.

.
.

Sabtu, 27 Maret 2010

SEJARAH PHI KUALA TUNGKAL (BAB IV/BAG 33)

3. PERIODE III (1950-1960)

Priode ini disebut juga periode pembenahan dan pengaktifan kembali setelah penyerahan kedaulatan Republik Indonesia dari kaum penjajah. Keadaan Kuala Tungkal-pun berangsur pulih. Pada saat itu pula pengurus-pengurus, guru-guru, pelajar-pelajar MHI yang mengungsi ke darat-darat (dusun; parit; desa; pedalaman) kembali ke Kuala Tungkal.

Setelah penyerahan kedaulatan dilaksanakan, pengurus MHI-pun berusaha untuk memperbaiki gedung sekolah yang mengalami kerusakan akibat peperangan atau gempuran dari pihak Belanda, mengaktifkan yang pasif, dengan inisiatif Guru Daud, dan disarankan oleh para pengurus tua-tua untuk membuka kembali madrasah. Maka kegiatan belajarpun dimulai dan aktif kembali.

Setelah mengalami masa-masa sulit akibat bangsa penjajah Belanda dan Jepang, proklamasi kemerdekaan, serta revolusi fisik/masa perjuangan kemerdekaan mempertahankan kemerdekaan Indonesia (Agresi Militer Belanda I dan II), selanjutnya memasuki era pasca kemerdekaan dan zaman pembangunan.

Segala persoalan yang menyelimuti bangsa telah berakhir, semua membawa pengaruh besar terhadap MHI. Sejak didirikannya hingga sekarang tetap bergerak di bidang pendidikan Islam yang sesuai dengan wawasan keagamaan mayoritas muslimin Indonesia Kuala Tungkal.

Kemudian pada hari sabtu tanggal 30 Juni 1951, MHI-pun di buka kembali dan berusaha untuk memperbaiki sekolah yang mengalami rusak berat[1] demi untuk mencapai kemerdekaan yang sebenarnya dan sebaik-sebaiknya, MHI pun bertekad untuk menciptakan para pelajar yang berkualitas. MHI mulai banyak kembali menerima murid, baik murid baru maupun murid lama yang telah meninggalkan madrasah karenan sulitnya kehidupan di masa Jepang.

Pada awal periode ini (1951), terjadilah perubahan dari aspek pengajar, yaitu yang semula semua guru-guru yang mengajar di MHI ini dari kalangan laki-laki (ustadz) untuk mengajar murid laki-laki dan perempuan pada semua tingkatan. Maka mulailah satu persatu muncul guru-guru dari kalangan perempuan (ustadzah). Di antara mereka adalah Hj. Saniah Daud dan Hj. Sampurna (1951), Hj. Salabiah dan Mariam (1953). Mereka tidak lain tidak bukan adalah para alumni MHI itu sendiri yang nantinya bertugas untuk mengajar pada murid-murid perempuan.[2] Hal ini berarti pemisahan kelas antara laki-laki dan perempuan, menandakan bahwa terjadi kemajuan secara kuantitas, dari tenaga pengajarnya, tentu dari murid-muridnya sendiri.

Sesuai pandangan keagamaan yang tertanam di masyarakat maka pada masa awal kemerdekaan para orang tua murid umumnya menyekolahkan anaknya sekaligus untuk 2 jenis pendidikan. Yakni pagi masuk sekolah rakayat/pemerintah, dan sore masuk sekolah madrasah. Ini merupakan tindakan agar anak mereka tidak hanya mempunyai pengetahuan umum saja tetapi juga mempunyai pengetahuan agama. Pandangan masyarakat yang berlandaskan ajaran agama ini kemudian selaras dengan kurikulum pendidikan yang diselenggarakan Pemerintah Republik Indonesia dalam kebijaksanaan pendidikan di Indonesia di mana pada setiap jenjang sekolah yang diselenggarakan pemerintah, pendidikan agama diberikan sesuai kurikulum. Demikian pula halnya di mana semua madrasah baik negeri maupun swasta telah diisi pula dengan mata pelajaran pengetahuan umum.

Karena semakin menebalnya kepercayaan masyarakat terhadap Guru Daud, yang menambah bobot tersendiri bagi MHI. Ternyata semakin hari setelah masa peperangan, para peminat untuk bersekolah di MHI semakin banyak dan meningkat, karena masyarakat semakin sadar dengan betapa pentingnya sekolah agama tersebut, sehingga lokal yang ada tidak mencukupi lagi untuk menampung murid-murid yang ada. Maka pada tahun 1952, dibangunlah madrasah (gedung baru) di komplek Masjid Raya (Sekarang Mesjid Agung al-Istiqomah) yang berdampingan dengan gedung Masyumi.[3]

Pada tahun ini pula, tepatnya pada 27-28 Jumadil Akhir 1372 H/14-21 Maret 1953,[4] Guru Daud, perwakilan dari Kuala Tungkal mengikuti Muktamar Alim Ulama dan Muballigh Islam se-Indonesia III di Medan bertemapat di Aula Universitas Islam Sumatera Utara yang dihadiri oleh para pemimpin dan pemuka umat Islam. Adapun hasil dari muktamar itu adalah itu adalah: “umat Islam yang punya hak pilih wajib menjalankan hak pilihnya dengan memberikan suaranya dalam Pemilu. Selain itu juga wajib hanya memilih calon-calon yang memiliki cita-cita terlaksananya ajaran Islam dan hukum Islam dalam negara. Selain itu pula hasil muktamar adalah “kaum muslimin yang mukallaf wajib berusaha dan memberikan segala macam bantuan pengorbanan untuk tercapainya kemenangan Islam dalam Pemilu”.[5]

Kemudian selanjutnya bertepatan pada tahun 1953 ini pula, salah seorang alumni MHI, KH. M. Ali Wahab bermasa dengan guru-guru MHI mendirikan sebuah organisasi “Tarbiyyatul Muballighin”.[6]

Pasca revolusi fisik, semangat kaum santri untuk mempertahankan dan membanguan negara tidak mengendur. Setelah tidak ada lagi perang, kecintaan mereka pada negara disalurkan melalui jalur politik dan pemerintahan. Hal ini dibuktikan sejak berdirinya Masyumi cabang Kuala Tungkal yang dipimpin oleh Guru Daud, Beliaupun juga ikut andil dalam muktamar nasional, di antaranya mengikuti Muktamar Masyumi VII tahun 1954 di Surabaya dan Muktamar Masyumi VIII 1956 di Bandung[7] yang di ketuai oleh Prawoto sejak berdirinya melalui perwakilan dari Anak Cabang Kuala Tungkal. Dengan demikian, Beliau salah satu tokoh kunci Masyumi yang merupakan ormas Islam yang kaya pengalaman politik.

