka.

Setelah berita proklamasi kemerdekaan Indonesia didengar oleh rakyat di daerah Jambi, maka sangsaka merah putih mulai dikibarkan walaupun mendapat sanggahan keras dari pihak pemerintah Jepang. Dengan tersiarnya berita kemerdekaan Indonesia, maka masyarakatpun menyambut gembira tentang hal itu.

Di Kuala Tungkal sendiri ada juga beberapa orang Jepang yang tinggal disana, di antaranya adalah Tuan Siota, seorang Jepang yang membunuh dirinya dengan cara menggantung diri di rumah setelah pemboman Jepang oleh sekutu dan setelah mengetahui kekalahan Jepang dan Indonesia merdeka.

Pada tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Berita penyerahan Jepang kepada sekutu terdengar pula oleh para pemimpin pergerakan di Indonesia melalui siaran radio luar negeri terutama kaum mudanya mendesak agar Ir. Soekarno dan DR. M. Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan karena PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang telah dibentuk dan dilaksanakan pada tanggal 9 Agustus 1945. Tapi kedua pemimpin berpendapat perlu dibicarakan dengan pihak Jepang dalam hal ini terjadi sedikit kesalahpahaman antara tokoh muda dengan tokoh tua setelah diadakan perundingan antara kedua belah pihak untuk memproklamirkan Negara Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Maka Ir. Soekarno didampingi oleh DR. M. Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada hari Jumat tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10.00 pagi di Pegangsaan Timur 56 Jakarta (sekarang jalan Proklamasi).

Serentak dengan itu rakyat daerah Jambi, sebagian di daerah-daerah lain di Indonesia ini juga tampil kedepan untuk turut ambil bagian dengan aktif mengadakan perlawanan terhadap usaha-usaha penjajahan yang mencoba mengembalikan penjajahannya di Indonesia ini, sesuai dengan kemampuan dan cara bcrjuang padamasa itu. Meskipun banyak kesukaran dan kesulitan yang pernah dihadapi, pada umumnya rakyat Jambi tetap konsekuen terhadap proklamasi 17 Agustus 1945. Hal ini terbukti sampai penyerahan kedaulatan Keresidenan Jambi tetap berada berada menjadi bagian dari Keresidenan Yogya.

Pada akhir masa kependudukan Jepang di Indonesia, proklamasi kemerdekaan meminta tenaga pemuda sebanyak-banyaknya. Alim ulama, guru agama sampai kepada pelajar sekolah agamanya merupakan tenaga penggerak ‘perang sabil’, mempertahankan hak bangsa, tanah air dan agama dari serangan Belanda yang hendak menjajah kembali.

Sejarah kemudian membuktikan bahwa modal kejuangan di atas amat penting artinya pasca penjajahan Jepang (1942-1945), dimana api Revolusi Kemerdekaan mulai dinyalakan dengan kesadaran adanya kesatuan dan persatuan kebangsaan yang bermotifkan pantang untuk dijajah kembali oleh kekuatan asing apapun bentuknya. Proklamasi Kemerdekaan mengawali "Revolusi Pemoeda", dan berakhir ketika penjajah terakhir di Indonesia yaitu Imperium Belanda menyatakan pengakuannya pada Kemerdekaan Republik Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.

Setelah masa kemerdekaan, mayoritas orang Islam berjuang dengan takbir “Allahu Akbar” timbul jiwa patriotisme di kalangan pemuda-pemudi, tokoh masyarakat, alim ulama, cerdik pandai, mereka bersatu padu untuk mempertahankan kemerdekaan RI dan menantang penjajahan dari manapun datangnya.

Di Kuala Tungkal sendiri, pada zaman Agresi Militer Belanda banyak pengurus, guru-guru dan pelajar-pelajar MHI terjun pula ke kancah perjuangan membela nusa dan bangsa di sekitar Tanjung Jabung serta/dan turut membentuk dan bergabung dalam barisan periuangan/lasykar pejuang untuk merebut kemerdekaan. Demikianlah memasuki masa revolusi kemerdekaan pengaruh dari ajaran para ulama melalui pengajian dan madrasah-madrasah ini masih terasa dan menjadi pegangan masyarakat dalam menghadapi perkembangan yang terjadi. Dan perasaan keagamaan yang tertanam kuat ini tetap harus perlu diperhatikan, khususnya untuk kegiatan mempertahankan kemerdekaan.

Disadari atau tidak, secara langsung MHI dalam periode ini yang terdiri dari pengurus-pengurus, murid-murid/pelajar-pelajar terjun ke medan juang untuk membela nusa dan bangsa serta bergerilya untuk mempertahankan dan menegakkan kemerdekaan di sekitar Tanjung Jabung (Tungkal Ilir, Pengabuan dan Betara) ini turut berperan begitu aktif dalam perlawanan melawan penjajah apalagi di saat-saat perang kemerdekaan, tepatnya pada Agresi Militer Belanda I dan II.

Pada tanggal 19 Agustus 1945, setelah meletusnya revolusi kemerdekaan, KH. M. Kasim Saleh sebagai Bestuur MHI menurunkan bendera Jepang dan menaikkan bendera Merah Putih di Puncak masjid Agung al-Istiqomah yang kemudian di panggil oleh Jepang untuk mempertanggungjawabkan[3] perbuatannya itu. Namun beberapa saat kemudian ia dilepaskan kembali.

Pada tahun ini pula (1945), di bentuk KNIP (Komite Nasional Indonesia Persatuan) untuk Kuala Tungkal. Di antara pengurus MHI adalah Mahyuddin (Bea tjukai), KH. M. Kasim Saleh, Z. Lubis, Hasbullah Naud (ketiganya pengurus MHI), dan R. Kursi sebagai anggota KNI.[4] Para pengurus MHI bersama masyarakat mulai terlibat dalam lembaga pemerintahan dengan menjadi anggota KNIP mewakili unsur Partai Masyumi, partai politik yang sempat menjadi ruang ekspresi politik NU.

Seiring dengan timbulnya dan terbentuknya organisasi ketentaraan, maka terbentuk pula barisan-barisan rakyat dalam badan-badan kelasykaran dan organisasi-organisasi perjuangan yang sesuai dengan aliran masing-masing golongan untuk penggalakan perjuangan. Setiap golongan yang mempunyai kemampuan, ketika ini mendirikan barisannya yang dipersenjatai dan diperbekalinya sendiri dengan tidak mengharapkan bantuan dari pemerintah.

Dari golongan agama, untuk daerah Jambi terutama agama Islam banyak terbentuk lasykar-lasykar/barisan-barisan perjuangan rakyat antara lain Lasykar Rakyat Napindo, Parsindo (Partai Indonesia), Hizbullah, Sabilillah, Lasymi (Lasykar Muslim Indonesia), Sabil Muslimat, TMI (Tentara Merah Indonesia), API (Angkatan Pemuda Indonesia), Hulu Balang Indonesia, dan Barisan PRI (Pemuda Repoeblik Indonesia).

Beberapa hari setelah pengibaran bendera merah putih pertama di Kuala Tungkal bendera Jepang dan penaikan/pengibaran bendera Indonesia tanggal 20 Agustus 1945 di dekat/ujung pelabuhan melewati jalan Balai Marga (jalan tersebut dinamakan dengan Jalan KH. M. Kasim Saleh) yang dilakukan oleh tiga orang yaitu H. M. Kasim Saleh sebagai Bestuur MHI (pengurus MHI), Utuh Hirang dan Dul Haji pada jam 07.00 pagi. Kemudian diikuti oleh pengibaran bendera oleh penduduk di rumahnya masing-masing. Pada tanggal ini juga, diadakan pertemuan antara tokoh-tokoh masyarakat. Adapun hasil pertemuan ini antara lain: membentuk Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang dipimpin oleh Syarkawi dengan wakilnya Indar Zaini. Membentuk Barisan Hizbullah (akhir tahun 1945) yang dipimpin oleh Guru Daud (Mudir MHI),[5] yaitu sebuah angkatan perang pemuda Muslim yang berhubungan dengan Masyumi. Di pelabuhan itu ada rumah jaga tentara Jepang yang masih saja terus mengibarkan benderanya setelah Jepang jatuh kalah.[6] Beberapa hari kemudian, menyusul pula terbentuknya Lasykar Hulu Balang yang dipimpin oleh A. Manan Semat. Di samping Organisasi Pemuda yang telah disebutkan di atas, masih ada beberapa Organisasi Pemuda Profesi yang ikut berjuang bersama-sama mempertahankan kemerdekaan 17 Agustus 1945 di Kuala Tungkal.[7]

Adapun barisan-barisan tersebut di antaranya seperti pasukan Hizbullah Kuala Tungkal yang dikomandoi oleh Guru Daud (Mudir MHI) dan Hanafiah (Murid MHI) sebagai wakilnya hingga tahun 1949. Di antara pelajar-pelajar MHI yang tercatat dalam pasukan Hizbullah antara lain; KH. M. Arsyad (Ketua Yayasan PP PHI sekarang), KH. Abdul Wahab (orang tua KH. M. Ali Wahab) Ahmad Zaini, M. Sahar, Abdullah, Abdul Mu'in, H. Ibrahim. H. Mahfuz, H. Qawi, Kurnia Ramli, Nafiah Rasyidi, dan Iain-lain.[8] Pada tahun 1946, dibentuklah BLR (Barisan Lasykar Rakjat) yang dikomandoi oleh H. Manan dan KH. M. Kasim Saleh sebagai wakilnya.[9]

Lasykar Hizbullah bersenjatakan bambu runcing, keris, pedang, dan sejenisnya yang bahu membahu bersama rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan. Selain itu, adapun persenjataan dan perlengkapan militer di daerah Jambi diperoleh dengan berbagai usaha. Ada senjata yang diperoleh melalui rampasan dari tentara Jepang, dan juga ada pemasokan senjata gelap dari Singapura.

Adapun barisan yang diberi nama Komando Sabilillah, yang dinamakan dengan barisan ”orang tua” yang mana KH. M. Kasim Saleh diangkat sebagai pimpinannya. Sedangkan anggotanya terdiri dari pengurus-pengurus, guru-guru, wali murid, serta murid-murid Guru Daud yang bukan murid MHI[10] (selain mengajar di MHI, Beliau juga mengajar di luar MHI) yang dilatih langsung oleh tentara Jepang secara militer.

Bukan hanya sekedar membentuk lasykar-lasykar saja, bahkan para petinggi MHI dan para pelajarnya pada waktu ini ”berobsesi” ingin membeli kapal perang untuk mempertahan kemerdekaan, dengan mengumpulkan baju atau pakaian dan lain-lainnya, namun tidak kesampaian. Ternyata, di MHI inilah satu tempat yang banyak memunculkan pergerakan-pergerakan untuk menentang penjajahan yang tidak ada muncul pergerakan pada tempat lain.[11]

Untuk memperoleh senjata api yang digunakan untuk berperang, barisan ini mengumpulkan pakain-pakaian untuk dijual yang kemudian hasilnya digunakan untuk membeli persenjataan-persenjataan yang telah dibeli oleh salah seorang pedagang yang bernama Cik Mat dari Singapura, selain dengan cara tersebut, yaitu meminjam dari BKR (Badan Keamanan Rakjat).[12] Sebagaimana diketahui, bahwa Kuala Tungkal merupakan salah satu kota dalam wilayah RI yang dekat dengan pasar internasional (Singapura dan pusat perdagangan lainnya) dan mempunyai jalur perhubungan laut yang cukup baik dengan dunia luar. Dengan demikian rakyat Kuala Tungkal sangat mudah mendapatkan sedikit persenjataan modern.

Pertumbuhan dan aktifitas ekonomi rakyat pada kurun waktu setelah proklamasi sampai dengan agresi militer Belanda pertama dan kedua di daerah Jambi berjalan dengan baik sesuai dengan ukuran situasi revolusi ketika ini. Perdagangan barter dengan Singapura, ternyata membantu rakyat dalam memperoleh barang kebutuhannya. Namun setelah Belanda melakukan intimidasi dan patroli di perairan Jambi, dan akhirnya dengan dilakukan blokade, maka lalu lintas pelayaran dan perdagangan pada waktu itu setelah proklamasi itu, menjadi agak kurang lancar. Rakyat daerah Jambi yang sebagian besar adalah petani dan pemilik kebun karet tidak dengan mudah dapat melakukan barter ataupun perdagangan dengan Singapura, yang menyebakan sulitnya memperoleh barang kebutuhan hidup.

Sehingga menjadikan perekonomian di daerah Jambi sesuai dengan situasi revolusi, tidaklah menguntungkan. Blokade yang dilakukan oleh kapal-kapal patroli Belanda di daerah pantai menyukarkan para pedagang Kuala Tungkal menjual hasil karetnya ke Singapura yang menjadikan perekonomian rakyat merosot. Hal ini ditandai telah berdirinya organisasi profesional di Tungkal Ilir yaitu Persatuan Dagang atau Serikat, terutama persatuan perdagangan karet.

Selanjutnya berdasarkan keputusan sidang KNI (Komite Nasional Indonesia) untuk pulau Sumatera di Bukit Tinggi pada tahun 1946, pulau Sumatera terbagi atas 3 provinsi, yaitu provinsi Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan dan Sumatera Selatan.[13]

Pada awal pendudukan Jepang semua organisasi dilarang, kecuali MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yang nantinya menjadi Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Organisasi semi militer dari Masyumi adalah Hizbullah dan Sabilillah yang juga diperbolehkan eksis. Di sana adalah ajang pelatihan semi militer dari pemuda-pemuda.

Setelah negara Indonesia berdiri dengan berasaskan Pancasila, wakil Presiden Hatta mengumumkan tentang berdirinya partai-partai. Salah satu sekian dari partai yang berdiri adalah Masyumi. Ketika Kongres Umat Islam pada tanggal 7-8 November 1945 di Yogyakarta diputuskan pembentukan partai politik dengan nama Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), sebagai satu-satunya partai politik yang dimiliki oleh umat Islam dan partai penyatu umat Islam dalam bidang politik.

Sejak revolusi meletus kemudian proklamasi 17 Agustus 1945, di dalam kalangan pemimpin Masyumi pada waktu itu timbul hasrat untuk mengadakan suatu ikatan dari pemuda Islam yang bersifat militan, gerakan pemuda yang mempunyai semangat jihad untuk kemerdekaan agama, bangsa dan tanah air. Dan yang sangat besar sekali memberikan dorongannya kearah pembentukan organisasi tersebut ialah M. Natsir, K.H.A. Wahid Hasjim, dan Anwar Tjokroaminoto.

Pada tahun ini pula (1946) dibentuklah GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia). Pada awal kelahirannya yaitu sejak sukses melakukan mobilisasi rakyat dalam rapat raksasa di lapangan IKADA, semakin banyak kaum muslimin yang datang ke Balai Muslimin di jalan Kramat Raya No. 19 dan menyatakan hasrat dan keinginannya untuk bergabung di dalam perjuangan para mahasiswa STI (Sekolah Tinggi Islam).

Akhirnya organisasi baru itu bernama Gerakan, maka jelaslah bahwa sifatnya akan selalu bergerak, menuju kearah perbaikan dan kemajuan sesuai sifat pemuda, dinamis, lincah, cekatan, siap berkorban, tidak selalu lamban. Kata-kata pemuda dipakai, karena wadah baru itu memang diperuntukan para pemuda, bunga bangsa.

Untuk lebih memberi penegasan lagi, bahwa pemuda Islam yang bergerak itu memang pemuda Islam di Indonesia, maka nama Indonesia pun harus dibubuhkan dibelakangnya, sehingga wadah baru itu nama lengkapnya adalah Gerakan Pemuda Islam Indonesia.

Kata-kata Islam dipakai, karena tekanan memang diletakkan pada kata-kata itu, memberi identitas khusus kepada segenap anggotanya, bahwa mereka adalah pemuda Islam, yang berjuang dengan azas dan dasar ke-Islam-an, dalam mencari ridho Allah dan ikut mempertahankan Negara Republik Indonesia.

GPII menempatkan diri sebagai organisasi yang bisa menerima pemuda dari semua kalangan Islam. Bahkan dalam perkembangannya –karena sebelum ada GPII sudah ada organisasi pemuda Islam yang mengkhususkan diri dalam perjuangan kelasykaran, yaitu Hizbullah- maka pada tanggal 5 Oktober 1945 diadakan kesepakatan untuk menggandengkan penyebutan GPII dengan Hizbullah. GPII garis miring atau dalam kurung Hizbullah.

Pemuda Masyumi pada masa Demokrasi Liberal juga sangat berperan. GPII yang dikomandoi oleh Guru Daud. Pada tahun 1946-1957 Guru Daud dipercaya oleh pemerintah menjadi Kepala kantor Urusan Agama (KUA) Tungkal Ilir.[14] Inilah partai kiranya tempat Guru Daud mencurahkan ekspresi politiknya. Maka pada tahun 1947, Guru Daud kemudian menjadi ketua Partai Masyumi (salah satu partai modernis) Cabang Kuala Tungkal sebagai cerminan wadah perpolitikan kaum santri.[15]

Dalam pada itu, di tengah kesibukan para aktifis melakukan konsolidasi GPII, di Yogyakarta terjadi sebuah peristiwa yang amat bersejarah bagi ummat Islam di tanah air, yaitu diselenggarakan Kongres Ummat Islam Indonesia pada tanggal 7 dan 8 November 1945. Kongres akhirnya menyepakati dibentuknya partai politik Islam, Masyumi, sebagai satu-satunya wadah perjuangan politik ummat Islam Indonesia. Dikalangan kongres waktu itu ada dua usul tentang nama partai yang akan dibentuk. Satu kalangan menghendaki nama Masyumi, karena sudah popular, karena Masyumi didirikan pada zaman pendudukan Jepang. Kalangan kedua mengusulkan nama Partai Rakyat Islam. Tetapi akhirnya nama Masyumi juga yang disepakati dengan penegasan bahwa nama itu bukan lagi singkatan dari Majelis Syuro Muslimin Indonesia. Karena itu lalu disebut “Partai Politik Islam Masyumi”.