Pada tanggal 5 Januari 1955 Guru Daud dan Datuk Hasbullah Naud dari Kabupaten Batang Hari bersama 27 orang anggota lainnya mengikuti Pleno Badan Kongres Rakjat Djambi ke V di Jambi. Pada tanggal 21 Desember 1956, sesuai dengan keputusan rapat bersama antara Badan Harian Kongres Rakjat Djambi dengan DPD-DPD, Ketua-ketua DPR Batang Hari dan Merangin, Kota Besar Djambi, Residen Djambi, Bupati Batang Hari dan Merangin, dan Kota Besar Djambi Tanggal 21 Desember 1956.[8]

Pada tahun 1955 ini pula, tatkala PEMILU pertama dilaksanakan, banyak di antara para pengurus dan guru MHI yang turut aktif turun ke dunia perpolitikan. Seperti menjadi Panitia Penyelenggaraan Pemungutan Suara atau disebut juga Komite Aksi Pemilihan Umum (KAPU) Tungkal III Kecamatan Tungkal Ilir pada tanggal 29 September 1955 yang merupakan buatan dari partai Masyumi.[9] Maka pada pemilihan pertama itu, Guru Daud terpilih menjadi anggota DPRDP (Dewan Perwakilan Rakyat DJambi Peralihan) Kabupaten Kota Besar sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku dan Undang-Undang Pokok Pemerintahan Daerah, yaitu Undang-Undang NO. 1/1957 DPRDP Kabupaten Batanghari sebanyak 20 orang[10] anggota utusan dari Partai Masyumi hingga tahun 1959.

Pada tanggal 7-9 Juli 1956, diadakanlah Konferensi Masyumi Anak Cabang Kuala Tungkal yang bersebelahan dengan gedung MHI baru.[11]

Tahun 1956 ini pula MHI mulai berkembang khususnya bagi murid-murid perempuan ditambah lagi dengan kondisi gedung yang sudah berumah 20 tahun yang hampir usang dimakan usia yang kemudian gedung lama yang berbentuk leter L (el) yang tanahnya diwakafkan oleh Datuk Penghulu H. Bahruddin dibongkar dengan cara mengganti/membangun gedung yang baru yang berada di sebelah lahan yang lama yang diwakafkan oleh Datuk Penghulu H. Ahmad berbentuk leter I (i) dengan fasilitas 6 lokal (3 lokal untuk putra dan 3 lokal untuk putri) yang mampu menampung murid-murid baru, dengan sebuah kantor dan asrama khusus untuk laki-laki, tidak ada untuk asrama perempuan. adapun bahan bangunan gedung MHI yang baru ini adalah dari material sisa dari bangunan lama yang masih layak pakai, seperti tongkat, tiang, seng, dinding, jendela, dan lain-lain. [12] Kemudian otomatis gedung pada lahan yang pertama tidak ada lagi yang dijadikan perkuburan keluarga.

Ternyata semakin lama bertambah banyak lagi masyarakat yang ingin bersekolah disini, sehingga lokal yang adapun tidak mencukupi lagi untuk menampung murid-murid yang ada, karena gedung yang baru ini relatif kecil dari gedung yang lama (sekarang Madrasah Ibtidiyah Putri). Pada tahun ini pula MHI mengadakan penggabungan pada tingkatan pendidikan yang semula Tingkat Tahdiriyah (2 tahun), Tingkat Awaliyah (3 tahun) dan Tingkat Ibtidaiyah (3 tahun) yang terpisah, pada akhirnya tingkatan-tingkatan tersebut dilebur menjadi satu tingkatan, yaitu Tingkat Ibtidaiyah selama 6 tahun.[13] Walaupun pada tahun 1956 di Kuala Tungkal telah berdiri beberapa sekolah SD yang dibangun sebelum berdirinya MI Puti MHI, namun masyarakat tetap mempercayai MHI sebagai tempat untuk menempa pendidikan anaknya MI Puti MHI ini.

Pada tahun ini pula (1957) daerah keresidenan Jambi termasuk dalam provinsi Sumatera Tengah yang terdiri dari keresidenan Padang, Riau dan Jambi. Keresidenan Jambi terdiri dari kabupaten Batang Hari dan Merangin yang dikukuhkan dengan Undang-undang Darurat Nomor 19 tahun 1957.[14]

Satu tahun kemudian keresidenan Jambi berubah menjadi Propinsi Tingkat I Jambi yang ditetapkan dengan Undang-undang Nomor 61 tahun 1958 pada tanggal 6 Januari 1958. Provinsi Tingkat I Jambi pada waktu itu terdiri dari 3 kabupaten, yaitu: Kabupaten Batang Hari, Kabupaten Merangin dan Kabupaten Kerinci. Sementara Kabupaten Tanjung Jabung masuk di dalam Kabupaten Batang Hari.[15]

Pada tahun 1957, dibangunlah gedung MHI yang baru (sekarang Madrasah Ibtidaiyah Putra) untuk murid laki-laki yang berdampingan dengan gedung Masyumi, yang mana pada tahun ini gedung Masyumi dihibahkan kepada MHI untuk dipergunakan sebagai lokal (sekarang SD PHI/MI Putra), karena gedung yang ada dijadikan gedung Madrasah Ibtidaiyah Putri.[16]

Pada tahun 1958, di angkatlah KH. M. Ali Wahab (putra KH. Abdul Wahab yang menjadi ulama Kuala Tungkal dahulu) sebagai guru agama di MHI dan membuka pengajian agama yang dipimpin oleh KH. M. Ali Wahab yang bertempat rumah Beliau,[17] yang mana Beliaulah yang cikal bakal/generasi yang menjadi pengganti Guru Daud, yang hingga sekarang masih hidup yang memiliki banyak murid yang tersebar di Tanjung Jabung Barat Sendiri, dalam dan luar negeri.

Pada perode ini, setelah Guru Daud menyelesaikan tugasnya sebagai anggota DPRDP (Dewan Perwakilan Rakyat Djambi Peralihan) pada tahun 1959, Beliaupun kembali lagi diangkat menjadi anggota Konstituante (1959).[18]

Setahun kemudian, maka partai Masyumi dibubarkan pada tanggal 17 Agustus 1960. Pembubaran Masyumi pada masa rezim Soekarno menancapkan luka yang mendalam bagi para tokoh ummat Islam saat itu, sehingga ketika rezim itu tumbang digantikan rezim Orde Baru. Setelah dibubarkannya partai Masyumi oleh Presiden Soekarno, maka tidak lama kemudiaan, pada tahun ini juga (1960), markas Masyumi yang bersebelahan dengan gedung MHI dan Mesjid Agung Al-Istiqomah dihibahkan kepada MHI.

Sebagaimana lazimnya suatu Lembaga Pendidikan agar dapat berjalan normal dan terjaga kontinuitasnya tentu saja memerlukan suatu sistem yang terpola dan terpadu. Di MHI pada mulanya tidak terdapat lembaga-lembaga khusus yang membantu dan mengawasi kinerja-kinerja Pimpinan Pondok dan Staf-stafnya.

Kemudian untuk memantapkan eksistensinya sebagai lembaga pendidikan Islam, maka pada tanggal 30 Mei 1960, MHI mendirikan yayasan yang diberi nama Yayasan Perguruan Hidayatul Islamiyah (YPHI). Sejak itulah MHI (Madrasah Hidayatul Islamiyah) berubah nama menjadi PHI (Perguruan Hidayatul Islamiyah).[19] Dengan ini berarti penyelenggaraan dan pengelolaan MHI ditangani oleh sebuah organisasi berbadan hukum berbentuk yayasan yang diketuai oleh Guru Daud. Adapun maksud didirikannya Yayasan PHI bertujuan agar dapat memperlancar roda pendidikan baik dalam hubungan intern maupun ektern MHI, dan agar keberadaannya lebih dapat dikenal masyarakat luas serta dapat ditingkatkan kedudukannya, selain itu agar semakin diakui.

Susunan Dewan Pengurus Yayasan Perguruan Hidayatul Islamiyah Tanggal 30 Mei 1960, yaitu: Ketua: KH. M. Daud Arif, Wakil Ketua: KH. M. Ardhie, Bendahara: KH. Abdurrahman Hakim, Pembantu: KH. Abdul Kadir, KH. M. Saleh Ramli, K. Abdul Hamid Hasan, KH. Abdul Hamid Hasan, Uztadz masrani Kamar, Bapak H. M. Said (pedagang), Bapak H. Makmur (pedagang), Bapak H. Djafrie (pedagang), Bapak Harun Zaini (pedagang), Datuk Asmuni (pemuka Masyarakat), Sekretaris: KH. M. Arsyad, KH. M. Ali Wahab, dan Wakil Sekretaris: KH. Kastalani Ali.[20]


4. PERIODE IV (1960-1970)

Periode ini disebut juga dengan periode pembangunan. Ada 2 ciri yang menonjol pada periode ini, yaitu:

a. YPHI mengembangkan misinya sebagai pesantren, dengan membuka atau mendirikan atau beberapa cabang melebarkan sayapnya ke desa-desa yang mencapai 16 cabang.[21]

b. YPHI mendirikan MTs dan pengurus mulai memasukkan pelajaran-pelajaran atau kurikulum umum terutama pada Tingkat Tsanawiyah. Pengurus yayasan dan pendidik menyadari bahwa untuk mengahadapi tantangan masa depaan dan menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman, anak didik tidak hanya dibekali atau terbatas pada pemberian materi-materi atau pelajaran-pelajaran melalui kitab-kitab Islam klasik semata-mata, melainkan para santri juga diajarkan dan dibekali lebih banyak lagi mata pelajaran umum, seperti yang berkaitan dengan bahasa, sejarah, pengetahuan alam, pengetahuan sosial dan Iain-lain.[22] Semua itu ternyata ditanggapi serius oleh pengurus yayasan, tidak seperti periode sebelumnya. Literatur di MHI mulai beragam, dari “kitab kuning” sampai “kitab putih” sesuai dengan relevansi dan kondisi perkembangan zaman yang semakin maju. Semua itu menandai era baru MHI, yang sungguhpun mulai sedikit bergeser namun tetap merawat setia dengan keunikannya sebagai madrasah sebagaimana di era sebelumnya.

Untuk membentuk kader-kader generasi muda umat Islam yang cakap dan cerdas, baik dalam ilmu pengetahuan agama maupun pengetahuan umum dan bertanggungjawab atas kemajuan bangsa Indonesia, maka pada periode ini YPHI memasukkan pelajaran-pelajaran umum untuk pengembangan dikarenakan adanya pemikiran baru yang berkembang dan untuk mengahdapi zaman yang semakin berkembang. Pengurus YPHI sadar bahwa madrasah adalah tempat untuk mentransformasikan ilmu pengetahuan bukan hanya untuk kehidupan ukhrawi semata-mata tetapi juga untuk kehidupan duniawi. Walaupun merasa kekurangan guru-guru dalam bidang umum, karena guru-guru yang ada hanya ’alim dalam bidang keagamaan, namun MHI tetap berjalan. YPHI memaklumi betapa pentingnya pelajaran lain selain Islam dan kurikulum sekolah. Keluarga ulama melihat bahwa masa depan islamisasi harus disertai oleh ulama yang intelek, memiliki pengetahuan yang seimbang dalam agama dan ilmu-ilmu umum.