Sebelum datangnya Agresi Militer Belanda kesatu, di daerah Jambi sebelum Belanda melancarkan aksi militernya, sudah terasa adanya keadaan perang. Kapal-kapal perang Belanda giat sekali mencegah lalu lintas pelayaran Jambi-Singapura. Dengan demikian di daerah Jambi, terutama diperairan, banyak terjadi insiden dengan Belanda yang lebih frontal.

Sebelum masa Agresi Militer Belanda kesatu, yakni pada bulan April 1947, Belanda melakukan penawanan terhadap Komisaris Polisi Zainal Abidin, Inspektur Polisi Asmara, Letnan PT Saman Idris, Letnan Muda PT Arjai, Letanan Muda PT Jenaib, Letnan Muda PT Nungcik, Alcaft, dan Hulubalang Residen Long Jaffar.

Di samping itu juga telah dilakukan oleh Belanda serangan-serangan secara insidental di daerah Jambi. Di antara serangan yang dilancarkan Belanda ketika ini ialah serangan terhadap lapangan terbang Paal Merah, dimana letnan Muda R. Ramlan, luka berat, seorang perajurit gugur, dan beberapa orang rakyat tewas.

Serangan yang dilakukan Belanda di perairan, antara lain ialah serangan terhadap kapal yang membawa keluarga dan perlengkapan untuk evakuasi di Selat. Serangan Belanda di saat ini meminta korban Kapt. A. Hatib, seorang Sersan Mayor dan seorang rakyat tewas.

Pada bulan Mei 1947 terjadi penangkapan-penangkapan juga dilakukan Belanda di perairan Kuala Betara, Kuala Tungkal. Di Kuala Betara, Kuala Tungkal ini ditangkap oleh Belanda sebuah kapal dagang bernama KM. Bali ditangkap Belanda di perairan antara Kuala Tungkal dan Kampung Laut menuju Jambi. Selain barang-barang dagangan seperti beras dan di kapal tersebut juga terdapat penumpang. Di antara penumpang yang ada di dalam kapal tersebut adalah: Kapten M. Thaib RH (Komandan Kompi Kuala Tungkal), Sersan Mayor Cedet/Kadir Naning (Ajudan) dan beberapa orang pengawal, Pembantu Inspektur Kls. II Asmara Siagian (anggota polisi), Letnan Muda A. Saman, Kepala Pabean Haryono, Pegawai-pegawai Doane, Guru Daud (Kepala Jawatan Agama Kuala Tungkal dan Ketua Masyumi daerah Tungkal), H. Abdullah Azis (Hakim Agama Kuala Tungkal), H. Mohd. Thaib (Pegawai Kantor Agama Kuala Tungkal), Gumri Abdullah (guru agama) dan beberapa orang sipil lainnya. KM. Bali dengan semua penumpangnya di bawa ke Tanjung Pinang (Riau), sedangkan beras di buang ke laut.[16]

Adapun Kapten M. Thaib RH dan Letda R. Umar serta anak buahnya ditawan di Tanjung Pinang sedang penumpang sipil lainnya dibebaskan. Sedangkan M. Thaib RH dan anak buahnya baru dibebaskan setelah penyerahan kedaulatan RI di Jakarta.

Pada bulan Agustus 1947, terjadilah pertempuran laut, yang mana ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia) yang menggunakan Kapal No. RI. 1 dengan senjata yang ada menyerang Belanda yang menggunakan Kapal Royal Patrol Type Dydens B sekitar lima (5) mil dari Laut Kuala Pangkal Duri, Kuala Betara dan Kuala Mendahara. Pertempuran ini terjadi karena pihak Belanda telah melanggar Perjanjian Linggarjati dan memasuki perairan Indonesia dengan melancarkan serangan militer ke daerah-daerah Republik Indonesia, termasuk Kota Kuala Tungkal.[17]

Kemudian pada tahun 1947 ini pula dibentuk pula TKR (Tentara Keamanan Rakjat) yang dipimpin oleh Thoib, RH, H. A. Thaib, Hanafiah HM, dan KH. M. Kasim Saleh (dua orang terakhir adalah pengurus MHI).[18] Pada tahun ini pula (1947), keluarlah fatwa dari Guru Daud ”BAHWA MATI DALAM PERANG MEMBELA AGAMA, TANAH AIR DAN BANGSA ADALAH MATI SYAHID”.[19] Fatwa-fatwa Beliau sangat besar pengaruhnya terhadap segala tindak usaha setiap anggota masyarakat. Keterikatan kepada pribadi-pribadi para ulama tersebut menyebabkan timbulnya "charisma" lembaga pendidikan ini. Fatwa inilah yang membangkitkan murid-murid MHI dan murid-murid di luar MHI untuk berjuang mengadakan perlawanan dan berkorban demi membela nusa dan bangsa. Sebagai seorang ulama, Beliau tidak berada di atas awan. Fatwa jihadnya dan madrasahnya adalah bukti nyata, bahwa Guru Daud tidak mau tinggal diam dalam keterlibatannya dalam membangun masyarakat, negeri dan bangsa.

Pada tahun 1948, Guru Daud (Mudir MHI, komandan Barisan Hizbullah dan GPII) dan KH. Kasim Saleh bersama rombongan ditawan oleh kapal BO Belanda dan dibawa ke Tanjung Pinang sewaktu dalam perjalanan dari Kuala Tungkal ke Jambi melewati laut untuk menghadiri KJA (Konfrensi Jawatan Agama). Namun, setelah lebih kurang 3 bulan rombonganpun dilepaskan.[20]

Kemudian pada awal tahun 1948 dibentuklah KODIM (Komando Distrik Militer) yang dikomandoi oleh A. Fatah Laside, yang anggotanya antara lain adalah KH. M. Kasim Saleh. Beberapa bulan kemudian, tepatnya pada tanggal 11-12 April 1948 kota Kuala Tungkal di serang oleh Belanda dari laut (tepatnya dari sungai Tungkal), waktu itu dua orang tentara yang gugur. Sejak serangan Belanda itulah, MHI praktis dibubarkan untuk sementara, terutama bagi pelajar putri, kemudian terjadilah kevakuman lembaga pendidikan ini. Sedangkan para pelajar putra terlibat latihan perang dalam pasukannya untuk menghadapi agresi atau penyerangan terhadap Belanda berikutnya.[21] Pada masa agresi II sekolah-sekolah yang berada dalam daerah pendudukan Belanda tidak dibuka. Di samping untuk mengatasi persoalan murid agar dapat belajar, dibuka antara lain SMP darurat di Kuala Tungkal yang dipimpin oleh Hakim. [22]

Pada tanggal 20 Juli 1948, TNI AD dan TNI AL serta tentara cadangan termasuk lasykar Hizbullah melakukan perlawanan yang gigih sehingga kapal perang Belanda mundur ke laut lepas selama 2 (dua) jam (di pantai Ancol Beach sekarang).[23]

Pada tanggal 19 Desember 1948 pukul 06.00 pagi, Agresi Militer Kedua dilancarkan Belanda ke Ibukota Republik Indonesia Yogyakarta.

Berbeda dengan keadaan masa aksi militer Belanda I, dimana daerah Jambi boleh dikatakan tidak secara frontal mendapat serangan militer Belanda, maka pada masa Aksi Militer Belanda II daerah Jambi mengalami secara frontal serangan militer Belanda. Pada ketika ini terjadilah kontak bersenjata secara frontal dengan pihak Belanda, hampir di seluruh daerah Jambi.

Sebagaimana dimaklumi, salah satu perjuangan rakyat Jambi melawan Belanda yang terhebat di daerah Jambi adalah perjuangan rakyat Kuala Tungkal masa aksi militer Belanda II.

Pada tanggal 21 Januari 1949, terjadilah Agresi Belanda ke-II mengakibatkan terjadinya pertempuran sengit, yang bertepatan pada hari jum'at, seperti kebiasaan umat Islam, banyak para pejuang berkumpul di Masjid Raya (Jami’/Agung) untuk mengerjakan sholat jum'at. Sekitar pukul 11.55 WIB, beberapa buah kapal Belanda menyerang Kuala Tungkal dengan melepaskan tembakan dan memborbardir serta menghujaninya dengan tembakan meriam dan mortir dari kapal mereka melalui perairan Kuala Tungkal. Salah satu sasaran tembakan mereka adalah Masjid Raya (Jami’/Agung) Kuala Tungkal. Akibat serangan tersebut, sholat jum’at praktis tidak jadi belangsung. Keruan Sehingga banyak para pejuang (pemerintah dan rakyat) yang terpaksa meninggalkan madrasah mengungsi menyingkirkan diri ke luar kota (pedalaman) untuk menghindari diri dan menyusun taktik serangan untuk berjuang secara gerilya mempertahankan kemerdekaan, dan ada sebagian mereka yang bergabung dalam TNI. Akibatnya MHI-pun ditutup total untuk sementara bersama dengan para ustaz dan pelajarpun terpencar-pencar akibat pertempuran yang tidak dapat dihindari. Kemudian Belanda mendarat di Kuala Tungkal, tidak ada penghuninya kecuali beberapa orang saja.[24] Setelah sehari sebelumnya menduduki kota Jambi (20 Januari 1949), akhirnya Kuala Tungkal-pun juga dapat diduduki oleh Belanda pada tanggal 21 Januari 1949 melalui pertempuran yang sengit.[25]

Kemudian dengan sistem geriliya (mengubah sistem pertahanan linear menjadi sistem wehrkreise). Sedangkan TNI, diperintahkan untuk melakukan wingate, yang artinya melakukan penyusupan kembali ke daerah yang telah diduduki musuh dan melakukan perang gerilya. Belanda hanya mampu bergerak di kota Kuala Tungkal dan jalan-jalan. Sementara itu, wilayah lainnnya dikuasai oleh TNI dan rakyat.

Kemudian pada tanggal 25 Januari 1949, dibentuklah FRTI (Front Rimba Tungkal Ilir), yang sebagai ketuanya adalah H. Syamsuddin (pelajar MHI; Penghulu Tungkal III) dan sebagai kepala bagian penerangan KH. Hasan. AR (Guru MHI; Jawatan Penerang Kuala Tungkal).[26]

Dengan didudukinya Kuala Tungkal oleh Belanda sekaligus, maka pada pada tanggal 25 Januari 1949 rakyat mengadakan pertemuan yang terdiri dari berbagai suku guna menghimpun kekuatan untuk mengadakan serangan balasan. Atas mufakat bersama, mereka membentuk Front Rimba. Kemudian Front Rimba Tungkal Ilir membentuk barisan yang diberi nama Lasykar Selempang Merah. Tujuan dari didirikannya Lasykar Selempang Merah ini ialah untuk menggempur Belanda yang menduduki Kuala Tungkal. Oleh sebab itu harus dipilih siapa yang akan memimpin barisan Lasykar Selempang Merah, terutama waktu menyerbu/menyerang kedudukan Belanda. Maka terpilihlah Abdushshomad yang disebut kemudian dengan istilah ’Panglima’, maka Beliau lebih populer dengan sebutan Panglima Adul. Selain itu pula yang turut serta dalam barisan ini adalah guru MHI, HM. Saman, H. Abdul Hamid. Disepakati pula bila Lasykar Selempang Merah menyerang Belanda harus bersama TNI dan taktik berada di bawah komando TNI.[27]

Pada tanggal 2 Februari 1949, perjuangan rakyat di Kuala Tungkal dengan membentuk satu organisasi yang bernama Lasykar Selempang Merah Front Tungkal Area yang mempunyai anggota 3000 orang dikepalai oleh H. M. Saman (dikenal dengan sebutan Panglima Saman) Sedangkan dari TNI (Tentara Nasional Indonesia) mempunyai kekuatan satu batalion dikepalai oleh Kapten Zainul Rivai.[28]

Pada tanggal 7 Februari 1949 dengan menggunakan 9 (sembilan) buah perahu, dipimpin oleh Abdushshomad, bersama dengan 41 anggota yang telah mempelajari amalan Lasykar Selempang Merah dengan bersenjatakan parang, pisau, keris, tombak dan senjata tajam lainnya, berangkat dari Parit Selamat menuju Kuala Tungkal. Pasukan dibagi empat, masing-masing dipimpin oleh: 1) Abdushshomad, 2) H. Saman, 3) H. Nafiah, dan 4) Zainuddin.[29]

Setelah merasa aman, Belanda mendaratkan pasukannya sambil terus melepaskan tembakan senjata berat untuk melindungi pasukannya yang sedang melakukan pendaratan.

Maka pada jam 24.00 WIB, mereka menyerang pertahanan Belanda secara serentak dan mendadak, Belanda tidak memperkirakan/menduga sebelumnya. Pertempuran terjadi sampai jam 09.00 WIB pagi. Karena penyerangan dilakukan secara tiba-tiba/mendadak, banyak tentara Belanda yang menjadi korban, di antaranya terdapat seorang yang berpangkat Kapten. Barisan Selempang Merah dengan dua orang gugur yaitu Arup bin Wahid dan A. Rachman serta dua orang ditawan. Dengan berhasilnya serangan pertama ini, maka menambah keyakinan masyarakat terhadap keampuhan amalan Selampang Merah, sehingga banyak yang menyampaikan keinginan mereka untuk turut bertempur menyerang Belanda.[30]

Suatu serangan bersama pasukan TNI dan Selempang Merah dilakukan lagi pada tanggal 15 Februari 1949 dengan kekuatan 115 orang. Pasukan Selampang Merah dipimpim oleh Panglima Adul dan pasukan TNI dipimpin oleh Sersan Mayor Murad Alwi bersama Sersan Mayor Buimin Hasan, keduanya dari CPM, bergerak dari Parit Bakau Seberang Kota Kuala Tungkal. Pasukan menyerang kapal Belanda di laut dengan menggunakan 11 (sebelas) buah perahu. Pasukan berangkat jam 04.00 pagi, pada waktu air pasang dengan semangat yang menyala-nyala dan tekad merdeka atau mati, di landasi oleh keyakinan bahwa apabila mereka gugur di medan pertempuran mereka mati syahid, karena mati dalam membela agama, bangsa dan negara.[31]

Perahu pertama pada urutan paling depan adalah perahu Panglima Adul bersama Sersan Mayor CPM Murad Alwi dan 2 orang anggota CPM yaitu Kopral Badari dan Kopral Muhammad serta 7 orang anggota Selempang Merah, antara lain Abdullah. Sersan Mayor CPM Buimin Hasan bersama beberapa anggota CPM dan Barisan Selempang Merah berada pada perahu urutan ketiga. Setelah pasukan berada ditengah-tengah lautan, bertemu dengan sebuah kapal perang Belanda. Panglima Adul dan kawan-kawan segera melepaskan tembakan yang ditujukan kepada tentara Belanda yang berada di atas kapal.[32]

Seketika itu juga terjadi tembak-menembak yang gencar dari kedua belah pihak. Panglima Adul melompat ke dalam air dan berenang menuju kapal Belanda dengan tujuan naik ke kapal untuk menyerbu tentara Belanda yang ada di atas kapal. Pada saat berpegang pada jangkar, kapal Panglima Adul terus diberondong dengan tembakan senapan mesin oleh tentara belanda sehingga pegangannya terlepas tenggelam dan tidak timbul lagi, panglima Adul gugur di tempat tersebut.[33]

Tentara Belanda terus melepaskan tembakan senapan mesin yang mengakibatkan beberapa perahu pecah dan terbalik, termasuk perahu dimana Sersan mayor CPM A. Murad Alwi seorang anggota Barisan Selempang Merah yang turut dalam perahu tersebut kena tembak dan gugur pada wakti itu juga. Dalam pertempuran ini sebanyak 30 orang anggota Barisan Selempang Merah dan 2 orang anggota CPM, yaitu Kopral Badari dan Kopral Muhammad gugur, sedangkan 15 orang lainnya luka-luka termasuk Sersan Mayor CPM A. Murad Alwi. Sersan Mayor CPM Buimin Hasan bersama anggota pasukan yang berada dalam perahunya dapat menyelamatkan diri dan mendarat di pantai Tangga Raja Ulu.[34]

Dengan gugurnya Panglima Adul dan Panglima H. Abdul Hamid, maka pimpinan Barisan Selempang Merah digantikan oleh Panglima H. Saman, yang selama ini selalu mendampingi Panglima Adul dalam penyerbuan terhadap tentara Belanda.[35]

Selanjutnya, pada tanggal 23 Februari 1949 pasukan TNI (Tentara Nasional Indonesia) dengan dibantu oleh Lasykar Selempang Merah (lasykar ini menggunakan kain berwarna merah dengan mengikatnya di kepala untuk melawan Belanda, sambil menyebut nama Allah ’Ya Zal Jalâli wal Ikram’) beserta rakyat menyerbu pertahanan Belanda di Kuala Tungkal, dengan strategi dan taktik mentap, dengan menggunakan senjata-senjata tradisional seperti kampilan, parang bungkul, pedang kajang rungkup, pedang panjang, mandau Kuala, keris Banjar, keris Beram Itam kanan, keris, kuningan, badik Bugis, tombak dll, serta menggunakan Al-Qur'an Istambul (al-Qur’an terkecil cetakan Timur Tengah) yang merupakan perlengakapan religius yang digunakan untuk mempertahankan kemerdekaan. Sehingga dengan persiapan yang matang dan perlengkapan tradisional yang memadai itu, Belandapun dapat dipukul ke kapal perang mereka.[36]

Tungkal Ilir menjadi sasaran pertempuran (Front). Pimpinan petempuran di Tungkal Ilir ini dipegang oleh Letnan Abdul Fatah (Abdul Fatah Leside), selama pertempuran telah gugur di pihak Selempang Merah 300 orang dan dari fihak musuh 40 orang tentara Belanda. Rumah-rumah rakyat yang hancur sejumlah 400 buah rumah termasuk kediaman Guru Daud.[37] Setelah tentara Belanda dapat dipukul mundur oleh pasukan gabungan TNI dan Lasykar Selempang Merah, pejuang Kuala Tungkal kemudian banyak mendapatkan senjata otomatis hasil rampasan dari Belanda pada pertempuran di Kuala Tungkal ini.