Di madrasah-madrasah dalam provinsi Jambi terutama madrasah yang khusus mempelajari ilmu-ilmu agama tanpa memasukkan pengetahuan umum. Para santri atau murid belajar dari kitab-kitab yang berbahasa Arab, dan hal ini dimaksudkan sekaligus membiasakan mereka untuk memahami bahasa Arab. Para santri atau murid dilatih membaca dan menulis Arab dan diharapkan fasih dalam berbahasa Arab.

Sebagian madrasah lagi di samping mempelajari bahasa Arab juga mempelajari bahasa melayu. Secara umum kedua bahasa ini yaitu bahasa Arab dan bahasa Melayu sangatlah penting artinya bagi siswa yang mengikuti pendidikan di lembaga pendidikan agama Islam.

Pada awal periode ini, semakin bertambah banyaknya murid-murid untuk Tingkat Ibtidaiyah putera dan puteri jumlah mencapai ±400 orang, belum lagi jika ditambah dengan murid untuk Tsanawiyah. Untuk mengatasi kekurangan guru, maka maka pengurus MHI-pun mengambil para ustadzah alumni dari MHI itu sendiri untuk mengajar pada tingkatan ini mencapai 8 orang. Dengan demikian maka bertambah banyak jumlah guru laki-laki dan perempuan hampir seimbang.

Perjalanan MHI tetap terus berlanjut meskipun harus mengalami perjalanan pasang surut, demi untuk kelanjutan pendidikan murid yang telah menamatkan di Tingkat Ibtidaiyah, maka pada tahun 1961 dibuka pula sekolah untuk tingkatan Tsanawiyah Putra dan Putri secara terpisah. Namun karena peminat yang ingin melanjutkan ke sekolah ini dari kalangan laki-laki sedikit, maka pemisahanpun tidak dapat dilakukan karena tidak memungkinkan untuk membedakan kelas antara putra dan putri secara terpisah. Adapun untuk kepala madrasah adalah Guru Daud. Adapun pendirian Madrasah Tsanawiyah ini adalah karena sebagaimana diketahui bahwa banyak alumni MHI yang sebelumnya melanjutkan studinya setelah menamatkan Tingkat Ibtidaiyah, mereka pada umumnya melanjutkan ke madrasah-madrasah tua yang ada di Seberang Kota Jambi, seperti madrasah Nurul Iman dan Madrasah As’ad. Setelah dibukanya MTs MHI, maka membeludaklah anak-anak yang ingin melanjutkan sekolahnya di MTs ini setelah menyelesaikan studi di madrasah ibtidaiyah. Hal ini dikarenakan di Kuala Tungkal ini baru ada satu sekolah menengah.

Kemudian pada tahun 1961 pula Guru Daud bersama sang istri berangkat ke tanah suci Makkah al-Mukarramah.[23] Pada tahun 1962, dibentuklah sebuah organisasi “Tarbiyyah al-Da'wah wa al-Mudzakarah” yang diperakarsai oleh KH. M. Ali Wahab (alumni MHI).[24]

Pada periode ini pula pengurus YPHI berkeinginan untuk mendirikan SMAI (Sekolah Menengah Atas Islam). Maka kemudian dibentuklah panitia pembangunan untuk membangun gedung SMAI tersebut. Pada tahun 1963 di bangunlah gedung SMAI yang selesai pada tahun 1965 namun hanya mampu bertahan selama 2 tahun (1965-1967)[25] dengan Kepala Sekolah KH. Said Mugewi,[26] Adapun tujuan dibangun SMAI ini adalah bertujuan untuk menampung lulusan MTs MHI itu sendiri, selain itu karena belum adanya lembaga pendidikan Islam setingkat Aliyah/SMA, sebagai pesiapan untuk alumni yang telah menamatkan sekolahnya di MTs MHI.

Pada tahun 1964-1967, Mudir 'Am MHI Guru Daud diangkat menjadi Ketua BKPA (Badan Koordinasi Penerangan Agama) Kuala Tungkal.[27] Karena sejak masa setelah kemerdekaan Departemen Agama memerlukan pimpinan yang berasal dari figur-figur ulama. Oleh karena itulah Beliau dipilih untuk menjadi ketuanya.

1. Selanjutnya pada tahun 1965, wilayah Kabupaten Batang Hari dipecah menjadi 2 bagian, yaitu Kabupaten Batang Hari dengan ibu kota Kenali Asam dan Kabupaten Tanjung Jabung dengan ibu kota Kuala Tungkal. Pemekaran wilayah ini ditetapkan berdasarkan Undang-undang Nomor 7 tahun 1965 tentang pembentukan Daerah Tingkat II Sarolangun Bangko dan Tingkat II Tanjung Jabung dengan mengubah Undang-undang Nomor 12 tahun 1965 tentang pembentukan daerah otonom kabupaten di provinsi Sumatera Tengah. Kemudian pada tanggal 10 Agustus 1965 diresmikan kabupaten Tanjung Jabung menjadi Daerah Tingkat II dengan motto ”Bakti Karya Bina Karta” dengan 4 kecamatan; kecamatan tungkal Ilir, Tungkal Ulu, Muara Sabak dan 1 kecamatan persiapan Nipah Panjang.[28] Dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1965 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II Sarolangun Bangko dan Daerah Tingkat II Tanjung Jabung dengan mengubah Undang-undang Nomor 12 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kabupaten di Propinsi Sumatera Tengah (Lembaran Negara Tahun 1965, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2755)

Kemudian karena telah beridirinya Institut Agama Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin (IAIN STS) Jambi pada tanggal 8 Sepetember 1967,[29] maka kemudian pada akhir tahun 1967 YPHI mendirikan SP IAIN (Sekolah Persiapan Institut Agama Islam Negeri),[30] dengan Direktur KH. Fuad Damhuzi, BA. Adapun tenaga pengajar yang berasal dari pejabat-pejabat pemerintah seperti Drs. Radja'i (Bupati Tanjung Jabung 1967-1968), Kapolres, Kejaksaan, dan lain-lain.[31]

SP IAIN ini pertama kali didirikan di tingkat pusat pada tanggal 5 Oktober 1962 bertepatan tanggal 6 Jumadilawal 1382 H yang diresmikan oleh Menteri Agama Republik Indonesia, yang sebagai Inspektur Inspektoratnya dijabat oleh Dr. H.A. Mukti Ali) Sistem Pendidikan SP. IAIN menggunakan jenjang tingkat I dan tingkat II dengan lama pendidikan 3 tahun. SP. IAIN menerima siswa yang merupakan tamatan PGA 4 tahun atau siswa pindahan dari SMA kelas II, melalui ujian seleksi. Pada masa awal pimpinan SP. IAIN berbentuk Direktorium. Sekolah ini memberikan pendidikan yang lebih khusus terlebih lagi sekolah yang mempersiapkan calon-calon yang ingin melanjutkan pendidikan ke IAIN, dan merupakan salah satu dari SMTA yang ada di Jambi.