Selempang Merah ini, kemudian bergabung menjadi satu organisasi yang bernama “Pantjasila” berpusat di Djati Negara Djakarta dan telah mempunyai anggota sebanyak 10.000 orang.

Sejak itulah (Agresi Belanda I dan II) kerapkali terjadi serangan dari pihak Belanda yang kemudian memunculkan perlawan rakyat Tanjung Jabung terhadap pemerintah kolonial Belanda di Kuala Tungkal yang tidak dapat terhindarkan. Adapun peperangan tersebut antara lain: 7 (tujuh) kali di antaranya adalah kontak senjata/perang, 4 (empat) kali di Pembengis, 2 (dua) kali di Parit Selamat/Parit Bakau, satu kali di Parit 7 Tungkal I. Dalam peperangan tersebut, banyak guru dan murid MHI yang gugur di tangan Belanda sebagai syuhada dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, di antaranya adalah: Abdussomad (guru MHI; gugur di sungai Pengabuan), Hanafiah, H. Kadir, Mahfuz, Abdullah Saman, H. Imas Hasyim dan murid-murid MHI yang lainnya (gugur di Kuala Tungkal).[38]

Selain itu banyak lagi terjadi pertempuran-pertempuran yang melibatkan murid-murid MHI, antara lain perang di Teluk Sialang, di antara murid-murid MHI yang terlibat yaitu; H. Zam-zam. H. Anwar, H, Samad bin Saud, Jahari, H, Mahmud. Peperangan yang terjadi di Sungai Serindit yang melibatkan murid-murid MHI, seperti: Ardi, H. Hanafiah, H. Husin, dan H. Jahari. Peperangan yang terjadi di Teluk Nilau (Ibukota kecamatan Pengabuan), muri-murid MHI yang terlibat di antaranya adalah, Abdul Hamid, Amir, H. Hasan, Basrah, dll.[39]

Adapun para pejuang MHI yang sekarang masih hidup, yaitu KH. M. Arsyad, Ahmad Zaini, Safri, Abdullah El, H. Dramansyah, H. Ghazali, H. Hasan, Basrah, Saadun, Mamas, Hasan, Bakri, dll.[40]

Setelah itu pada tanggal 14 April 1949 dengan penetapan Nomor: 003/181248/49 dibentuklah pemeritahan militer yang diperbaharui dengan ketetapan militer Nomor: 10017/18128/49 tanggal 25 Mei 1949, dimana H. Syamsuddin menjadi Wakil Kepala Pemerintahan Militer dengan 24 personil lainnya, 8 di antaranya adalah pengurus, guru, pelajar MHI yaitu Guru Daud (Mudir MHI), H. Asmuni (Pasirah), Hasbullah Naud (pengurus MHI), dan Karim, Fachruddin Lubis, Latua/Saleh Tuah (murid MHI).[41]

Pada priode ini pula bertepatan penyerahan kedaulatan Republik Indonesia. Di Kuala Tungkal sendiri, penyerahan kedaulatan dari pihak Belanda yang dilakukan oleh Wedana Ishak kepada Wedana Nurdin dari pihak RI yang dilaksanakan pada hari kamis tanggal 15 Desember 1949 M di desa Parit Deli kecamatan Betara.[42] Kemudian beberapa selanjutnya pada tanggal 31 Desember 1949 kemerdekaan Indonesia diakui oleh seluruh dunia yang merupakan kejadian yang sangat penting dalam dunia Islam.

Begitulah perlawanan rakyat dan MHI Kuala Tungkal terhadap pemerintah kolonial Belanda. Para pelajar MHI turut berjuang dengan gigih menentang kaum penjajah, sehingga banyak di antara mereka yang tewas dan ditawan. Hal ini menunjukkan kepahlawanan para guru dan murid MHI yang tergabung dalam lasykar Selempang Merah melawan pemerintah penjajahan Belanda dengan mengadakan peperangan dengan gerilya.



[1] Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 4.

[2] Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 4.

[3] Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 5.

[4] Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 5.

[5] KH. M. Arsyad, Wawancara. Lihat Efendi Hasan (2004). Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1949). Legiun Veteran Republik Indonesia Kabupaten Tanjung Jabung Barat: Kuala Tungkal. h. 1.

[6] KH. M. Arsyad, Wawancara.

[7] Efendi Hasan (2004). Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1949). Legiun Veteran Republik Indonesia Kabupaten Tanjung Jabung Barat: Kuala Tungkal. h. 1.

[8] MA PHI (2003). Al-Anwar asy-Syâthi’ah, MA PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 70. Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 5.

[9] Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 6.

[10] KH. M. Arsyad, Wawancara. Lihat Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 5.

[11] KH. M. Arsyad, Wawancara.

[12] MA PHI (2003). Al-Anwar asy-Syâthi’ah, MA PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 65.

[13] Lembaga Adat Kabupaten Tanjung Jabung Barat (2003). Buku Panduan Pengukuhan dan Pemberian Gelar Adat Di Bumi Serengkuh Dayung Serentak Ke Tujuan: Kuala Tungkal. h. 11.

[14] MA PHI (2001). Nafasah al-Khawâtir, MA PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 43.

[15] MA PHI (2001). Nafasah al-Khawâtir, MA PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 43.

[16] Efendi Hasan (2004). Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1949). Legiun Veteran Republik Indonesia Kabupaten Tanjung Jabung Barat: Kuala Tungkal. h. 5.

[17] Lihat Museum Perjuangan Jambi. Efendi Hasan (2004). Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1949). Legiun Veteran Republik Indonesia Kabupaten Tanjung Jabung Barat: Kuala Tungkal. h. 5.

[18] Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 6.

[19] Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. 6.

[20] MA PHI (2001). Nafasah al-Khawâtir, MA PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 43.

[21] Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 6.

[22] Departemen P & K. (1986). Sejarah Revolusi Kemerdekaan Daerah Jambi. Karya Kita: Jambi. h. 99.

[23] Efendi Hasan (2004). Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1949). Legiun Veteran Republik Indonesia Kabupaten Tanjung Jabung Barat: Kuala Tungkal. h. 7.

[24] Lihat Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 7.

[25] Lihat Departemen P & K. (1986). Sejarah Revolusi Kemerdekaan Daerah Jambi. Karya Kita: Jambi. h. 79. Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 7.

[26] Lihat Efendi Hasan (2004). Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1949). Legiun Veteran Republik Indonesia Kabupaten Tanjung Jabung Barat: Kuala Tungkal. h. 10. Menyebutkan bahwa penyempurnaan pengurus Front Rimba ditetapkan pada tanggal 15 Januari 1949.

[27] Efendi Hasan (2004). Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1949). Legiun Veteran Republik Indonesia Kabupaten Tanjung Jabung Barat: Kuala Tungkal. h. 8.

[28] Museum Perjuangan Jambi, Dokumentasi. Efendi Hasan (2004). Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1949). Legiun Veteran Republik Indonesia Kabupaten Tanjung Jabung Barat: Kuala Tungkal. h. 8.

[29] Efendi Hasan (2004). Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1949). Legiun Veteran Republik Indonesia Kabupaten Tanjung Jabung Barat: Kuala Tungkal. h. 12.

[30] Efendi Hasan (2004). Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1949). Legiun Veteran Republik Indonesia Kabupaten Tanjung Jabung Barat: Kuala Tungkal. h. 12.

[31] Efendi Hasan (2004). Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1949). Legiun Veteran Republik Indonesia Kabupaten Tanjung Jabung Barat: Kuala Tungkal. h. 13.

[32] Efendi Hasan (2004). Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1949). Legiun Veteran Republik Indonesia Kabupaten Tanjung Jabung Barat: Kuala Tungkal. h. 13.

[33] Efendi Hasan (2004). Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1949). Legiun Veteran Republik Indonesia Kabupaten Tanjung Jabung Barat: Kuala Tungkal. h. 13.

[34] Efendi Hasan (2004). Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1949). Legiun Veteran Republik Indonesia Kabupaten Tanjung Jabung Barat: Kuala Tungkal. h. 13-14.

[35] Efendi Hasan (2004). Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1949). Legiun Veteran Republik Indonesia Kabupaten Tanjung Jabung Barat: Kuala Tungkal. h. 14.

[36] Museum Perjuangan Jambi, Dokumentasi.

[37] Museum Perjuangan Jambi, Dokumentasi.

[38] Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 8.

[39] Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 8.

[40] Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 8.

[41] Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 7.

[42] Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 9. Departemen P & K. (1986). Sejarah Revolusi Kemerdekaan Daerah Jambi. Karya Kita: Jambi. h. 117.

SEJARAH PHI KUALA TUNGKAL (BAB IV/BAG 22)

B. PERIODESASI PERKEMBANGAN PP PHI KUALA TUNGKAL

Sebagaimana dimaklumi, bahwa di Kuala Tungkal belum ada satu sekolah Islampun sebelum berdirinya MHI. Cikal bakal madrasah ini adalah berasal dari pengajian anak-anak pria dan wanita di rumah kediaman Guru Daud sendiri, yang kemudian Beliau bersama masyarakat membentuk sebuah madarasah (sekolah) swasta yang modern di kala itu, dengan berkelas yang memakai meja, kursi, papan tulis dan peralatan-peralatan yang praktis dipergunakan sehari-hari yang pada umumnya sudah lengkap, walapun hanya bersifat sederhana, yang merupakan usaha penyesuaian atas tradisi persekolahan yang dikembangkan oleh pemerintah Hindia-Belanda sebagai tandingan di mana khusus diberikan pengetahuan keagamaan. Mengingat struktur dan mekanismenya yang hampir sama, sekilas dapat diduga madrasah merupakan bentuk lain atau ”jelmaan” dari sekolah ala Belanda yang hanya diberi muatan dan corak ala Islam.

Masuknya pemerintah kolonial Belanda dengan membawa sistem persekolahan yang sekuler, telah melahirkan dikotomi sistem madrasah dengan sistem sekolah. Keadaan ini telah mengiring MHI menjadi terisolir dari mainstream pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah Belanda; bahkan MHI sebagai benteng perlawan terhadap pemerintah kolonial. Keadaan ini menjadi salah satu penyebab kekurang tertarikan pendidikan di MHI terhadap bidang studi umum, karena memang pada awalnya tidak terdapatnya guru bidang studi umum.

Pengajian yang dirintis oleh Guru Daud dalam rangka pembangunan dan penyebaran agama Islam di daerah ini telah menghasilkan dasar-dasar pandangan hidup yang berakar kuat dalam masyarakat Kuala Tungkal. Timbulnya golongan ulama sebagai hasil yang diperoleh melalui pengajian ini merupakan modal yang berperanan besar dalam perkembangan masyarakat di daerah ini. Melalui kelompok ulama inilah pengajian terus berkembang dan meluas.

Pada waktu itu kegiatan pendidikan dan pengajaran antara yang diselenggarakan oleh pemerintah dengan yang diselenggarakan oleh masyarakat tidak terdapat hubungan kerja sama. Apabila pendidikan swasta (keagamaan) yang merupakan bentuk baru dari pengajian mendapat dukungan dari masyarakat, maka sekolah-sekolah pemerintah tidak mendapat simpati dari masyarakat.

Untuk mengikuti perkembangan MHI (Madrasah Hidayatul Islamiyah) yang kemudian berubah nama menjadi PP PHI (Pondok Pesantren Perguruan Hidayah Islamiyah) dikarenakan memiliki lima unsur pendukung yang menjadi karakteristik sebuah pondok pesantren. Yaitu pada umumnya ditandai dengan adanya pondok (asrama), masjid, pengajaran dengan kitab-kitab Islam yang klasik, santri dan kyai. Elemen terakhir merupakan figur sentral yang menjadi motor penggerak lembaga pendidikan tradisonal Islam di Indonesia. Alangkah baiknya, marilah kita simak priodesasi perkembangan PP PHI yang terbagi menjadi 8 (delapan) periode:

1. PERIODE I (1936-1945)

Periode ini disebut dengan periode kesadaran religius dan kebangsaan. Yaitu dengan mengarahkan kepada kesadaran beragama dengan memberikan ilmu pengetahuan dasar keagamaan[1] yang tujuan utamanya adalah untuk mendidik para murid agar taat beragama menjadi orang yang bertaqwa kepada Allah SWT dan cinta tanah air. Periode ini adalah zaman peralihan dari kekuasaan Belanda ke kekuasaan Jepang.

Tidak berapa lama setelah peresmian MHI, tepatnya pada tanggal 26 September 1936 ditunjuklah secara langsung H. M. Ismail bin H. Bustami (orang tua KH. M. Said Ismail) oleh Hoofd Penghulu Jambi sebagai tenaga pengajar pertama MHI sesuai dengan Surat Keputusuan yang dikeluarkan langsung oleh Hoofd Penghulu Kersesidenan Jambi, yang kemudian di angkat oleh Guru Daud Guru sebagai Wakil Kepala madrasah pertama. Beliau adalah alumnus madrasah Nurul Iman yang tidak diragukan lagi faham keagamaannya yang lama menuntut ilmu di Makkah al-Mukarramah. Dengan dibantu beberapa guru/staff pengajar yang mana para pengajar tersebut di antaranya adalah murid-murid yang belajar di luar daerah kemudian kembali ke Kuala Tungkal.

Adapun bunyi Surat Keterangan yang dikeluarkan oleh Hoofd Penghulu Jambi tersebut sebagaimana berikut ini, tetapi telah dialihkan ke dalam bahasa Indonesia yang teks aslinya dengan berbahasa Arab Melayu:

No 4 Surat Keterangan[2]

Kami yang bertanda tangan di bawah ini menerangkan H. Ismail yang berada di Kuala Tungkal Jambi yaitu berasal dari murid Madrasah Nurul Iman Jambi di Pacinan (Jambi) menurut pendapat kami yaitu H. Ismail ada mengerti tentang lembaga agama yang sejatinya. Oleh itu patut diberikan izin oleh yang berkuasa yaitu H. Ismail mengajar di lembaga agama di Kuala Tungkal selama tidak diubahnya pengajian yang sudah dipelajarinya dalam madrasah tersebut. Demikianlah adanya, Jambi 26/9/36.

Hoofd Penghulu di Jambi Guru yang mengajar di madrasah tersebut

H. Abdushshomad ttd,

di stempel

H. Anwari Hakim

Ttd

Pasirah

Di Pasirah dan Tungkal Ilir

ttd, di stempel

Setelah dibukanya MHI, maka peran ulama dan kiyai sangatlah penting dan dominan dalam menentukan arah kebijakan MHI ke depan. Pada periode awal ini, kepemimpinan madrasah bersifat sistem manajemen tradisional, dalam arti sistem kepemimpnan tunggal dengan figur sentral seorang kiyai. Maka dibentuklah struktur organisasi madrasah.

Adapun struktur kepengurusan MHI pada masa awal berdirinya (1936) adalah: Kepala Sekolah: KH. M. Daud Arif, Wakil Kepala Sekolah: KH. Ismail Bustami, Penasehat: KH. Husin, Bendahara: KH. Amin Thohir, Penilik Sekolah: KH. M. Kasim Saleh Bestuur, Guru-guru: KH. Husin, KH. Amin Thohir, KH. M. Kasim Saleh Bestuur, KH. Abdul Karim, KH. M. Abdurrahman Hakim (anak H. Anwari Hakim), KH. Abdul Kadir, KH. Hasan. AR. Murid laki-laki: H. Muhammadan, H. Sayamsuddin, H. M. Noer, H. Hasan, H. Nafiah, Muhammadan Berahim, Abdul Hamid, Nahwu, dll. Murid perempuan: Hj. Aminah, Salasiah, Nurdiah, Maimun, Amnah, Ramlah, Norma, dll.[3]

Pada periode ini MHI mulai berkembang, yang mana semula sebuah gedung yang dibangun hanya diperuntukkan untuk murid laki-laki tidak mencukupi lagi untuk menampung murid-murid baru, karena bertambah banyak dari sebelumnya.

Pada masa-masa awalnya, sesudah berdiri MHI, untuk tingkatan sekolah pada waktu itu, pada mulanya mempunyai jenjang atau tingkatan pendidikan yang berbeda-beda, terbagi pada 3 tingkatan, yaitu Qism Awwaly (Tingkat Nol) masa belajarnya selama 2 tahun, Qism Tahdiriy (Tingkat Setengah) masa belajarnya selama 2 tahun, dan Qism Ibtida’i (Tingkat Dasar) masa belajarnya selama 2 tahun.[4] Tingkatan madrasah yang paling sederhana tidak hanya mengajarkan cara membaca huruf Arab dan al-Qur'an, di samping menyelenggarakan pelajaran langsung ke beberapa jenjang pelajaran, mengajarkan berbagai kitab fiqh, ilmu akidah dan kadang-kadang amalan sufi, di samping tata bahasa Arab (nahwu dan sharf). Madrasah yang agak modern berkelas yang memakai meja, kursi, papan tulis. Pada masa ini belum ada pemungutan uang sekolah, guru-guru mengajar hanya karena Allah semata-mata, tidak mengharapkan gaji/upah atau honorium. Walaupun MHI telah dibuka, akan tetapi, Guru Daud tetap mengadakan pengajian dikediaman Beliau.