Berdasarkan SK 3 Menteri (Dikbud, Depag dan Dalam Negeri), lulusan SP. IAIN dapat melanjutkan ke Perguruan Tinggi baik Negeri maupun Swasta, asal jurusannya sesuai. Kurikulum yang dipergunakan adalah paduan antara kurikulum Aliyah dan SMA.[32]

Kurikulum yang dipakai mengalami beberapa kali perubahan: Kurikulum DEPAG bobot materi 60 % Agama dan 40 % Umum. Kurikulum SK. 3 Menteri (Jurusan Agama, IPA dan Sosial) Kurikulum SK. 3 Menteri yang disejajarkan dengan kurikulum SMA Dikbud (Jurusan Biologi,Fisika, Sosial dan Agama) Kurikulum SK. 3 Menteri yang disempurnakan, setara dengan SMU ditambah muatan lokal dalam bidang Studi Agama dan Bahasa Arab, dengan jurusan IPA, IPS dan Bahasa.[33] Dengan adanya Peraturan menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang mengharuskan semua lembaga pendidikan tinggi di tingkat kecamatan berpindah ke ibukota provinsi telah mempengaruhi masa depan sekolah persiapan yang berafiliasi dengan Perguruan Tinggi seperti IAIN, maka sekolah ini terkena peraturan untuk ditutup pada satu tahun kemudian (1968).[34] Setelah itu pada tahun 1968 ini juga, dibangunlah TK (Taman Kanak-kanak) namun hanya mampu bertahan hingga tahun 1970 (selama 2 tahun)[35] yang dikepalai oleh Dahlinar.[36]

5. PERIODE V (1970-1980)

Periode ini disebut dengan periode perkembangan pesat.[37] Ternyata pada tahun 1970 setelah mengalami berbagai macam hambatan dan rintangan untuk mendirikan sekolah, maka YPHI-pun mendirikan SD (Sekolah Dasar). Pada periode inilah (1970-1976) MHI berkembang pesat. Dari 16 cabang yang ada di desa-desa, kemudian bertambah menjadi 42 cabang.[38]

Pertumbuhan pendidikan pada tahun 1971 dan seterusnya di daerah Kuala Tungkal Kabupaten Tanjung Jabung sudah mulai banyak, dan pada umumnya pendidikan madrasah, baik di kota Kuala Tungkal itu sendiri maupun di desa-desa, dan banyak pula yang mancabangkan diri kepada MHI atas perakarsa Ustaz Abdul Halim Kasim, SH selaku guru pada waktu itu nama tersebut diganti menjadi PHI.

Sejak itulah yang semula sekolah yang bemama MHI (Madrasah al-Hidayah al-Islamiyyah) yang kemudian besubah nama menjadi PHI (Perguruan al-Hidayah al-Islamiyyah) yang berkembang begitu pesat.

Adapun madrasah yang mencabangkan diri ke madrasah PHI hingga sekarang ini berjumlah 42 cabang yang terdiri dari madrasah-madrasah yang ada di kota maupun di desa Kuala Tungkal Tanjung Jabung sebagaimana dalam daftar berikut:[39]

Daftar Cabang-cabang Madrasah PHI Kuala Tungkal Kabupaten Tanjung Jabung.

N0

Nama Madrasah

Alamat

1

PP PHI Ka. Tungkal

Kota Ka. Tungkal

2

MHI Parit VII

Tungkal Satu

3

MHI Parit VIII

Tungkal Satu

4

MHI Parit IV

Tungkal Dua

5

MHI Parit II

Tungkal Tiga

6

MHI Parit Lapis

Tungkal Harapan

7

MHI Nurul Hidayah

Tungkal Harapan

8

MHI Nurul Islam

Tungkal Dua

9

MHI Parit I Darat

Tungkal Empat

10

MHI Parit Sungai Saren

Sungai Saren

11

MHI Parit IV

Sungai Saren

12

MHI Parit VIII

Beramitam Kanan

13

MHI Parit VII

Tanjung Senjulang

14

MHI Parit V

Tanjung Senjulang

15

MHI Parit Pancau

Tanjung Senjulang

16

MHI Parit Pudin

Parit Pudin

17

MHI Parit VI/Lapis

Parit Pudin

18

MHI Parit XI

Parit Pudin

19

MHI Parit Baru

Teluk Nilau

20

MHI Parit XX

Teluk Nilau Pasar

21

MHI Parit Gabis

Tungkal Lima

22

MHI Parit V

Teluk Nilau

23

MHI Parit Sungai Raya

Tungkal V

24

MHI Parit Satam

Tungkal V

25

MHI Parit H. Kahar

Tungkal V

26

MHI Pasar Serindit

Sungai Serindit

27

MHI Sungai Raya

Sungai Serindit

28

MHI Tanjung Mawar

Teluk Sialang

29

MHI Parit Panglung

Teluk Sialang

30

MHI Parit Deli

Parit Deli

31

MHI Parit X

Parit Deli

32

MHI Parit II

Pangkal Duri

33

MHI Parit IV

Pangkal Duri

34

MHI Parit Lapis

Pangkal Duri

35

MHI Sungai Dualap

Pangkal Duri

36

MHI Sungai Buluh

Mendahara Ilir

37

MHI Sungai Lokan

Nipah Panjang

38

MHI Kampung Baru

Tungkal V

39

MHI Parit H. Ya’kub

Teluk Sialang

40

MHI Parit X/Lapis

Senyerang

41

MHI Parit VI

Pangkal Duri

42

MHI Nurul Ihsan

Teluk Nilau

43

MHI Sungai Jering

Teluk Nilau

Kemudian pada tahun 1970, para pengurus mesjid dan masyarakat sekitarnya mengadakan musyawarah untuk melaksanakan pemugaran mesjid Agung serta memberi nama Mesjid Al-Istiqomah. Hasil dari musyawarah diajukan atau dibuat tembusan Surat Keputusan yang disampaikan kepada:[40]

1. Bapak Bupati KDH TK II Tanjung Jabung

2. Bapak Unsur Muspida TK II Tanjung Jabung

3. Bapak Ketua DPRD TK II Tanjung Jabung

4. Bapak Kepala Kantor Depag Tanjung Jabung

2. Bapak Camat/Camat Perwakilan Dalam Kabupaten Tanjung Jabung.

3. Bapak Lurah Dalam Kota Kuala Tungkal

Sehubungan dengan laporan yang diajukan maka dapatlah keputusan untuk pemugaran, maka setelah selesai pemugaran pada tahun 1970, namanya disebut Mesjid Al-Istiqomah mendapatkan tanggapan yang baik dari masyarakat. Hal ini dikarenakan banyaknya kaum muslimin yang berdatangan ke mesjid guna untuk beribadah, agar dapat berjalan dengan baik segala sesuatu yang diperlukan di mesjid tersebut dibentuklah pengurus-pengurus mesjid yang susunannya adalah sebagai berikut:[41]

Struktur Komposisi Personalia Pengurus Mesjid Al-Istiqomah RT. IV Kel Tungkal Ilir tahun 1970, yaitu: Pelindung: Bupati KDH TK II Kab. Tanjung Jabung dan Muspida, Ketua DPRD Kab. Tanjab dan Ketua Pengadilan Negeri Kabupaten Tanjung Jabung, Penasehat: Kepala Kantor Depag Tanjab, Ketua Majelis Ulama Tanjab, KH. M. Ardhi, KH. Kastalani Ali, H. Nanang. AR, H. Ramlie Saman, H. Makmur, H. Masdar Ajang, H. Musthafa, Pengurus/Pimpinan: Nadzir ’Am: KH. M. Arsyad, Nadzir I: KH. M. Ali Wahab, Nadzir II: H. Abdul Halim Kasim, SH, Nadzir III: H. M. Thahir Thaib, Sekretaris Umum: H. Fuad Damhuzi, BA, Sekretaris I: Ahmad Khudari, BA, Sekretaris II: M. Idrus. HB, Sekretaris III: Drs. M. Fauzi Mansur, Bendahara: H. Husin Noer, Wakil Bendahara: H. Ahmad Darsani, Seksi Bangunan: Raden Ahmad Legiran, M. Nurdin. S, H. Hasan Hamzah, H. Syafawi Said, H. Abdul Kawi, Sulaiman Ismail, BA, Seksi Dana: Ketua: Zainul Gaffar, Wakil Ketua: Nasiruddin Chaniago, BA, Anggota: M. Tamsir Busra, SH, H. Lintang, M. Zaini Moning, Seksi Kebersihan: Kurnia Ramlie, H. Mas’ud Rasyidi, Maksum, Conong, M. Yamin Masrani, Peringatan Hari Besar Islam: M. Yamin Hoesin, SH, H. S. Asfandi, Abdul Hamid Kurnain. Drs. Mahyuddin Arif, Kasyful Anwar, H. Abdullah Wahab, Seksi Dakwah: KH. M. Kasyful Anwar, KH. M. Ali Wahab, H. Kastalani Ali, Drs. Ahmad Arsyad Thaib, M. Jamil Gumri.

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka YPHI tidaklah tinggal diam berpangku tangan menghadapi persoalan yang ada, setelah sebelumnya SMAI dan SP IAIN ditutup, maka kepercayaan masyarakatpun sedikit berkurang terhadap MHI, karena YPHI selalu menciptakan ”produk gagal” untuk Sekolah Tingkat Menengah Atas. Yang pada akhirnya kurang diminati oleh masyarakat, karena dianggap gagal mendirikan sekolah tingkat lanjutan baru.

Untuk membangun jati diri yang selama ini telah dikenal masyarakt, dan untuk mempertegas kembali bahwa MHI mampu mendirikan sekolah tingkat lanjutan baru, maka YPHI berinisiatif dan beralternatif untuk kembali mendirikan sekolah lanjutan baru, yaitu Tingkatan Aliyah (MA) demi untuk menebarkan nama harum MHI bertujuan untuk menampung pelajar yang telah menamatkan di MTs MHI, yang mana masyarakat Kuala Tungkal yang ingin melanjutkan studinya ke Aliyah, maka haruslah melanjutkan di Kota Jambi. Setelah berdirinya MA ini, maka kepercayaan masyarakatpun kembali meningkat walaupun puluhan murid saja yang mengikuti pendidikan pada Tingkat Aliyah ini. Namun para guru tetap antusias dan bersemangat untuk tetap melanjutkan pembelajaran di MHI. Namun di tingkat bawah MHI terus merangkak naik ke atas.

Maka pada tanggal 28 Februari 1971 YPHI mendirikan MA (Madrasah Aliyah) PHI sesuai dengan lampiran 2 Kep. Dirjen Bimas Islam Nomor: Kep. /D/69/77 Pasal 2 ayat (3), dan Piagam Madrasah dan Depag Provinsi Jambi Nomor: 149/03-EI/Pd 185.[42]

Adapun tujuan didirikannya MA adalah untuk membantu pemerintah dalam mengadakan sarana pendidikan dalam mencerdaskan kehidapan bangsa, baik di bidang ilmu pengetahuan Islam maupun ilmu pengetahauan umum. Hal tersebut sesuai dengan pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasal dalam anggaran pendidikannya baik di Tingkat Menengah Pertama ataupun Tingkat Menengah Atas di PHI agar masyarakat dapat meneruskan pendidikanya baik di Perguruan Tinggi Islam Negeri atau Swasta (PTIN/S) maupun Perguruan Tinggi Umum Negeri atau Swasta (PTUN/S).