Adapun lembaga pendidikan MHI atau dikenal dengan ”Sekolah Arab” dilaksanakan pada waktu sore hari, MHI pada mulanya adalah sekolah yang hanya mengajarkan pendidikan Islam melalui sumber asli kitab-kitab kuning yang berbahasa Arab ”Asli Arab” (Fusha) dan ”Asli Indonesia” (Melayu) sebahgai bahasa terjemahan, di tempat inilah banyak murid-murid yang memahami bahasa Arab. MHI inilah sekolah yang menjadi rival dari sekolah Belanda atau dikenal dengan ”Sekolah Latin” yang telah muncul terlebih dahulu yang hanya mengajarkan pendidikan umum atau tidak terdapat di dalamnya pelajaran agama yang dilaksanakan pada pagi hari. Terlebih lagi MHI inilah yang kiranya mewarnai masyarakat Kuala Tungkal dengan pendidikan yang sama sekali baru jika dibandingkan dengan pola pendidikan Barat yang berseberangan, tentunya dengan bahasa Belanda sebgai bahasa pengantar yang diselingi bahasa Indonesia. Dari pendidikan di sekolah Belanda inilah murid-murid yang belajar di sana dapat mengetahui bagaimanakah menulis huruf Latin. Selanjutnya dalam perjalanannya, maka terjadilah persaingan antara MHI dengan sistem ala ”Timur” versus Volkschool dengan sistem ala ”Barat”.

Karena daya tampung asrama tidak mencukupi untuk para pelajar, maka selain tinggal di asrama maka para pelajar yang jauh berasal dari kampung-kampung sekitar Tanjung Jabung yang pada mulanya tinggal di rumah-rumah penduduk di sekitar madrasah.

Pelajar atau siswa yang belajar bukan saja dalam kota, bahkan juga berasal dari parit-parit (desa-desa). Seperti Parit 2, 3, 4, 5, 6, 7, Teluk Sialang Betara, Beramitam Kanan dan Pembengis, dikarenakan hubungan jalan sudah cukup baik dewasa itu. Madrasah dibuka belajar waktu pagi hingga sampai pendudukan Jepang. Para pelajar yang berada di dekat madrasah tinggal di rumah orang tua masing-masing, dan bagi yang berasal dari daerah luar tinggal di rumah-rumah penduduk yang berada dekat dengan madrasah. Sedangkan para orang tua belajar pada malam hari dengan Guru Daud.[5]

Adapun kebutuhan kitab-kitab yang dipelajari tersebut didapatkan berasal dari pribadi Guru Daud sendiri yang mana kitab-kitab tersebut dibeli/didatangkan Singapura yang berasal terbitan Timur Tengah, kemudian murid-murid membeli kitab-kitab tersebut. Tidak ada bantuan dari pemerintah Belanda.[6]

Pada tingkatan ini yang diutamakan adalah pengajaran melalui kitab-kitab Islam klasik/Arab gundul (al-kutub al-mu'tabarah) yang berasal dari Makkah al-Mukarramah Saudi Arabia Timur Tengah. Umumnya kitab-kitab yang dipakai di MHI adalah hampir sama semuanya dengan madrasah-madrasah di Jambi yang tergabung dalam Perukunan Tsamaratul Insan, di antanya adalah:[7]

1. Nahwu (Matn al-Ajurumiyyah, al-Kawâkib al-Durriyyah)

2. Sharf (Matn al-Kailâni, Matn al-Binâ')

3. Fiqh (Fath al-Qorib, Riyâdh al-Badi'ah)

4. Tafsir (Al-Qur'an 4 juz, Al-Jalâlain)

5. Tauhid (Al-'Aqôid al-Diniyyah, Matn al-Sanusi)

6. Hadits (Al-Arba'in al-Nawâwiyyah, Al-Targhib wa al-Tarhib)

7. Manthiq (Idhôh al-Mubham)

8. Bayân (Al-Bayân)

9. Ushûl al-Fiqh (Al-Sullam)

10. Dll.

Pada masa ini boleh dikatakan perubahan kurikulum tidak ada, sebab kitab-kitab yang beredar di madrasah selalu mendapat sensor dari pemerintah Belanda. Kitab-kitab yang isinya bersifat membahayakan pemerintahannnya tidak akan diperbolehkan masuk ke Indonesia.

Boleh jadi kitab-kitab ini berasal dari cetakan-cetakan Timur Tengah yang telah lebih dulu maju, karena juga pengaruh kitab-kitab itu berasal dari ulama-ulama Timur Tengah. Lebih dari itu, sangat mungkin sekali banyak karya-karya lain yang terlupakan. Namun setidaknya koleksi tersebut menghadirkan contoh-contoh yang cukup representative mewakili seluruh bahan-bahan pelajaran yang dipakai di MHI pada waktu ini.

Dilihat dari kitab-kitab yang pertama kali diajarkan adalah kitab-kitab Arab bukan Latin (umum). Mengapa belum dimasukkannya pelajaran-pelajaran umum? Hal ini kemungkinan besar disebabkan karena latar belakang pendidikan guru-gurunya, tidak adanya guru dalam mata pelajaran umum, situasi sosial dalam lingkungan madrasah, sikap dan pandangan serta prospektif guru dan masyarakat sekitar mengenai perubahan-perubahan yang akan terjadi.

Selain itu, pada umumnya para pemimpin madrasah yang mendapat pendidikan di Saudi Arabia itu merasa sadar dengan sepenuhnya bahwa bangsanya terjajah, namun tiada kekuatan untuk melawannya, maka satu-satunya perjuangan mereka adalah lewat pendidikan itu. Oleh karena itu mereka selalu menanamkan suatu sikap benci dengan penjajah di kalangan masyarakat, sehingga dengan adanya sikap tersebut mengakibatkan adanya penilaian negatif terhadap sesuatu yang datang atau dibawa oleh penjajah. Termasuk pula disini yang berkenaan dengan masalah pendidikan umum yang diberikan/didirikan oleh orang Belanda, mereka juga tidak mau menerimanya. Oleh karena itu pada tahap pertama ini tidak diberikan sama sekali fak-fak umum di madrasah. Hal ini tidak hanya berpengaruh pada mata pelajaran saja, akan tetapi sampai masalah cara berpakaianpun dilarang menyerupai pakaian orang Belanda.

Di samping itu, secara tidak langsung, ditanamkan pula kesadaran kebangsaan, yaitu pada waktu mengajar para guru memberikan ulasan pelajaran dikaitkan dengan kesadaran berbangsa.[8] Walaupun pelajaran ini secara langsung dilarang oleh Belanda dan selalu diawasi dengan ketat. Namun demikian, di MHI tetap diajarkan walaupun Belanda tetap memberikan warning keras kepada MHI. Sebagaimana diketahui, pemerintah kolonial Belanda berusaha menekan dan mendeskriditkan pendidikan Islam yang dikelola oleh pribumi. Penyelenggaraan pendidikan Islam di Indonesia menurut pemerintah kolonial Belanda terlalu jelek dan tidak memungkinkan untuk menjadi sekolah-sekolah modern. Oleh karena itu, mereka mengambil alternatif kedua, yaitu mendirikan sekolah-sekolah sendiri yang tidak ada hubungannya dengan lembaga pendidikan yang telah ada.

Adapun indikator-indikator dari adanya ajaran kesadaran kebangsaan di MHI yang menumbuhkan rasa perjuangan rakyat ketika itu, yaitu ditandai dengan munculnya cinta beragama dan tanah air, sebab yang memimpin perjuangan pertama-tama adalah Beliau, selain dengan cara tabligh dilakukan pula antara lain dengan cara:[9]

1. Lagu-lagu wajib yang sering dinyanyikan liriknya mengandung kesadaran berbangsa, seperti; “wahai umat Islam Indonesia, bangunlah kita tampil kemuka, Islamlah dasar kita bekerja, dalam memperjaya agama dan bangsa”, satu lagu yang bernafaskan perjuangan yang menjadi mars MHI. Berikut ini 2 (dua) lagu mars MHI yang telah dialihkan ke dalam bahasa Indonesia yang teks aslinya dengan berbahasa Arab Melayu:[10]

NASYID AGAMA ISLAM

Agama Islam agama kita agama suci lagi mulia

Agama menuntun kepada bahagia dianjurkan oleh Rasul pembela

Tidak toloknya tidak bandingnya 2x

Hiduplah Islam hidup bahagia 2x

Wahai umat Islam di Indonesia bangunlah kita tampil ke muka

Islamlah dasar kita bekerja dalam memperjaya agama dan bangsa

Turutlah jejak junjungan kita 2x

Hiduplah Islam hidup bahagia 2x

Aduhai ayah ibu bersana tunjanglah kami belajar agama

Lenyapkanlah perasaan yang lama agar tercapai mulia sentosa

Itulah tujuan sekolah kita

Hiduplah Islam hidup bahagia 2x

NASYID MAULIDUN NABI MUHAMMAD SAW

Malidun Nabi Muhammad Nabi akhiriz zaman

Sebelum fajar dilahirkan malam isnin rabi’ul awwal 2x

12 tanggal lahirnya di Makkah itulah tempatnya di situ mulai tersiar

Reff#

Agama Islam mulia sehingga sampai ke Indonesia semua

Mari kita merayakan kelahiran junjungan kita 2x

Ayo, kita turut perintah menjauhkan yang dilarang Allah

Bersatu kita disuruh jangan berpecah belah

Yaa saudaraku tempo bersatu

Mari kita menguatkan pertalian sesama Islam 2x

Sampai sekarang wafatnya jauh ibarat lampu 2x

Kalau tidak dikuatkan Islam berkurang-kurang tentu 2x

2. Dalam pelajaran khat (kaligrafi), kalimat yang ditulis juga mengandung ajaran kesadaran berbangsa dan bernegara, seperti: “Hubbul wathon minal iman” (cinta tanah air adalah sebagian dari iman). Adapun tujuan perasaan cinta kepada bangsa dan tanah air supaya setiap umat Islam merasa terpanggil untuk berjuang dan membelanya dari penjajahan bangsa asing, ditanamkan benar-benar dalam diri setiap murid bahwa dalam Islam, membela bangsa dan tanah air adalah mati syahid.

3. Dalam pelajaran tafsir, hadits, fiqh misalnya, diajarkan pula tentang keutamaan mati syahid dalam membela agama dan bangsa.

D­i samping itu, dibentuk pula organisasi-organisasi/kegiatan ekstra madrasah yang bermotivasi agama dalam kegiatan pendidikan swasta yang merupakan saingan terhadap pendidikan kolonial yang diselenggarakan Belanda yang masing-masing menyelenggarakan kegiatan pengajaran di masyarakat. yang mana pengurus dan anggotanya terdiri dari para pendidik dan pelajar MHI, seperti:[11]

1. Taman Bacaan al-Qur'an (1936) yang dikelola oleh Kurnain Azat, H. Masdar, H. Azhari, dkk.

2. Persatuan Pelajar “Musyawaratutthalibin” (1937), cabang dari Banjarmasin (Kalsel). Untuk cabang Kuala Tungkal, persatuan ini diketuai oleh Kurnain Azat, H. Asnawi (waka), H. Hasan (sekr), dan M. Bek. Persatuan ini termasuk salah satu dari gerakan kemerdekaan bangsa Indonesia. Sedangkan anggotanya terdiri dari pelajar-pelajar MHI. Organisasi ini adalah organisai kebangsaan di kalangan umat Islam Indonesia yang membawa pengaruh besar kepada pelajar-pelajar MHI dalam rangka kesadaran berbangsa dan bernegara.

Organisasi Musyawaratutthalibin didirikan pada tahun 1930 di Kalimantan Selatan yang mempunyai madrasah tersebar di kota-kota di Kalimantan Selatan. Persatuan ini merupakan salah satu/sebagai organisasi pemuda dan keagamaan lokal yang juga turut mewarnai pergerakan kebangsaan di Kalimantan Selatan sebagai wadah untuk memperjuangkan nilai-nilai kebebasan dan keadilan. Merupakan organisasi Islam lokal terbesar di Kalimantan Selatan, karena selain mempunyai beberapa cabang di Kalimantan, juga melebar ke luar pulau Kalimantan, terutama di daerah komunitas Banjar perantauan seperti Sapat, Tembilahan dan daerah lain di Pesisir Timur Sumatera.[12] Musyawaratutthalibin menempati keistimewaan tersendiri dalam panggung sejarah pergerakan di Kalimantan Selatan.[13]

3. Pandu Nasrul Ulum (1937)[14] cabang dari Banjarmasin (Kalsel). Adapun sebagai ketua H. Syarkawi, dan sekretaris Hanafiyah dan Kalot/Murad Alwi, yang mana murid-murid MHI yang menjadi anggotanya.

Pandu tersebut yang dibuka waktu Sapat Ibu Kota Indragiri Hilir (sekarang beribukota Tembilahan) sudah maju dengan kepanduannya. Diterima oleh Kalot Murad. PB (Pengurus Besar) berkedudukan di Kalimantan Selatan yang diketuai Muhammad Arsyad dengan berkembang organisasi tersebut mengadakan kongresnya bertempat di Tembilahan utusan yang hadir dari Kuala Tungkal, Sapat dan Kuala Enok (Indragiri Hilir) Riau.[15]

Akhirnya dapat dikemukakan bahwa kurangnya minat masyarakat Kuala Tungkal pada umumnya untuk memasukkan anak mereka di sekolah-sekolah pemerintah Belanda, di samping berdirinya sekolah swasta yang bermotivasi agama, maka seperti telah disebutkan di atas keadaan ini mempunyai kaitan erat dengan peranan dan jiwa orang-orang yang sebelumnya telah mengenal sistem pengajian yang sudah banyak dipakai sebelum berdirinya MHI.

Sebagaimana diketahui, pada tanggal 8 Desember 1941 Jepang menyerang pangkalan laut Amerika di Pasifik dalam waktu singkat 3 bulan Jepang berhasil menghancurkan kekuatan Sekutu (Amerika, Inggris dan Belanda) di Pasifik. Tanah jajahan yang dikuasai sekutu jatuh pula ke tangan Jepang, termasuk Indonesia yang pada waktu itu dijajah oleh Belanda.

Ketika berakhirnya pemerintahan kolonial Belanda, datanglah pemerintahan balatentara Jepang, menurut sejarah, pada waktu itu Jepang sedang dihadapkan usaha untuk memenangkan perangnya, sehingga memaksakan dirinya mengadakan pendekatan dengan umat Islam. Bahkan dapat diketahui kedudukan Jepang di Indonesia sangat bergantung pada bantuan umat Islam dalam menghadapi luasnya daerah yang telah diduduki sekutu dan antara jepang serta umat Islam mempunyai kepentingan yang sama, yaitu menghadapi penjajah-Barat.

Jepang pertama kali menginjakkan kaki di bumi Indonesia pada tahun 1942. Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Belanda setelah ±3½ abad menjajah Indonesia. Pemerintahan Hindia-Belanda yang menyerah tanpa syarat kepada Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, menandai berakhirnya tampuk kepemimpinan penjajah Belanda sehingga digantikan oleh pemerintahan pendudukan Jepang.

Kemudian pada tanggal 9 Maret 1942 Jepang menduduki Indonesia memerintah Indonesia hingga tanggal 9 Maret 1945. Pemerintah Belanda diusir dan diganti dengan pemerintah Jepang di dampingi orang Indonesia. Kedatangan bala tentara Jepang di Kuala Tungkal disambut dengan antusias oleh MHI.

Pemerintahan Jepang di Kuala Tungkal sendiri di dampingi oleh masyarakat, karena mereka tidak bisa bergerak tanpa adanya orang Indonesia. Sedangkan orang-orang Indonesia yang turut memegang tampuk pemerintahan di daerah Jambi, di antaranya adalah M. Bahsan, sebagai Gunco (Demang zaman Jepang),[16] Boncak/Wedana M. Amin dan Ali Sudin (Jepang), H. Ali Hamzah (RI) dan Assisten Wedana H. Masdar (RI).[17] Selain itu yang memegang pimpinan kepolisian pada masa pemerintahan Jepang di daerah Jambi di antaranya adalah Suparjo, Kepala Polisi Tungkal.[18]

Jika ditinjau dari segi pendidikan pada zaman Jepang, berdampak negatif dan positif terhadap perkembangan MHI.

a. Dampak Negatif

Adapun dampak negatif terhadap MHI setelah kependudukan Jepang di Kuala Tungkal adalah setelah lama kelamaan, murid-murid yang jauh tidak lagi masuk belajar karena biaya sekolah yang semakin sulit, setahun kesulitan penghidupan rakyat mulai terasa susah. Kelapa, kopra, getah rakyat tidak dapat dikirim keluar, akhirnya kebun kelapa tidak dapat dikerjakan karena tidak ada harga, dan juga menjadikan nilai mata uang seperti seketip dan 5 sen yang tidak begitu berharga, menimbulkan krisis atau kemerosotan ekonomi sehingga menjadi tidak stabil yang membuat morat-marit rakyat Kuala Tungkal yang kondisinya berbeda dengan zaman Belanda.[19]

Selain itu keadaan mulai susah karena bahan pokok tidak lagi bebas dijual di toko-toko, pedagang terpaksa menjual barang dagangannya gelap-gelap (bersembunyi) agar tidak diketahui oleh Jepang. Jepang lebih kejam dari Belanda, bukan lagi ”saudara tua”, sering terjadi pemerasan, begitu kasar, ganas terhadap masyarakat.[20] Walaupun orang Jepang hanya 3½ menjajah negara ini, akan tetapi pengaruhnya begitu terasa terhadap masyarakat, apalagi jika ditinjau dari aspek ekonomi dan kemanusiaan.

Situasi berubah, terjadi krisis ekonomi, bahan makanan seperti padi, beras, gula dimonopoli oleh Jepang, masyarakat harus dengan cara antri mendapatkannya atau dengan cara sembunyi-sembunyi. Untuk mendapatkan bahan pakaian, para pedagang menggunakan perahu layar dengan membawa ubi/kemunak, padi kesalah seorang pedagang (Kuala Tungkal-Singapura) yang kemudian membawa kain celupan. Karena kebanyakan murid madrasah berasal dari anak petani, tentu saja banyak juga mempengaruhi terhadap adanya kegiatan dari murid untuk menuntut ilmu tersebut.[21]

b. Dampak Positif

Pergantian pemerintahan tersebut tetap berpengaruh terhadap perkembangan lembaga pendidikan MHI, karena masih sama-sama dikuasai oleh penjajah. Betapa tidak sekolah ini gerak-geriknya selalu diawasi oleh tentara Jepang tidak berbeda dengan pemerintahan Belanda. Akan tetapi, sikap penjajah Jepang terhadap pendidikan Islam ternyata biasa-biasa saja, tidak mengganggu, lebih lunak sehingga ruang gerak pendidikan Islam lebih bebas.[22] Pemerintah Jepang mengeluarkan kebijakan yang menawarkan bantuan dana bagi sekolah dan madrasah, keadaan yang berbeda dengan zaman pemerintahan kolonial Belanda, Pondok pesantren sering mendapat kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang.