Meski jumlah santri hingga priode ini peminat kian bertambah dan kegiatan belajar mengajar terus meningkat, namun kala itu belum ada santri yang menetap di asrama, karena memang belum dibangunnya asrama. Yang bertindak sebagai mudir atau kepala sekolah pada waktu itu sepenuhnya masih dijabat oleh Guru Daud. Pada awal mula berdirinya MA PHI, tidaklah banyak orang yang yang melanjutkan sekolah ke tingkatan ini. Karena sedikitnya pelajar putera-puteri yang melanjutkan ke Tingkatan Aliyah ini, maka tidak ada pemisahan antara santri laki-laki dan santri perempuan dikarenakan sedikitnya jumlah murid.

MA PHI terbentuk setelah dibukanya Tingkat Ibtidaiyah dan Tsanawiyah yang berstatus swasta dan dikelola oleh beberapa orang tokoh yang sekaligus sebagai pemimpin terhadap perkembangan pendidikan di madrasah.

Kemudian pada tahun 1972, YPHI mendirikan asrama putra (sekarang MI Putri). Dengan adanya asrama inilah, maka YPHI dinyatakan mempunyai pesantren yang di beri nama Pondok Pesantren Hidayatul Islamiyah (PP PHI). Karena lembaga pendidikan dapat disebut pondok pesantren apabila di dalamnya terdapat lima unsur, yaitu adanya 1) kyai, 2) santri, 3) pengajian, 4) pondok/asrama, 5) masjid dan segala aktivitas pendidikan keagamaan dan kemasyarakatan.

Pada tahun ini juga (1972), YPHI mencoba membuka SKKP (Sekolah Keterampilan Keluarga Pertama), namun sekolah ini hanya mampu beroperasi selama 3 tahun (1972-1975). Sekolah inipun pernah meluluskan siswanya 100% dalam mengikuti ujian negara,[43] yang dikepalai oleh Hj. Ema dan Hj. Zainidar.[44] Karena sesuai dengan peraturan yang ada, bahwa di tingkat kabupaten tidak boleh didirikan SKKP, hingga kemudian ditutup. Lagi-lagi YPHI menelorkan ”produk gagal”. SKKP adalah jenis pendidikan kejuruan ini diintegrasikan ke dalam SMP swasta di Jambi.

Walaupun terus mengalami kegagalan dalam mendirikan sekolah, tetapi YPHI tidak ”patah arang lemah gemulai” dengan kegagalan yang tejadi. Namun hal tersebut malah menambah motovasi bagi pengurus YPHI untuk melanjutkan pendidikan untuk Tingkat Aliyah yang sedang berjalan.

Pada periode ini tepatnya pada tahun 1973, Madrasah Ibtidaiyah PHI mengikuti Ujian Persamaan Madrasah Ibtidaiyah Negeri. Hal ini dilakukan agar bias bersaing dengan Madrasah Ibtidaiyah Negeri, selain itu juga untuk mendapatkan ijazah negeri dari pemerintah.[45]

Kemudian pada tahun 1974, YPHI ditawar oleh pemerintah untuk menegerikan MA (MAs) PHI, yang dengan demikian statusnya dapat berubah menjadi MAN Kuala Tungkal, yang tentunya pemerintah akan banyak mengalirkan dana untuk pembangunan dan kemajuan madrasah ke depan. Semua guru-guru menyetujui untuk menegerikan MA PHI yang swasta menjadi MAN. Akan tetap berbeda dengan KH. Abdul Halim Kasim (Mudir PP PHI sekarang), salah seorang guru PHI yang berpikiran maju yang merupakan “jebolan” atau telah menamatkan pendidikannya di UII (Universitas Islam Indonesia) Yogyakarta yang telah banyak memperakarsau berdirinya jenjang pendidikan di PP PHI. Adapun alasan Beliau untuk tetap mempertahankan agar MA PHI untuk tetap menjadi swasta bukan negeri, yaitu:[46]

Pertama, jika MA PHI dinegerikan, maka akan banyaklah dimasukkan pelajaran-pelajaran umum sehinggga kemungkinan “kitab kuning” akan kalah pamor bila dibandingkan dengan “kitab putih”, sehingga akan kurang dibaca atau tidak dibaca sama sekali. Hal ini akan berakibat pada masa-masa selanjutnya (sekarang) akan terlalu banyak dari murid-murid yang tidak akan dapat membaca dan memahami “kitab gundul”. Kedua, yayasan akan diganti oleh pemerintah, yang berarti bahwa semula MA PHI ini dikelola oleh yayasan sekolah yang bernama YPHI akan diambil alih oleh pemerintah, yang berakibat dibubarkannya YPHI. Ketiga, guru-guru yang berpendidikan rendah (yang tidak mengantongi ijazah D II sekurang-kurangnya dan S1) akan “didepak keluar” oleh Depag (Departemen Agama) dan akan digantikan oleh pegawai-pegawai negeri dari pemerintah yang telah mendapatkan sertifikat PNS (Pegawai Negeri Sipil), yang mana hal ini akan berdampak terhadap para guru yang tidak pernah melanjutkan pendidikannya ke jenjang perguruan tinggi. Sebagaimana dimaklumi, dari sekian banyak guru-guru yang pernah mengajar di PP PHI ini bukanlah PNS dari Depag dan Pemda. Keempat, dengan dinegerikannya MA PHI maka akan berdampak terhadap jati diri madrasah itu sendiri, berarti akan kehilangan jati diri, yang mana sejak berdirinya, bertekad untuk mendidik para pelajar agar memiliki kemampuan dalam bidang keagamaan melalui kitab-kitab klasik.