Tatkala pemerintah Jepang berkuasa di daerah Jambi-Syu pernah mengeluarkan produk perundang-undangan yang dilaksanakan di daerah Jambi antara lain adalah: Undang-undang Nomor 22/2604 (1944) tentang penertiban sekolah-sekolah swasta.[23] Peraturan ini adalah sebagai realisasi dari kewaspadaan pemerintah Jepang yang menganggap bahwa madrasah-madrasah itu memiliki potensi perlawanan yang membahayakan bagi pendudukan Jepang di Indonesia.

Pengasuh kharisma golongan ulama di daerah ini ternyata dapat merebut hati masyarakat untuk memihak lembaga pendidikan swasta yang berupa madrasah. Sementara ada di antara segelintir masyarakat yang berkesempatan memasuki sekolah kolonial, tetapi sebagian anggota masyarakat yang menyadari kedudukan sebagai orang bumiputra.

Walaupun dikeluarkannya undang-undang itu adalah untuk mengekang atau menutup sekolah-sekolah swasta, namun MHI tetap dibuka, tetapi murid-muridnya hanya dalam kota saja. Jepang tidak melarang untuk belajar di madrasah, dengan kata lain mereka tidak terlalu mempermasalahkan agama atau tidak merubahnya, tidak terlalu peduli dengan permasalahan agama, tidak ada gangguan, tidak ada penyimpangan. Jepang tidak menaruh curiga terhadap MHI karena madrasah ini telah mengantongi izin dari keresidenan Jambi.

Ada peraturan lain yang dikeluarkan pemerintah Jepang berlaku terhadap MHI dan Sekolah Rakyat, yaitu meliburkannya dengan tidak menegadakan pembelajaran selama satu bulan penuh saat bulan Ramadhan tiba. Peraturan ini tidak berbeda dengan peraturan yang dikeluarkan oleh Belanda saat sebelum datanganya pemerintahan Jepang. Peraturan ini dikeluarkan Jepang, untuk membantu para pelajar untuk dapat menjalankan ibadah puasa, agar kiranya dapat melaksanakannya dengan dengan baik sesuai dengan anjuran agama. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa pemerintah Jepang sangat memperhatikan masalah keagamaan, tidak ada persoalan mengenai hal tersebut.[24]

MHI dapat maju dan bertahan lama yakni sampai masuknya Jepang di daerah ini, karena pandangan bahwa anak-anak mereka harus memasuki sekolah agama dari pada bersekolah di Volkschool atau Vervolgschool kepunyaan Belanda yang dianggap masyarakat sebagai “sekolah kapir”.

Di daerah Jambi pada sekolah-sekolah yang diselenggarakan pemerintah pendudukan Jepang, pelajaran bahsa Jepang merupakan pelajaran wajib, sedangkan bahasa Belanda dan Inggris dilarang. Pada umumnya pengajaran berupa pengetahuan umum kurang diuatamakan dan kurang lancar jalannya, karena yang diutamakan sekali selain bahasa Jepang dan bertaiso olaharaga, bergotong royong dan pendidikan semangat ala Jepang (Nippon Seisyin). Ketika ini, murid sering kali diharuskan ikut kerja bakti seperti membersihkan bengkel, asrama, dan mengumpulkan bahan untuk membuat pertahanan dan sebagainya.

Selain pendidikan madrasah pada sore hari yang dikenal dengan ”Sekolah Arab” yang tidak dilarang oleh Jepang, Guru Daud, tentunya dengan bahasa pengantar Bahasa Arab diselingi dengan bahasa Indonesia. Sebagai pimpinan MHI juga tetap mengadakan pengajian untuk murid-murid MHI di rumah kediaman Beliau pada pagi hari tanpa ada sedikitpun larangan dari pihak Jepang. Sekolah MHI adalah sekolah yang hanya mengajarkan pendidikan Islam melalui kitab-kitab gundul dengan berbahasa Arab ”Asli Arab” (Fusha) yang kemudian kitab-kitab tersebut di dhabit (diterjemahkan perbaris) dengan menggunkan bahasa Arab ”Asli Indonesia” (Melayu). Adapun untuk pendidikan umum yang biasa disebut dengan ”Sekolah Latin”, yang di masa pendidikan Jepang tetap dibuka, dengan pelajaran yang hampir sama dengan pelajaran pada zaman Belanda akan tetapi tentunya bahasa Jepang sebagai bahasa pengantar diselingi dengan bahasa Indonesia. Adapun Sekolah Latin ini, murid-murid yang belajar di sana dapat mengetahui bagaimanakah menulis huruf Latin.[25]

Di daerah Jambi pada sekolah-sekolah yang diselenggarakan pemerintah pendudukan Jepang, pelajaran bahsa Jepang merupakan pelajaran wajib, sedangkan bahasa Belanda dan Inggris dilarang. [26]

Dilaporkan bahwa pada masa penjajahan Jepang pengembangan madrasah Awaliyah digalakkan secara luas. Majlis Islam Tinggi menjadi penggagas dan sekaligus menjadi penggerak utama untuk berdirinya madrasah-madrasah Awaliyah yang diperuntukkan bagi anak-anak berusia minimal 7 tahun. Program pendidikan pada madrasah-madrasah Awaliyah itu lebih ditekankan pada pembinaan keagamaan dan diselenggarakan pada sore hari. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan bagi anak-anak yang pada umumnya mengikuti sekolah-sekolah rakyat pada pagi hari. Perkembangan madrasah-madrasah itu telah ikut mewarnai pola pengorganisasian pendidikan agama yang lebih sistematis.[27]

Sebagaimana diketahui orang Jepang adalah orang yang briliant (pintar-pintar). Sehingga dengan adanya tentara Jepang ini, murid-murid MHI dan rakyat Kuala Tungkal pandai/bisa menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.[28] Bahasa Indonesia dijadikan bahasa resmi di kantor dan di sekolah. Hal ini baik untuk perkembangan bahasa Indonesia selanjutnya.

Dalam zaman pendudukan Jepang, semua sekolah pemerintah yang lama dilanjtukan terus, sekolah tersebut ditukar namanya dengan bahasa Jepang. Pada masa pendudukan Jepang di daerah Jambi, terjadi perubahan yang penting artinya bagi perkembangan pendidikan dan pengajaran dengan dihapuskannya perbedaan pengajaran golongan Belanda dan golongan pribumi, serta pemakaian bahasa Indonesia baik sebagai bahasa resmi maupun sebagai bahasa pengantar di sekolah. [29]

Dengan berkembangnya bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, rasa persatuan dan kesatuanpun dengan mudah dapat digalang dan dibina dengan baik di tengah masyarakat, karena sekarang mereka dengan mudah dan mengerti untuk mengungkapkan perasan dan buah pikiran terhadap orang lain. Dengan dijadikannya bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, keuntungan bukan saja dalam pengembagan bahasa Indonesia itu saja, tetapi dapatnya dibina kesatuan bangsa dengan cepat, situasi yang diperlukan untuk mencapai Indonesia merdeka.

Situasi mulai berubah, Jepangpun mendirikan sekolah non-formal melalui organisasi kepemudaan seperti bagodan (ketentaraan/pasukan pertahanan lokal dusun), Murid-murid MHI yang besar dan masyarakatpun dilatih dan diajarkan peraturan baris-berbaris dan disiplin militer disuruh untuk berlatih bagaimana menggunakan tombak yang dikumpulkan di sebuah lapangan.[30] Hal ini menjadi keuntungan tersendiri bagi masyarakat Kuala tungkal yang mendapatkan latihan militer langsung yang dilakukan oleh tentara Jepang. Pendidikan untuk mereka itu dimaksudkan untuk dapat mempersiapkan diri menjaga Kuala Tungkal, tetapi sesuanguhnya mereka semua dipersiapkan sebagai tenaga cadangan apabila tentara Jepang sudah berkurang.

Dengan didirikannya sekolah non-formal melalui organisasi kepemudaan seperti bagodan Sehingga menjadi cikal bakal berdirinya lasykar-lasykar perjuangan seperti Lasykar Hulubalang, Hizbullah, Sabilillah dan Selempang Merah, dll, yang menjadikan Kota Kuala Tungkal menjadi pusat pergerakan perjuangan, tanpa terkecuali MHI sendiri yang menjadi basis perjuangan.

Secara keseluruhan perkembangan agama Islam pada masa ini tidak dihalang-halangi oleh pemerintah Jepang. Di Jambi, madrasah-madrasah boleh berjalan seperti biasa, namun karena sulitnya penghidupan rakyat, anak-anak tidak banyak yang masuk belajar di madrasah, kedudukan hoofd penghulu sebagai tokoh agama tidak diganggu-gugat oleh Jepang dan tetap menjalankan tugasnya sebagaimana biasa. Demikian pula kedudukan guru agama pada masa-masa ini tidak diganggu Jepang. Tentara Jepang berusaha untuk mempengaruhi guru-guru, ulama, serta tokoh-tokoh agama untuk turut mempropagandakan perang suci Asia Timur Raya, supaya dimenangkan oleh Jepang.

Umat Islam mempunyai kesempatan yang banyak untuk memajukan usaha pendidikan, sehingga tanpa disadari oleh Jepang sendiri, bahwa umat Islam sudah cukup mempunyai potensi untuk maju dalam bidang pendidikan, ataupun perlawanan kepada penjajah.

Kerjasama Jepang dan umat Islam mungkin sebagai akibat propagandanya yang licin sehingga umat Islam sementara tidak melihat niat Jepang sebagai penjajah. Namun di balik itu, kesempatan ini dimamfaatkan oleh MHI dengan mencoba meneruskan madrasahnya berjalan sebagai lembaga pendidikan Islam.

Demikianlah jalan pengajaran dan pendidikan di sekolah rendah pada masa penddukan Jepang. Pengajaran dan pendidikan hanya dititik beratkan kepada memperluas bahasa Jepang serta memperdalam bushido ala Jepang, dan sekolah-sekolah menajdi tempat indoktrinasi dan tempat pendidikan yang militeris.[31]

Selanjutnya, karena banyaknya penduduk memeluk agama Islam dan mereka ingin memperdalam ajaran agama, kemudian mereka belajar kepada guru atau dari yang menyebarkan agama tersebut. Disebabkan mendapat ajaran dari nabi Muhammad tentang cara mengajarkan agama itu, maka banyak masyarakat di sekelilingnya belajar kepadanya. Biasanya seorang guru yang mengajarkan agama dan banyak mendapat pengikut, maka mereka bersama-sama mendirikan mesjid.

Kemudian pada periode ini, tepatnya pada tahun 1945, dibangunlah masjid Al-Istiqomah/Raya, yang sebagai pengurusnya adalah Guru Daud dan KH. Kasim Saleh yang berdampingan dengan MHI sebagai tradisi yang dipegang kyai dalam mengembangkan pesantren. Adapun lokasi tempat mesjid Agung ini adalah panggung tempat wayang orang dari Banjar, tempat berkumpul masyarakat untuk pertunjukan seni Wayang Urang Banjar.[32] Sebelum masjid Al-Istiqomah/Raya ini dibangun, memang telah ada bangunan dua buah masjid yang bernama masjid Lama (dikenal dengan sebutan Masjid Hidayatullah) yang terletak di Parit Tiga Tungkal III dan mesjid Perukunan Melayu (mengenai mesjid ini telah dijelaskan pada Bab III).

Pembangunan mesjid Al-Istiqomah/Raya ini berdasarkan keputusan Demang Bahsan dan musyawarah pengurus mesjid Jami’ dan mesjid Melaju (dua buah mesjid ini telah dijelaskan sebelumnya) bahwa jamaah mesjid Al-Istiqomah/Raya ini harus disatukan guna untuk mempersatukan antara suku bangsa yang berada di daerah kecamatan Tungkal Ilir dengan persyaratan bahwa sholat jum’at di masjid Jami’ dan mesjid Melayu harus ditiadakan. Maka atas sepakat dan musyawarah ini mayarakat sekitar menyetujuinya. Maka H. Bahruddin yang menjabat sebagai penghulu memberi tanah wakaf untuk didirikan mesjid pada tahun 1945 yang disebut dengan mesjid Agung, tanah tersebut ia wakafkan memang semata-mata untuk diberikan atau dibangun menjadi rumah ibadah untuk masyarakat ataupun untuk orang-orang yang beragama Islam.[33]

Maka masyarakat sekitar mesjid Lama menyetujui untuk meniadakan Sholat jum’at di Mesjid tersebut yang berlaku hingga saat ini. Hal ini dikarenakan ulama-ulama dan pemuka masyarakat di sekitar mesjid Lama dan mesjid Agung adalah sama. Akan tetapi berbeda dengan masyarakat di sekitar mesjid Melayu yang tidak menyetujui untuk di tiadakannya jum’atan (sholat jum’at).[34] Mesjid Lama (mesjid Urang Banjar) dan mesjid Melaju (mesjid Wong Palembang) harus ditiadakan.

Pada waktu hendak membangun mesjid Agung tersebut, masyarakat setempat bermusyawarah untuk dapat terlaksana dengan mudah dalam membangun serta hal yang lain dianggap perlu, kemudian masyarakat setempat membentuk Panitia Pengurus Pembangunan Mesjid. Adapun panitia tersebut, yaitu: Ketua: KH. M. Daud Arif, Wakil Ketua: KH. Kasim Saleh, Sekretaris: H. Asmuni Bendahara: Hasbullah Naud.[35]

Adapun biaya pembangunan mesjid terebut diperoleh dari Demang, masyarakat setempat dan orang-orang lain kemudian setelah terkumpulnya biaya, pembangunan segera dilaksanakan. Membanguan mesjid tersebut memakan waktu yang cukup lama yaitu lebih kurang satu tahun, hal ini dikarenakan biaya yang diperoleh yakni dengan cara berangsur-angsur. Setelah berdirinya mesjid Agung ini, maka masyarakat sekitarnya menggunakan mesjid tersebut dengan baik yaitu dengan dengan mengadakan sholat berjamaah, pengajian-pengajian dan mengadakan ceramah-ceramah agama. Ternyata hal ini berjalan terus dengan lancar, lama kelamaan bertambah banyak, maka mesjid inipun kelihatannya bertambah maju.[36]

Masyarakat yang ada di sekitarnyapun kemudian mengikuti sholat jum’at di mesjid Agung yang baru saja selesai dibangun digunakanlah mesjid tersebut dengan baik, yaitu dengan mengadakan sholat berjamaah, pengajian-pengajian dan mengadakan ceramah-ceramah agama, ternyata hal ini berjalan terus dengan lancar, lama kelamaan bertambah banyak, maka mesjid inipun kelihatannnya bertambah maju.

Akan tetapi, setelah pembangunan mesjid Agung selesai, masyarakat di sekitar mesjid Melayu, tidak menyetujui ditiadakannya sholat jum’at di mesjid Melayu. Sehingga mereka tetap menggunakan mesjid Melayu sebagai tempat sholat Jum’at. Walaupun begitu, perseteruan masalah tempat sholat jum’at ini tidak menimbulkan permusuhan antar suku bangsa yang ada di Kuala Tungkal.

Karena masjid yang ada tidak mampu lagi menampung jamaah karena masyarakat umat Islam Kuala Tungkal makin besar jumlahnya dan mulai mengetahui dan menyadari betapa pentingnya keberadaan masjid tersebut. Karena betapa pentingnya keberadaan masjid dalam hal mengembangkan madrasah, maka masjidpun menjadi skala prioritas karena dianggap sebagai simbol yang tak pernah terpisahakan dari madrasah. Masjid tidak hanya menjadi tempat peraktek ritual ibadah semata-mata, tetapi juga pengajaran kitab-kitab klasik dan aktivitas lainnya. Masjid itu sampai sekarang masih tetap berdiri kokoh dengan beberapa kali mengalami renovasi sebagai saksi hidup yang tidak dapat berbicara. Sekarang telah menjadi mesjid kebanggaan kota Kuala Tungkal.

Mesjid Agung adalah pemersatu umat Islam di Kuala Tungkal, karena dimasa penjajahan di Kuala Tungkal ada dua mesjid yang saling bertentangan akibat adu domba Belanda, kemudian dibangunlah mesjid ini sebagai mesjid pemersatu. Di samping itu mesjid ini juga sebagai mesjid perjuangan, di mesjid ini para pejuang kemerdekaan berhimpun.[37]

Pembangunan mesjid ini selain bertujuan untuk hal di atas, yang paling penting juga adalah untuk melengkapi sarana prasarana MHI itu sendiri, yang mana pembangunan mesjid ini adalah atas inisiatif Guru Daud dan dibantu ulama-ulama serta pemuka masyarakat agar dibangunnya sebuah mesjid di lingkungan madrasah ini. Karena mesjid yang ada sudah tidak mencukupi lagi menampung masyarakat untuk menampung jama’ah disebabkan masyarakat pendatang semakin lama semakin bertambah. MHI itu sendiri berlokasi di tengah-tengah Kuala Tungkal, yang penduduknya cukup banyak, yang tentunya adalah dari murid-murid MHI itu sendiri.

Pembangunan mesjid Raya (Jami’) ini diperakarsai oleh Guru Daud dan KH. M. Kasim Saleh, yang tujuannnya selain untuk beribadah, yang juga berfungsi untuk murid MHI melaksanakan kegitannya sebagai sekolah berbasiskan Islam, yang mana masjid ini juga digunakan untuk musyawarah.

Setelah berdirinya mesjid Agung, maka masyarakat dari kalangan suku Melayu yang semula berseberangan terhadap suku Banjar, mulai berangsur-angsur sedikit demi sedikit ”melemah”, sehingga banyak dari kalangan mereka yang memasukkan anak-anaknya untuk bersekolah di MHI dan banyaklah dari kalangan mereka yang masuk Islam, tentunya menjadi muallafin. Semenjak itulah, hubungan antara 2 etnis perantauan ini semakin membaik walaupun masih ada perselisihan yang belum terselesaikan.

Beberapa tahun kemudian, mesjid ini runtuh karena ditiup angin. Kemudian dibentuklah kepanitiaan baru yang diprakarsai oleh Guru Daud untuk membangun kembali mesjid tersebut dengan diberi nama Mesjid Agung al-Istiqomah. Alhamdulillah sampai sekarang masjid ini tetap terawat dengan baik mengalami beberapa kali renovasi masjid termegah di Pantai Timur ini.

Sejak berdirinya MHI hingga pra-agresi Militer Belanda kesatu dan kedua, kegiatan di MHI yang bersifat – sebenarnya penentangan – terhadap penjajahan tidaklah begitu terlihat oleh Belanda karena dilakukan secara sirriyah atau sembunyi-sembunyi di balik tembok MHI agar tidak diketahui oleh Belanda. Sebagaimana diketahui, bahwa mereka, penjajah Belanda benar-benar anti terhadap lembaga pendidikan Islam, seperti madrasah yang di dalamnya mengajarkan pelajaran yang dapat menggoyahkan kecongkakan pemerintahan mereka di tanah air ini.


[1] Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 2.

[2] SK. KH. Ismail yang dikeluarkan oleh Hoofd Penghulu Jambi Abdushshomad, 1936. KH. Said Ismail. Dokumentasi.

[3] MA PHI (2003). Al-Anwar asy-Syâthi’ah, MA PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 66.

[4] M. Ridwan (1994). Pola Belajar Nahwu dan Shorof Dengan Prestasi Belajar Bahasa Arab di Madrasah Tsanawiyah Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. IAIN STS Jambi: Jambi. H. 19-20.

[5] KH. M. Arsyad, Dokumentasi.

[6] KH. M. Arsyad, Wawancara.

[7] MA PHI (2001). MA PHI (2003). Al-Anwar asy-Syâthi’ah, MA PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 67.

[8] Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 2.

[9] Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 3.

[10] MA PHI (2001). Nafasah al-Khawâtir, MA PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 128-129.

[11] Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 3.

[12] Yang termasuk salah satu daerah mayoritas etnis perantauan Banjar Kalimantan Selatan yang terletak di pantai Timur Sumatera adalah Kota Kuala Tungkal Kabupaten Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi.

[13] www.Google.com, Wajidi, Sejarah Lokal dan Nasionalisme, http/blog/spot,html.Wajidi.

[14] Sekarang seperti pramuka. Pandu Nasrul Ulum didirikan tidak lama setelah berdiri organisasi Musyawaratutthalibin yang merupakan bagian dari organisasi Musyawaratutthalibin.

[15] KH. M. Arsyad, Wawancara.

[16] Departemen P & K. (1986). Sejarah Revolusi Kemerdekaan Daerah Jambi. Karya Kita: Jambi. h. 21.

[17] KH. M. Arsyad, Documentasi.

[18] Departemen P & K. (1986). Sejarah Revolusi Kemerdekaan Daerah Jambi. Karya Kita: Jambi. H. 22.

[19] KH. M. Arsyad, Wawancara.

[20] KH. M. Arsyad, Documentasi.

[21] KH. M. Arsyad, Dokumentasi

[22] KH. M. Arsyad, Wawancara.

[23] Departemen P & K. (1986). Sejarah Revolusi Kemerdekaan Daerah Jambi. Karya Kita: Jambi. H. 23.

[24] Hj. Sampurna, Wawancara.

[25] Departemen P & K: Peroyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah (1982). Sejarah Pendidikan Daerah Jambi. CV. Anita: Jambi. h. 52.

[26] Hj. Sampurna, Wawancara.

[27] Suwendi (2004). Sejarah & Pemikiran Pendidikan Islam. RajaGrafindo Persada: Jakarta. h. 90.

[28] KH. M. Arsyad, Wawancara.

[29] Departemen P & K: Peroyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah (1982). Sejarah Pendidikan Daerah Jambi. CV. Anita: Jambi. h. 52.

[30] KH. M. Arsyad, Wawancara.

[31] Departemen P & K: Peroyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah (1982). Sejarah Pendidikan Daerah Jambi. CV. Anita: Jambi. h. 53.

[32] KH. M. Arsyad, Wawancara.

[33] Zubaidah (1991). Mesjid Al-Istiqomah Sebagai Lembaga Pendidikan Agama Islam Bagi Masyarakat Kelurahan Tungkal III Kecamatan Tungkal Ilir Kabupaten Tanjung Jabung. IAIN STS Jambi: Jambi. h. 30.

[34] Hasan Basri, Wawancara.

[35] Zubaidah (1991). Mesjid Al-Istiqomah Sebagai Lembaga Pendidikan Agama Islam Bagi Masyarakat Kelurahan Tungkal III Kecamatan Tungkal Ilir Kabupaten Tanjung Jabung. IAIN STS Jambi: Jambi. h. 30-31.

[36] Zubaidah (1991). Mesjid Al-Istiqomah Sebagai Lembaga Pendidikan Agama Islam Bagi Masyarakat Kelurahan Tungkal III Kecamatan Tungkal Ilir Kabupaten Tanjung Jabung. IAIN STS Jambi: Jambi. h. 31.

[37] Biro Humas dan Protokol 27/2/2009. Gubernur Jambi Ajak masyarakat Sukseskan Pemilu 2009. Ini dipetik dari ungkapan KH. Abdul Halim Kasim, SH.


2.
PERIODE II (1945-1950)

Periode ini dinamai dengan periode perjuangan fisik mempertahankan kemerdakaan.[1] Di waktu Indonesia sudah merdeka, maka landasan dan tujuan sistem pendidikan yang berlaku di Kuala Tungkal berubah.

Indonesi telah menetapkan Pancasila sebagai Dasar Negara atau Landasan Ideal bagi seluruh aktivitas rakyat Indonesia dan UUD 1945 sebagai Landasan Struktural bagi negara Indonesia. Pendidikan harus berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945. Sebagai negara kesatuan, hal itu berlaku umum bagi seluruh daerah dan rakyat Indonesia.

Tujuan pendidikan yang hendak dicapai disesuaikan dengan tujuan negara yang baru merdeka dan sedang menghadapi perjuangan menghadapi Belanda ialah penanaman semangat patriotisme. Tujuan yang hendak dicapai supaya seluruh rakyat Indonesia bersatu padu menghadapi ancaman Belanda. Landasan dasar, tujuan dan sasaran pendidikan itu juga berlaku untuk MHI Kuala Tungkal seperti daerah Indonesia lainnya.

Pada awal tahun 1945 sebagaimana diketahui, bahwa setelah Perang Dunia ke-2 (PD II), tepat pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia telah siap memproklamirkan diri menjadi bangsa merdeka dan berdaulat yang terbebas dari belenggu penjajahan Belanda dan mengalami perang kemerdekaan. Revolusi fisik yang dicetuskan oleh Soekarno-Hatta. Pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah ”hari keramat” bagi seluruh bangsa Indonesia dan merupakan hari malapetakan dan bala bencana bagi pemerintahan Belanda. Pada tanggal itu pula merupakan puncak perjuangan bangsa Indonesia menentang penjajahan Belanda yang telah berlangsung 3½ abad.

Perjuangan fisik yang dimulai pada awal tahun 1945 KH. M. Kasim Saleh, Hasbullah, H. Asmuni (semua pengurus MHI) ditangkap oleh tentara Jepang yang kemudian dibawa dan diasingkan sementara ke Jambi dengan tuduhan menghasut masyarakat untuk melawan Jepang; yaitu ”AGAR RAKYAT MENYIMPAN BAHAN MAKANAN DI DESA-DESA DAN JANGAN DIBAWA KE KUALA TUNGKAL YANG NANTINYA AKAN DIRAMPAS OLEH TENTARA JEPANG YANG AKAN DIPERGUNAKAN SEBAGAI BAHAN LOGISTIK MEREKA”. Namun pada akhirnya mereka dilepas oleh tentara Jepang setelah mendapat jaminan dari Residen Bahsan (Bohsan) yang pernah menjadi Wedana/Demang di Kuala Tungkal.[2]

Sebagaimana dimaklumi, bahwa kekuasaan Belanda di Indonesia berakhir pada tanggal 9 Maret 1942, pada saat Belanda menyerah kepada sekutu tanpa syarat, maka pemerintahan Indonesia digantikan oleh pemerintahan Jepang. Pemerintahan Jepang berlangsung lebih dari 3 tahun, yang berakhir tepatnya pada tanggal 14 Agustus 1945 karena Jepang bertekuk lutut kepada sekutu setelah Perang Dunia ke-2 (PD II). Maka pada tanggal 17 Agustus 1945 Soekarno-Hatta memproklamirkan Indonesia merdeka keseluruh dunia menjadi Negara Republik Indonesia.

Kemudian berita proklamasi kemerdekaan ini disebarluaskan keseluruh pelosok daerah Jambi, dan hanya beberapa hari setelah proklamasi 17 Agustus 1945 dilakukan, maka rakyat di daerah Sarolangun, Bangko, Bungo, Batang Hari, Kuala Tungkal dan Kerinci sudah mengetahui bahwa Indonesia telah merdeka.

Setelah berita proklamasi kemerdekaan Indonesia didengar oleh rakyat di daerah Jambi, maka sangsaka merah putih mulai dikibarkan walaupun mendapat sanggahan keras dari pihak pemerintah Jepang. Dengan tersiarnya berita kemerdekaan Indonesia, maka masyarakatpun menyambut gembira tentang hal itu.

Di Kuala Tungkal sendiri ada juga beberapa orang Jepang yang tinggal disana, di antaranya adalah Tuan Siota, seorang Jepang yang membunuh dirinya dengan cara menggantung diri di rumah setelah pemboman Jepang oleh sekutu dan setelah mengetahui kekalahan Jepang dan Indonesia merdeka.

Pada tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Berita penyerahan Jepang kepada sekutu terdengar pula oleh para pemimpin pergerakan di Indonesia melalui siaran radio luar negeri terutama kaum mudanya mendesak agar Ir. Soekarno dan DR. M. Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan karena PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang telah dibentuk dan dilaksanakan pada tanggal 9 Agustus 1945. Tapi kedua pemimpin berpendapat perlu dibicarakan dengan pihak Jepang dalam hal ini terjadi sedikit kesalahpahaman antara tokoh muda dengan tokoh tua setelah diadakan perundingan antara kedua belah pihak untuk memproklamirkan Negara Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Maka Ir. Soekarno didampingi oleh DR. M. Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada hari Jumat tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10.00 pagi di Pegangsaan Timur 56 Jakarta (sekarang jalan Proklamasi).

Serentak dengan itu rakyat daerah Jambi, sebagian di daerah-daerah lain di Indonesia ini juga tampil kedepan untuk turut ambil bagian dengan aktif mengadakan perlawanan terhadap usaha-usaha penjajahan yang mencoba mengembalikan penjajahannya di Indonesia ini, sesuai dengan kemampuan dan cara bcrjuang padamasa itu. Meskipun banyak kesukaran dan kesulitan yang pernah dihadapi, pada umumnya rakyat Jambi tetap konsekuen terhadap proklamasi 17 Agustus 1945. Hal ini terbukti sampai penyerahan kedaulatan Keresidenan Jambi tetap berada berada menjadi bagian dari Keresidenan Yogya.

Pada akhir masa kependudukan Jepang di Indonesia, proklamasi kemerdekaan meminta tenaga pemuda sebanyak-banyaknya. Alim ulama, guru agama sampai kepada pelajar sekolah agamanya merupakan tenaga penggerak ‘perang sabil’, mempertahankan hak bangsa, tanah air dan agama dari serangan Belanda yang hendak menjajah kembali.

Sejarah kemudian membuktikan bahwa modal kejuangan di atas amat penting artinya pasca penjajahan Jepang (1942-1945), dimana api Revolusi Kemerdekaan mulai dinyalakan dengan kesadaran adanya kesatuan dan persatuan kebangsaan yang bermotifkan pantang untuk dijajah kembali oleh kekuatan asing apapun bentuknya. Proklamasi Kemerdekaan mengawali "Revolusi Pemoeda", dan berakhir ketika penjajah terakhir di Indonesia yaitu Imperium Belanda menyatakan pengakuannya pada Kemerdekaan Republik Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.

Setelah masa kemerdekaan, mayoritas orang Islam berjuang dengan takbir “Allahu Akbar” timbul jiwa patriotisme di kalangan pemuda-pemudi, tokoh masyarakat, alim ulama, cerdik pandai, mereka bersatu padu untuk mempertahankan kemerdekaan RI dan menantang penjajahan dari manapun datangnya.

Di Kuala Tungkal sendiri, pada zaman Agresi Militer Belanda banyak pengurus, guru-guru dan pelajar-pelajar MHI terjun pula ke kancah perjuangan membela nusa dan bangsa di sekitar Tanjung Jabung serta/dan turut membentuk dan bergabung dalam barisan periuangan/lasykar pejuang untuk merebut kemerdekaan. Demikianlah memasuki masa revolusi kemerdekaan pengaruh dari ajaran para ulama melalui pengajian dan madrasah-madrasah ini masih terasa dan menjadi pegangan masyarakat dalam menghadapi perkembangan yang terjadi. Dan perasaan keagamaan yang tertanam kuat ini tetap harus perlu diperhatikan, khususnya untuk kegiatan mempertahankan kemerdekaan.

Disadari atau tidak, secara langsung MHI dalam periode ini yang terdiri dari pengurus-pengurus, murid-murid/pelajar-pelajar terjun ke medan juang untuk membela nusa dan bangsa serta bergerilya untuk mempertahankan dan menegakkan kemerdekaan di sekitar Tanjung Jabung (Tungkal Ilir, Pengabuan dan Betara) ini turut berperan begitu aktif dalam perlawanan melawan penjajah apalagi di saat-saat perang kemerdekaan, tepatnya pada Agresi Militer Belanda I dan II.

Pada tanggal 19 Agustus 1945, setelah meletusnya revolusi kemerdekaan, KH. M. Kasim Saleh sebagai Bestuur MHI menurunkan bendera Jepang dan menaikkan bendera Merah Putih di Puncak masjid Agung al-Istiqomah yang kemudian di panggil oleh Jepang untuk mempertanggungjawabkan[3] perbuatannya itu. Namun beberapa saat kemudian ia dilepaskan kembali.

Pada tahun ini pula (1945), di bentuk KNIP (Komite Nasional Indonesia Persatuan) untuk Kuala Tungkal. Di antara pengurus MHI adalah Mahyuddin (Bea tjukai), KH. M. Kasim Saleh, Z. Lubis, Hasbullah Naud (ketiganya pengurus MHI), dan R. Kursi sebagai anggota KNI.[4] Para pengurus MHI bersama masyarakat mulai terlibat dalam lembaga pemerintahan dengan menjadi anggota KNIP mewakili unsur Partai Masyumi, partai politik yang sempat menjadi ruang ekspresi politik NU.

Seiring dengan timbulnya dan terbentuknya organisasi ketentaraan, maka terbentuk pula barisan-barisan rakyat dalam badan-badan kelasykaran dan organisasi-organisasi perjuangan yang sesuai dengan aliran masing-masing golongan untuk penggalakan perjuangan. Setiap golongan yang mempunyai kemampuan, ketika ini mendirikan barisannya yang dipersenjatai dan diperbekalinya sendiri dengan tidak mengharapkan bantuan dari pemerintah.

Dari golongan agama, untuk daerah Jambi terutama agama Islam banyak terbentuk lasykar-lasykar/barisan-barisan perjuangan rakyat antara lain Lasykar Rakyat Napindo, Parsindo (Partai Indonesia), Hizbullah, Sabilillah, Lasymi (Lasykar Muslim Indonesia), Sabil Muslimat, TMI (Tentara Merah Indonesia), API (Angkatan Pemuda Indonesia), Hulu Balang Indonesia, dan Barisan PRI (Pemuda Repoeblik Indonesia).

Beberapa hari setelah pengibaran bendera merah putih pertama di Kuala Tungkal bendera Jepang dan penaikan/pengibaran bendera Indonesia tanggal 20 Agustus 1945 di dekat/ujung pelabuhan melewati jalan Balai Marga (jalan tersebut dinamakan dengan Jalan KH. M. Kasim Saleh) yang dilakukan oleh tiga orang yaitu H. M. Kasim Saleh sebagai Bestuur MHI (pengurus MHI), Utuh Hirang dan Dul Haji pada jam 07.00 pagi. Kemudian diikuti oleh pengibaran bendera oleh penduduk di rumahnya masing-masing. Pada tanggal ini juga, diadakan pertemuan antara tokoh-tokoh masyarakat. Adapun hasil pertemuan ini antara lain: membentuk Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang dipimpin oleh Syarkawi dengan wakilnya Indar Zaini. Membentuk Barisan Hizbullah (akhir tahun 1945) yang dipimpin oleh Guru Daud (Mudir MHI),[5] yaitu sebuah angkatan perang pemuda Muslim yang berhubungan dengan Masyumi. Di pelabuhan itu ada rumah jaga tentara Jepang yang masih saja terus mengibarkan benderanya setelah Jepang jatuh kalah.[6] Beberapa hari kemudian, menyusul pula terbentuknya Lasykar Hulu Balang yang dipimpin oleh A. Manan Semat. Di samping Organisasi Pemuda yang telah disebutkan di atas, masih ada beberapa Organisasi Pemuda Profesi yang ikut berjuang bersama-sama mempertahankan kemerdekaan 17 Agustus 1945 di Kuala Tungkal.[7]

Adapun barisan-barisan tersebut di antaranya seperti pasukan Hizbullah Kuala Tungkal yang dikomandoi oleh Guru Daud (Mudir MHI) dan Hanafiah (Murid MHI) sebagai wakilnya hingga tahun 1949. Di antara pelajar-pelajar MHI yang tercatat dalam pasukan Hizbullah antara lain; KH. M. Arsyad (Ketua Yayasan PP PHI sekarang), KH. Abdul Wahab (orang tua KH. M. Ali Wahab) Ahmad Zaini, M. Sahar, Abdullah, Abdul Mu'in, H. Ibrahim. H. Mahfuz, H. Qawi, Kurnia Ramli, Nafiah Rasyidi, dan Iain-lain.[8] Pada tahun 1946, dibentuklah BLR (Barisan Lasykar Rakjat) yang dikomandoi oleh H. Manan dan KH. M. Kasim Saleh sebagai wakilnya.[9]

Lasykar Hizbullah bersenjatakan bambu runcing, keris, pedang, dan sejenisnya yang bahu membahu bersama rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan. Selain itu, adapun persenjataan dan perlengkapan militer di daerah Jambi diperoleh dengan berbagai usaha. Ada senjata yang diperoleh melalui rampasan dari tentara Jepang, dan juga ada pemasokan senjata gelap dari Singapura.

Adapun barisan yang diberi nama Komando Sabilillah, yang dinamakan dengan barisan ”orang tua” yang mana KH. M. Kasim Saleh diangkat sebagai pimpinannya. Sedangkan anggotanya terdiri dari pengurus-pengurus, guru-guru, wali murid, serta murid-murid Guru Daud yang bukan murid MHI[10] (selain mengajar di MHI, Beliau juga mengajar di luar MHI) yang dilatih langsung oleh tentara Jepang secara militer.

Bukan hanya sekedar membentuk lasykar-lasykar saja, bahkan para petinggi MHI dan para pelajarnya pada waktu ini ”berobsesi” ingin membeli kapal perang untuk mempertahan kemerdekaan, dengan mengumpulkan baju atau pakaian dan lain-lainnya, namun tidak kesampaian. Ternyata, di MHI inilah satu tempat yang banyak memunculkan pergerakan-pergerakan untuk menentang penjajahan yang tidak ada muncul pergerakan pada tempat lain.[11]

Untuk memperoleh senjata api yang digunakan untuk berperang, barisan ini mengumpulkan pakain-pakaian untuk dijual yang kemudian hasilnya digunakan untuk membeli persenjataan-persenjataan yang telah dibeli oleh salah seorang pedagang yang bernama Cik Mat dari Singapura, selain dengan cara tersebut, yaitu meminjam dari BKR (Badan Keamanan Rakjat).[12] Sebagaimana diketahui, bahwa Kuala Tungkal merupakan salah satu kota dalam wilayah RI yang dekat dengan pasar internasional (Singapura dan pusat perdagangan lainnya) dan mempunyai jalur perhubungan laut yang cukup baik dengan dunia luar. Dengan demikian rakyat Kuala Tungkal sangat mudah mendapatkan sedikit persenjataan modern.

Pertumbuhan dan aktifitas ekonomi rakyat pada kurun waktu setelah proklamasi sampai dengan agresi militer Belanda pertama dan kedua di daerah Jambi berjalan dengan baik sesuai dengan ukuran situasi revolusi ketika ini. Perdagangan barter dengan Singapura, ternyata membantu rakyat dalam memperoleh barang kebutuhannya. Namun setelah Belanda melakukan intimidasi dan patroli di perairan Jambi, dan akhirnya dengan dilakukan blokade, maka lalu lintas pelayaran dan perdagangan pada waktu itu setelah proklamasi itu, menjadi agak kurang lancar. Rakyat daerah Jambi yang sebagian besar adalah petani dan pemilik kebun karet tidak dengan mudah dapat melakukan barter ataupun perdagangan dengan Singapura, yang menyebakan sulitnya memperoleh barang kebutuhan hidup.

Sehingga menjadikan perekonomian di daerah Jambi sesuai dengan situasi revolusi, tidaklah menguntungkan. Blokade yang dilakukan oleh kapal-kapal patroli Belanda di daerah pantai menyukarkan para pedagang Kuala Tungkal menjual hasil karetnya ke Singapura yang menjadikan perekonomian rakyat merosot. Hal ini ditandai telah berdirinya organisasi profesional di Tungkal Ilir yaitu Persatuan Dagang atau Serikat, terutama persatuan perdagangan karet.

Selanjutnya berdasarkan keputusan sidang KNI (Komite Nasional Indonesia) untuk pulau Sumatera di Bukit Tinggi pada tahun 1946, pulau Sumatera terbagi atas 3 provinsi, yaitu provinsi Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan dan Sumatera Selatan.[13]

Pada awal pendudukan Jepang semua organisasi dilarang, kecuali MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yang nantinya menjadi Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Organisasi semi militer dari Masyumi adalah Hizbullah dan Sabilillah yang juga diperbolehkan eksis. Di sana adalah ajang pelatihan semi militer dari pemuda-pemuda.

Setelah negara Indonesia berdiri dengan berasaskan Pancasila, wakil Presiden Hatta mengumumkan tentang berdirinya partai-partai. Salah satu sekian dari partai yang berdiri adalah Masyumi. Ketika Kongres Umat Islam pada tanggal 7-8 November 1945 di Yogyakarta diputuskan pembentukan partai politik dengan nama Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), sebagai satu-satunya partai politik yang dimiliki oleh umat Islam dan partai penyatu umat Islam dalam bidang politik.

Sejak revolusi meletus kemudian proklamasi 17 Agustus 1945, di dalam kalangan pemimpin Masyumi pada waktu itu timbul hasrat untuk mengadakan suatu ikatan dari pemuda Islam yang bersifat militan, gerakan pemuda yang mempunyai semangat jihad untuk kemerdekaan agama, bangsa dan tanah air. Dan yang sangat besar sekali memberikan dorongannya kearah pembentukan organisasi tersebut ialah M. Natsir, K.H.A. Wahid Hasjim, dan Anwar Tjokroaminoto.

Pada tahun ini pula (1946) dibentuklah GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia). Pada awal kelahirannya yaitu sejak sukses melakukan mobilisasi rakyat dalam rapat raksasa di lapangan IKADA, semakin banyak kaum muslimin yang datang ke Balai Muslimin di jalan Kramat Raya No. 19 dan menyatakan hasrat dan keinginannya untuk bergabung di dalam perjuangan para mahasiswa STI (Sekolah Tinggi Islam).

Akhirnya organisasi baru itu bernama Gerakan, maka jelaslah bahwa sifatnya akan selalu bergerak, menuju kearah perbaikan dan kemajuan sesuai sifat pemuda, dinamis, lincah, cekatan, siap berkorban, tidak selalu lamban. Kata-kata pemuda dipakai, karena wadah baru itu memang diperuntukan para pemuda, bunga bangsa.

Untuk lebih memberi penegasan lagi, bahwa pemuda Islam yang bergerak itu memang pemuda Islam di Indonesia, maka nama Indonesia pun harus dibubuhkan dibelakangnya, sehingga wadah baru itu nama lengkapnya adalah Gerakan Pemuda Islam Indonesia.

Kata-kata Islam dipakai, karena tekanan memang diletakkan pada kata-kata itu, memberi identitas khusus kepada segenap anggotanya, bahwa mereka adalah pemuda Islam, yang berjuang dengan azas dan dasar ke-Islam-an, dalam mencari ridho Allah dan ikut mempertahankan Negara Republik Indonesia.

GPII menempatkan diri sebagai organisasi yang bisa menerima pemuda dari semua kalangan Islam. Bahkan dalam perkembangannya –karena sebelum ada GPII sudah ada organisasi pemuda Islam yang mengkhususkan diri dalam perjuangan kelasykaran, yaitu Hizbullah- maka pada tanggal 5 Oktober 1945 diadakan kesepakatan untuk menggandengkan penyebutan GPII dengan Hizbullah. GPII garis miring atau dalam kurung Hizbullah.

Pemuda Masyumi pada masa Demokrasi Liberal juga sangat berperan. GPII yang dikomandoi oleh Guru Daud. Pada tahun 1946-1957 Guru Daud dipercaya oleh pemerintah menjadi Kepala kantor Urusan Agama (KUA) Tungkal Ilir.[14] Inilah partai kiranya tempat Guru Daud mencurahkan ekspresi politiknya. Maka pada tahun 1947, Guru Daud kemudian menjadi ketua Partai Masyumi (salah satu partai modernis) Cabang Kuala Tungkal sebagai cerminan wadah perpolitikan kaum santri.[15]

Dalam pada itu, di tengah kesibukan para aktifis melakukan konsolidasi GPII, di Yogyakarta terjadi sebuah peristiwa yang amat bersejarah bagi ummat Islam di tanah air, yaitu diselenggarakan Kongres Ummat Islam Indonesia pada tanggal 7 dan 8 November 1945. Kongres akhirnya menyepakati dibentuknya partai politik Islam, Masyumi, sebagai satu-satunya wadah perjuangan politik ummat Islam Indonesia. Dikalangan kongres waktu itu ada dua usul tentang nama partai yang akan dibentuk. Satu kalangan menghendaki nama Masyumi, karena sudah popular, karena Masyumi didirikan pada zaman pendudukan Jepang. Kalangan kedua mengusulkan nama Partai Rakyat Islam. Tetapi akhirnya nama Masyumi juga yang disepakati dengan penegasan bahwa nama itu bukan lagi singkatan dari Majelis Syuro Muslimin Indonesia. Karena itu lalu disebut “Partai Politik Islam Masyumi”.

Sebelum datangnya Agresi Militer Belanda kesatu, di daerah Jambi sebelum Belanda melancarkan aksi militernya, sudah terasa adanya keadaan perang. Kapal-kapal perang Belanda giat sekali mencegah lalu lintas pelayaran Jambi-Singapura. Dengan demikian di daerah Jambi, terutama diperairan, banyak terjadi insiden dengan Belanda yang lebih frontal.

Sebelum masa Agresi Militer Belanda kesatu, yakni pada bulan April 1947, Belanda melakukan penawanan terhadap Komisaris Polisi Zainal Abidin, Inspektur Polisi Asmara, Letnan PT Saman Idris, Letnan Muda PT Arjai, Letanan Muda PT Jenaib, Letnan Muda PT Nungcik, Alcaft, dan Hulubalang Residen Long Jaffar.

Di samping itu juga telah dilakukan oleh Belanda serangan-serangan secara insidental di daerah Jambi. Di antara serangan yang dilancarkan Belanda ketika ini ialah serangan terhadap lapangan terbang Paal Merah, dimana letnan Muda R. Ramlan, luka berat, seorang perajurit gugur, dan beberapa orang rakyat tewas.

Serangan yang dilakukan Belanda di perairan, antara lain ialah serangan terhadap kapal yang membawa keluarga dan perlengkapan untuk evakuasi di Selat. Serangan Belanda di saat ini meminta korban Kapt. A. Hatib, seorang Sersan Mayor dan seorang rakyat tewas.

Pada bulan Mei 1947 terjadi penangkapan-penangkapan juga dilakukan Belanda di perairan Kuala Betara, Kuala Tungkal. Di Kuala Betara, Kuala Tungkal ini ditangkap oleh Belanda sebuah kapal dagang bernama KM. Bali ditangkap Belanda di perairan antara Kuala Tungkal dan Kampung Laut menuju Jambi. Selain barang-barang dagangan seperti beras dan di kapal tersebut juga terdapat penumpang. Di antara penumpang yang ada di dalam kapal tersebut adalah: Kapten M. Thaib RH (Komandan Kompi Kuala Tungkal), Sersan Mayor Cedet/Kadir Naning (Ajudan) dan beberapa orang pengawal, Pembantu Inspektur Kls. II Asmara Siagian (anggota polisi), Letnan Muda A. Saman, Kepala Pabean Haryono, Pegawai-pegawai Doane, Guru Daud (Kepala Jawatan Agama Kuala Tungkal dan Ketua Masyumi daerah Tungkal), H. Abdullah Azis (Hakim Agama Kuala Tungkal), H. Mohd. Thaib (Pegawai Kantor Agama Kuala Tungkal), Gumri Abdullah (guru agama) dan beberapa orang sipil lainnya. KM. Bali dengan semua penumpangnya di bawa ke Tanjung Pinang (Riau), sedangkan beras di buang ke laut.[16]

Adapun Kapten M. Thaib RH dan Letda R. Umar serta anak buahnya ditawan di Tanjung Pinang sedang penumpang sipil lainnya dibebaskan. Sedangkan M. Thaib RH dan anak buahnya baru dibebaskan setelah penyerahan kedaulatan RI di Jakarta.

Pada bulan Agustus 1947, terjadilah pertempuran laut, yang mana ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia) yang menggunakan Kapal No. RI. 1 dengan senjata yang ada menyerang Belanda yang menggunakan Kapal Royal Patrol Type Dydens B sekitar lima (5) mil dari Laut Kuala Pangkal Duri, Kuala Betara dan Kuala Mendahara. Pertempuran ini terjadi karena pihak Belanda telah melanggar Perjanjian Linggarjati dan memasuki perairan Indonesia dengan melancarkan serangan militer ke daerah-daerah Republik Indonesia, termasuk Kota Kuala Tungkal.[17]

Kemudian pada tahun 1947 ini pula dibentuk pula TKR (Tentara Keamanan Rakjat) yang dipimpin oleh Thoib, RH, H. A. Thaib, Hanafiah HM, dan KH. M. Kasim Saleh (dua orang terakhir adalah pengurus MHI).[18] Pada tahun ini pula (1947), keluarlah fatwa dari Guru Daud ”BAHWA MATI DALAM PERANG MEMBELA AGAMA, TANAH AIR DAN BANGSA ADALAH MATI SYAHID”.[19] Fatwa-fatwa Beliau sangat besar pengaruhnya terhadap segala tindak usaha setiap anggota masyarakat. Keterikatan kepada pribadi-pribadi para ulama tersebut menyebabkan timbulnya "charisma" lembaga pendidikan ini. Fatwa inilah yang membangkitkan murid-murid MHI dan murid-murid di luar MHI untuk berjuang mengadakan perlawanan dan berkorban demi membela nusa dan bangsa. Sebagai seorang ulama, Beliau tidak berada di atas awan. Fatwa jihadnya dan madrasahnya adalah bukti nyata, bahwa Guru Daud tidak mau tinggal diam dalam keterlibatannya dalam membangun masyarakat, negeri dan bangsa.

Pada tahun 1948, Guru Daud (Mudir MHI, komandan Barisan Hizbullah dan GPII) dan KH. Kasim Saleh bersama rombongan ditawan oleh kapal BO Belanda dan dibawa ke Tanjung Pinang sewaktu dalam perjalanan dari Kuala Tungkal ke Jambi melewati laut untuk menghadiri KJA (Konfrensi Jawatan Agama). Namun, setelah lebih kurang 3 bulan rombonganpun dilepaskan.[20]

Kemudian pada awal tahun 1948 dibentuklah KODIM (Komando Distrik Militer) yang dikomandoi oleh A. Fatah Laside, yang anggotanya antara lain adalah KH. M. Kasim Saleh. Beberapa bulan kemudian, tepatnya pada tanggal 11-12 April 1948 kota Kuala Tungkal di serang oleh Belanda dari laut (tepatnya dari sungai Tungkal), waktu itu dua orang tentara yang gugur. Sejak serangan Belanda itulah, MHI praktis dibubarkan untuk sementara, terutama bagi pelajar putri, kemudian terjadilah kevakuman lembaga pendidikan ini. Sedangkan para pelajar putra terlibat latihan perang dalam pasukannya untuk menghadapi agresi atau penyerangan terhadap Belanda berikutnya.[21] Pada masa agresi II sekolah-sekolah yang berada dalam daerah pendudukan Belanda tidak dibuka. Di samping untuk mengatasi persoalan murid agar dapat belajar, dibuka antara lain SMP darurat di Kuala Tungkal yang dipimpin oleh Hakim. [22]

Pada tanggal 20 Juli 1948, TNI AD dan TNI AL serta tentara cadangan termasuk lasykar Hizbullah melakukan perlawanan yang gigih sehingga kapal perang Belanda mundur ke laut lepas selama 2 (dua) jam (di pantai Ancol Beach sekarang).[23]

Pada tanggal 19 Desember 1948 pukul 06.00 pagi, Agresi Militer Kedua dilancarkan Belanda ke Ibukota Republik Indonesia Yogyakarta.

Berbeda dengan keadaan masa aksi militer Belanda I, dimana daerah Jambi boleh dikatakan tidak secara frontal mendapat serangan militer Belanda, maka pada masa Aksi Militer Belanda II daerah Jambi mengalami secara frontal serangan militer Belanda. Pada ketika ini terjadilah kontak bersenjata secara frontal dengan pihak Belanda, hampir di seluruh daerah Jambi.

Sebagaimana dimaklumi, salah satu perjuangan rakyat Jambi melawan Belanda yang terhebat di daerah Jambi adalah perjuangan rakyat Kuala Tungkal masa aksi militer Belanda II.

Pada tanggal 21 Januari 1949, terjadilah Agresi Belanda ke-II mengakibatkan terjadinya pertempuran sengit, yang bertepatan pada hari jum'at, seperti kebiasaan umat Islam, banyak para pejuang berkumpul di Masjid Raya (Jami’/Agung) untuk mengerjakan sholat jum'at. Sekitar pukul 11.55 WIB, beberapa buah kapal Belanda menyerang Kuala Tungkal dengan melepaskan tembakan dan memborbardir serta menghujaninya dengan tembakan meriam dan mortir dari kapal mereka melalui perairan Kuala Tungkal. Salah satu sasaran tembakan mereka adalah Masjid Raya (Jami’/Agung) Kuala Tungkal. Akibat serangan tersebut, sholat jum’at praktis tidak jadi belangsung. Keruan Sehingga banyak para pejuang (pemerintah dan rakyat) yang terpaksa meninggalkan madrasah mengungsi menyingkirkan diri ke luar kota (pedalaman) untuk menghindari diri dan menyusun taktik serangan untuk berjuang secara gerilya mempertahankan kemerdekaan, dan ada sebagian mereka yang bergabung dalam TNI. Akibatnya MHI-pun ditutup total untuk sementara bersama dengan para ustaz dan pelajarpun terpencar-pencar akibat pertempuran yang tidak dapat dihindari. Kemudian Belanda mendarat di Kuala Tungkal, tidak ada penghuninya kecuali beberapa orang saja.[24] Setelah sehari sebelumnya menduduki kota Jambi (20 Januari 1949), akhirnya Kuala Tungkal-pun juga dapat diduduki oleh Belanda pada tanggal 21 Januari 1949 melalui pertempuran yang sengit.[25]

Kemudian dengan sistem geriliya (mengubah sistem pertahanan linear menjadi sistem wehrkreise). Sedangkan TNI, diperintahkan untuk melakukan wingate, yang artinya melakukan penyusupan kembali ke daerah yang telah diduduki musuh dan melakukan perang gerilya. Belanda hanya mampu bergerak di kota Kuala Tungkal dan jalan-jalan. Sementara itu, wilayah lainnnya dikuasai oleh TNI dan rakyat.

Kemudian pada tanggal 25 Januari 1949, dibentuklah FRTI (Front Rimba Tungkal Ilir), yang sebagai ketuanya adalah H. Syamsuddin (pelajar MHI; Penghulu Tungkal III) dan sebagai kepala bagian penerangan KH. Hasan. AR (Guru MHI; Jawatan Penerang Kuala Tungkal).[26]

Dengan didudukinya Kuala Tungkal oleh Belanda sekaligus, maka pada pada tanggal 25 Januari 1949 rakyat mengadakan pertemuan yang terdiri dari berbagai suku guna menghimpun kekuatan untuk mengadakan serangan balasan. Atas mufakat bersama, mereka membentuk Front Rimba. Kemudian Front Rimba Tungkal Ilir membentuk barisan yang diberi nama Lasykar Selempang Merah. Tujuan dari didirikannya Lasykar Selempang Merah ini ialah untuk menggempur Belanda yang menduduki Kuala Tungkal. Oleh sebab itu harus dipilih siapa yang akan memimpin barisan Lasykar Selempang Merah, terutama waktu menyerbu/menyerang kedudukan Belanda. Maka terpilihlah Abdushshomad yang disebut kemudian dengan istilah ’Panglima’, maka Beliau lebih populer dengan sebutan Panglima Adul. Selain itu pula yang turut serta dalam barisan ini adalah guru MHI, HM. Saman, H. Abdul Hamid. Disepakati pula bila Lasykar Selempang Merah menyerang Belanda harus bersama TNI dan taktik berada di bawah komando TNI.[27]

Pada tanggal 2 Februari 1949, perjuangan rakyat di Kuala Tungkal dengan membentuk satu organisasi yang bernama Lasykar Selempang Merah Front Tungkal Area yang mempunyai anggota 3000 orang dikepalai oleh H. M. Saman (dikenal dengan sebutan Panglima Saman) Sedangkan dari TNI (Tentara Nasional Indonesia) mempunyai kekuatan satu batalion dikepalai oleh Kapten Zainul Rivai.[28]

Pada tanggal 7 Februari 1949 dengan menggunakan 9 (sembilan) buah perahu, dipimpin oleh Abdushshomad, bersama dengan 41 anggota yang telah mempelajari amalan Lasykar Selempang Merah dengan bersenjatakan parang, pisau, keris, tombak dan senjata tajam lainnya, berangkat dari Parit Selamat menuju Kuala Tungkal. Pasukan dibagi empat, masing-masing dipimpin oleh: 1) Abdushshomad, 2) H. Saman, 3) H. Nafiah, dan 4) Zainuddin.[29]

Setelah merasa aman, Belanda mendaratkan pasukannya sambil terus melepaskan tembakan senjata berat untuk melindungi pasukannya yang sedang melakukan pendaratan.

Maka pada jam 24.00 WIB, mereka menyerang pertahanan Belanda secara serentak dan mendadak, Belanda tidak memperkirakan/menduga sebelumnya. Pertempuran terjadi sampai jam 09.00 WIB pagi. Karena penyerangan dilakukan secara tiba-tiba/mendadak, banyak tentara Belanda yang menjadi korban, di antaranya terdapat seorang yang berpangkat Kapten. Barisan Selempang Merah dengan dua orang gugur yaitu Arup bin Wahid dan A. Rachman serta dua orang ditawan. Dengan berhasilnya serangan pertama ini, maka menambah keyakinan masyarakat terhadap keampuhan amalan Selampang Merah, sehingga banyak yang menyampaikan keinginan mereka untuk turut bertempur menyerang Belanda.[30]

Suatu serangan bersama pasukan TNI dan Selempang Merah dilakukan lagi pada tanggal 15 Februari 1949 dengan kekuatan 115 orang. Pasukan Selampang Merah dipimpim oleh Panglima Adul dan pasukan TNI dipimpin oleh Sersan Mayor Murad Alwi bersama Sersan Mayor Buimin Hasan, keduanya dari CPM, bergerak dari Parit Bakau Seberang Kota Kuala Tungkal. Pasukan menyerang kapal Belanda di laut dengan menggunakan 11 (sebelas) buah perahu. Pasukan berangkat jam 04.00 pagi, pada waktu air pasang dengan semangat yang menyala-nyala dan tekad merdeka atau mati, di landasi oleh keyakinan bahwa apabila mereka gugur di medan pertempuran mereka mati syahid, karena mati dalam membela agama, bangsa dan negara.[31]

Perahu pertama pada urutan paling depan adalah perahu Panglima Adul bersama Sersan Mayor CPM Murad Alwi dan 2 orang anggota CPM yaitu Kopral Badari dan Kopral Muhammad serta 7 orang anggota Selempang Merah, antara lain Abdullah. Sersan Mayor CPM Buimin Hasan bersama beberapa anggota CPM dan Barisan Selempang Merah berada pada perahu urutan ketiga. Setelah pasukan berada ditengah-tengah lautan, bertemu dengan sebuah kapal perang Belanda. Panglima Adul dan kawan-kawan segera melepaskan tembakan yang ditujukan kepada tentara Belanda yang berada di atas kapal.[32]

Seketika itu juga terjadi tembak-menembak yang gencar dari kedua belah pihak. Panglima Adul melompat ke dalam air dan berenang menuju kapal Belanda dengan tujuan naik ke kapal untuk menyerbu tentara Belanda yang ada di atas kapal. Pada saat berpegang pada jangkar, kapal Panglima Adul terus diberondong dengan tembakan senapan mesin oleh tentara belanda sehingga pegangannya terlepas tenggelam dan tidak timbul lagi, panglima Adul gugur di tempat tersebut.[33]

Tentara Belanda terus melepaskan tembakan senapan mesin yang mengakibatkan beberapa perahu pecah dan terbalik, termasuk perahu dimana Sersan mayor CPM A. Murad Alwi seorang anggota Barisan Selempang Merah yang turut dalam perahu tersebut kena tembak dan gugur pada wakti itu juga. Dalam pertempuran ini sebanyak 30 orang anggota Barisan Selempang Merah dan 2 orang anggota CPM, yaitu Kopral Badari dan Kopral Muhammad gugur, sedangkan 15 orang lainnya luka-luka termasuk Sersan Mayor CPM A. Murad Alwi. Sersan Mayor CPM Buimin Hasan bersama anggota pasukan yang berada dalam perahunya dapat menyelamatkan diri dan mendarat di pantai Tangga Raja Ulu.[34]

Dengan gugurnya Panglima Adul dan Panglima H. Abdul Hamid, maka pimpinan Barisan Selempang Merah digantikan oleh Panglima H. Saman, yang selama ini selalu mendampingi Panglima Adul dalam penyerbuan terhadap tentara Belanda.[35]

Selanjutnya, pada tanggal 23 Februari 1949 pasukan TNI (Tentara Nasional Indonesia) dengan dibantu oleh Lasykar Selempang Merah (lasykar ini menggunakan kain berwarna merah dengan mengikatnya di kepala untuk melawan Belanda, sambil menyebut nama Allah ’Ya Zal Jalâli wal Ikram’) beserta rakyat menyerbu pertahanan Belanda di Kuala Tungkal, dengan strategi dan taktik mentap, dengan menggunakan senjata-senjata tradisional seperti kampilan, parang bungkul, pedang kajang rungkup, pedang panjang, mandau Kuala, keris Banjar, keris Beram Itam kanan, keris, kuningan, badik Bugis, tombak dll, serta menggunakan Al-Qur'an Istambul (al-Qur’an terkecil cetakan Timur Tengah) yang merupakan perlengakapan religius yang digunakan untuk mempertahankan kemerdekaan. Sehingga dengan persiapan yang matang dan perlengkapan tradisional yang memadai itu, Belandapun dapat dipukul ke kapal perang mereka.[36]

Tungkal Ilir menjadi sasaran pertempuran (Front). Pimpinan petempuran di Tungkal Ilir ini dipegang oleh Letnan Abdul Fatah (Abdul Fatah Leside), selama pertempuran telah gugur di pihak Selempang Merah 300 orang dan dari fihak musuh 40 orang tentara Belanda. Rumah-rumah rakyat yang hancur sejumlah 400 buah rumah termasuk kediaman Guru Daud.[37] Setelah tentara Belanda dapat dipukul mundur oleh pasukan gabungan TNI dan Lasykar Selempang Merah, pejuang Kuala Tungkal kemudian banyak mendapatkan senjata otomatis hasil rampasan dari Belanda pada pertempuran di Kuala Tungkal ini.

Selempang Merah ini, kemudian bergabung menjadi satu organisasi yang bernama “Pantjasila” berpusat di Djati Negara Djakarta dan telah mempunyai anggota sebanyak 10.000 orang.

Sejak itulah (Agresi Belanda I dan II) kerapkali terjadi serangan dari pihak Belanda yang kemudian memunculkan perlawan rakyat Tanjung Jabung terhadap pemerintah kolonial Belanda di Kuala Tungkal yang tidak dapat terhindarkan. Adapun peperangan tersebut antara lain: 7 (tujuh) kali di antaranya adalah kontak senjata/perang, 4 (empat) kali di Pembengis, 2 (dua) kali di Parit Selamat/Parit Bakau, satu kali di Parit 7 Tungkal I. Dalam peperangan tersebut, banyak guru dan murid MHI yang gugur di tangan Belanda sebagai syuhada dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, di antaranya adalah: Abdussomad (guru MHI; gugur di sungai Pengabuan), Hanafiah, H. Kadir, Mahfuz, Abdullah Saman, H. Imas Hasyim dan murid-murid MHI yang lainnya (gugur di Kuala Tungkal).[38]

Selain itu banyak lagi terjadi pertempuran-pertempuran yang melibatkan murid-murid MHI, antara lain perang di Teluk Sialang, di antara murid-murid MHI yang terlibat yaitu; H. Zam-zam. H. Anwar, H, Samad bin Saud, Jahari, H, Mahmud. Peperangan yang terjadi di Sungai Serindit yang melibatkan murid-murid MHI, seperti: Ardi, H. Hanafiah, H. Husin, dan H. Jahari. Peperangan yang terjadi di Teluk Nilau (Ibukota kecamatan Pengabuan), muri-murid MHI yang terlibat di antaranya adalah, Abdul Hamid, Amir, H. Hasan, Basrah, dll.[39]

Adapun para pejuang MHI yang sekarang masih hidup, yaitu KH. M. Arsyad, Ahmad Zaini, Safri, Abdullah El, H. Dramansyah, H. Ghazali, H. Hasan, Basrah, Saadun, Mamas, Hasan, Bakri, dll.[40]

Setelah itu pada tanggal 14 April 1949 dengan penetapan Nomor: 003/181248/49 dibentuklah pemeritahan militer yang diperbaharui dengan ketetapan militer Nomor: 10017/18128/49 tanggal 25 Mei 1949, dimana H. Syamsuddin menjadi Wakil Kepala Pemerintahan Militer dengan 24 personil lainnya, 8 di antaranya adalah pengurus, guru, pelajar MHI yaitu Guru Daud (Mudir MHI), H. Asmuni (Pasirah), Hasbullah Naud (pengurus MHI), dan Karim, Fachruddin Lubis, Latua/Saleh Tuah (murid MHI).[41]

Pada priode ini pula bertepatan penyerahan kedaulatan Republik Indonesia. Di Kuala Tungkal sendiri, penyerahan kedaulatan dari pihak Belanda yang dilakukan oleh Wedana Ishak kepada Wedana Nurdin dari pihak RI yang dilaksanakan pada hari kamis tanggal 15 Desember 1949 M di desa Parit Deli kecamatan Betara.[42] Kemudian beberapa selanjutnya pada tanggal 31 Desember 1949 kemerdekaan Indonesia diakui oleh seluruh dunia yang merupakan kejadian yang sangat penting dalam dunia Islam.

Begitulah perlawanan rakyat dan MHI Kuala Tungkal terhadap pemerintah kolonial Belanda. Para pelajar MHI turut berjuang dengan gigih menentang kaum penjajah, sehingga banyak di antara mereka yang tewas dan ditawan. Hal ini menunjukkan kepahlawanan para guru dan murid MHI yang tergabung dalam lasykar Selempang Merah melawan pemerintah penjajahan Belanda dengan mengadakan peperangan dengan gerilya.


[1] Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 4.

[2] Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 4.

[3] Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 5.

[4] Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 5.

[5] KH. M. Arsyad, Wawancara. Lihat Efendi Hasan (2004). Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1949). Legiun Veteran Republik Indonesia Kabupaten Tanjung Jabung Barat: Kuala Tungkal. h. 1.

[6] KH. M. Arsyad, Wawancara.

[7] Efendi Hasan (2004). Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1949). Legiun Veteran Republik Indonesia Kabupaten Tanjung Jabung Barat: Kuala Tungkal. h. 1.

[8] MA PHI (2003). Al-Anwar asy-Syâthi’ah, MA PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 70. Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 5.

[9] Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 6.

[10] KH. M. Arsyad, Wawancara. Lihat Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 5.

[11] KH. M. Arsyad, Wawancara.

[12] MA PHI (2003). Al-Anwar asy-Syâthi’ah, MA PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 65.

[13] Lembaga Adat Kabupaten Tanjung Jabung Barat (2003). Buku Panduan Pengukuhan dan Pemberian Gelar Adat Di Bumi Serengkuh Dayung Serentak Ke Tujuan: Kuala Tungkal. h. 11.

[14] MA PHI (2001). Nafasah al-Khawâtir, MA PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 43.

[15] MA PHI (2001). Nafasah al-Khawâtir, MA PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 43.

[16] Efendi Hasan (2004). Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1949). Legiun Veteran Republik Indonesia Kabupaten Tanjung Jabung Barat: Kuala Tungkal. h. 5.

[17] Lihat Museum Perjuangan Jambi. Efendi Hasan (2004). Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1949). Legiun Veteran Republik Indonesia Kabupaten Tanjung Jabung Barat: Kuala Tungkal. h. 5.

[18] Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 6.

[19] Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. 6.

[20] MA PHI (2001). Nafasah al-Khawâtir, MA PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 43.

[21] Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 6.

[22] Departemen P & K. (1986). Sejarah Revolusi Kemerdekaan Daerah Jambi. Karya Kita: Jambi. h. 99.

[23] Efendi Hasan (2004). Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1949). Legiun Veteran Republik Indonesia Kabupaten Tanjung Jabung Barat: Kuala Tungkal. h. 7.

[24] Lihat Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 7.

[25] Lihat Departemen P & K. (1986). Sejarah Revolusi Kemerdekaan Daerah Jambi. Karya Kita: Jambi. h. 79. Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 7.

[26] Lihat Efendi Hasan (2004). Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1949). Legiun Veteran Republik Indonesia Kabupaten Tanjung Jabung Barat: Kuala Tungkal. h. 10. Menyebutkan bahwa penyempurnaan pengurus Front Rimba ditetapkan pada tanggal 15 Januari 1949.

[27] Efendi Hasan (2004). Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1949). Legiun Veteran Republik Indonesia Kabupaten Tanjung Jabung Barat: Kuala Tungkal. h. 8.

[28] Museum Perjuangan Jambi, Dokumentasi. Efendi Hasan (2004). Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1949). Legiun Veteran Republik Indonesia Kabupaten Tanjung Jabung Barat: Kuala Tungkal. h. 8.

[29] Efendi Hasan (2004). Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1949). Legiun Veteran Republik Indonesia Kabupaten Tanjung Jabung Barat: Kuala Tungkal. h. 12.

[30] Efendi Hasan (2004). Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1949). Legiun Veteran Republik Indonesia Kabupaten Tanjung Jabung Barat: Kuala Tungkal. h. 12.

[31] Efendi Hasan (2004). Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1949). Legiun Veteran Republik Indonesia Kabupaten Tanjung Jabung Barat: Kuala Tungkal. h. 13.

[32] Efendi Hasan (2004). Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1949). Legiun Veteran Republik Indonesia Kabupaten Tanjung Jabung Barat: Kuala Tungkal. h. 13.

[33] Efendi Hasan (2004). Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1949). Legiun Veteran Republik Indonesia Kabupaten Tanjung Jabung Barat: Kuala Tungkal. h. 13.

[34] Efendi Hasan (2004). Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1949). Legiun Veteran Republik Indonesia Kabupaten Tanjung Jabung Barat: Kuala Tungkal. h. 13-14.

[35] Efendi Hasan (2004). Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1949). Legiun Veteran Republik Indonesia Kabupaten Tanjung Jabung Barat: Kuala Tungkal. h. 14.

[36] Museum Perjuangan Jambi, Dokumentasi.

[37] Museum Perjuangan Jambi, Dokumentasi.

[38] Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 8.

[39] Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 8.

[40] Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 8.

[41] Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 7.

[42] Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 9. Departemen P & K. (1986). Sejarah Revolusi Kemerdekaan Daerah Jambi. Karya Kita: Jambi. h. 117.

0 komentar:

Posting Komentar