Semua alasan tersebut adalah untuk membendung anggapan masyarakat nantinya mengenai MA PHI, yang mana lembaga pendidikan ini tidak mampu lagi mempertahankan jatidirinya sehingga minat masyarakat yang ingin melanjutkan pendidikannya ke Tingkat Menengah Atas untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ala pondok pesantren akan berkurang dan menjadikan kualitas dan kuantitas di bidang pengkajian agama Islam akan berkurang tentunya.

Untuk meningkatkan kualitas madrasah, apalagi setelah dikeluarkannya Surat Keputusan (SKB) 3 menteri, antara Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1975, Tentang Peningkatan Mutu pendidikan Pada Madrasah. Madrasah dalam hal ini memiliki jenjang atau tingkatan, yaitu: Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah yang masing-masing sejajar dengan SD, SMP dan SMA. Sesuai dengan anjuran pemerintah itu, maka YPHI telah melaksanakan peraturan itu terlebih dahulu sebelum munculnya peraturan tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa YPHI telah memprediksikan dan merealisasikan mengenai persoalan perkembangan pendidikan Islam itu sendiri, akan tetapi dilakukan secara bertahap, mulai dengan mendirikan MI, MTs dan MA.

Dengan adanya SKB 3 Menteri tersebut, berarti beban yang dipikul YPHI semakin berat. Hal ini dikarenakan, disatu pihak ia dituntut untuk memperbaiki kualitas pendidikan umum sehingga setaraf dengan standar yang berlaku di sekolah umum, dilain pihak harus menjaga agar mutu pendidikan agama tetap baik sebagai ciri khasnya.

Bagi madrasah yang menggunakan kurikulum SKB 3 Menteri terdapat beberapa kesulitan antara lain kurangnya tenaga guru yang memegang fak-fak umum, kurangnya buku-buku pegangan yang harus disesuaikan dengan tuntutan SKB 3 Menteri. Kurangnya waktu untuk memberikan semua fak-fak yang telah ditentukan. Selain itu pula, mengalami kesulitan dalam mencari pangajar fak-fak umum.

Adapun untuk kitab-kitab salafiyah yang memang sudah dipelajari sejak lama itu tidak mengalami kesulitan dalam mendapatkan buku pegangan untuk belajar. Mengenai hal tersebut, YPHI menerima sebagian saja dari fak-fak umum. Hal ini terjadi di Tingkatan Aliyah, karena pada tingkatan di bawahnya telah terlebih dahulu mengalami perubahan sesuai dengan SKB 3 Menteri tersebut.

Pada tanggal 11 Agustus 1976 bertepatan dengan malam nishfu sya'ban, pantas jika disebut dengan yaumul hazn (hari penuh dengan kesedihan), karena Mudir ’Am/pendiri pertama MHI, Guru Daud (Allah yarhamhu) meninggal dunia[47] menuju kehadirat Allah akibat serangan darah tinggi berumur ±68 tahun setelah 41 tahun (1935-1976) memimpin MHI, waktu yang cukup lama, terlalu banyak jasa yang beliau sumbangkan dan lebih dari separuh umur dihabiskan untuk mengabdi kepada MHI. Kuala Tungkal begitu berduka, merasa kehilangan Beliau. Betapa tidak, Beliau adalah seorang figur ulama kharismatik yang masyhur dengan keberaniannya dalam menegakkan kalimatullah, mempertahankan kebenaran, apalagi yang menyangkut urusan agama. Beliau selalu disenangi dan disegani baik oleh kalangan pemerintah maupun rakyat. Setelah Beliau wafat, PP PHI (MHI) dipimpin oleh beberapa ulama. Dengan keseharian Beliau yang sangatlah sederhana dan tawadu’ serta rendah hati dalam menangani suatu masalah, bahkan itu bisa terlihat ketika Beliau mengambil air wudhu' dengan waktu tidak sebentar karena kehati-hatian. Beliau juga sangat disiplin mendidik, murid Beliau juga merasa benar-benar kehilangan Beliau. Semoga Beliau diterima di sisi Allah 'Azza wa Jalla. Beliau meninggalkan seorang istri dan 6 orang anak serta 3 orang cucu.

Setelah sepeninggalan Beliau, maka pada tahun 1976-1980 perkembangan PP PHI pun agak mandeg dan hanya mengelola sekolah yang ada di tingkat pusat, karena pada masa inilah beberapa kali terjadi perubahan kepemimpinan di tubuh MHI sebagai Mudir ’am MTs maupun MA.[48]

Maka untuk kelanjutan kepemimpinan dan pendidikan serta pengajaran Guru Daud (1961-1976) di MTs PHI, atas dasar pertimbangan dan hasil musyawarah para majlis guru, maka diangkat dan ditetapkan KH. Saleh Ramli (1976; selama 3 bulan) sebagai kepalanya, dan sesudah Beliau wafat diteruskan KH. Gumri Abdullah (1976-1979), KH. M. Subli (1979-1980), kemudian yang menjabat kepala MTs PHI adalah KH. M. Ali Wahab (1980-2007), yang kemudian digantikan oleh menantu Beliau (KH. M. Ali Wahab) KH. Abdul Hamid Kurnain (2007 hingga sekarang).

Adapun untuk kelanjutan pendidikan dan pengajaran untuk memegang tampuk estapet kepemimpinan (Mudir ’am) PP PHI baru untuk tingkatan MA PHI. Atas dasar pertimbangan dan hasil musyawarah para majlis guru, maka diangkat dan ditetapkanlah KH. Saleh Ramli (1976; ayah Prof. DR. Syukri Saleh, MA), KH. M. Ardhi (1976-1978), sebagai Mudir ’Am MA PHI di samping itu Beliau ditunjuk/menjabat sebagai Nazir ’Am Mesjid Agung Al-Istiqomah dan sebagai Wakil Ketua Yayasan Kemudian dengan pernyataan kesehatan yang tidak mengizinkan, maka KH. M. Ardhi mengundurkan diri/meletakkan jabatan dari tugas jabatan. Tidak lama Beliau pulang ke rahmatullah. Kemudian tampuk kepemimpinan dilanjutkan oleh sebagai kepalanya, dan sesudah Beliau diteruskan KH. Subli/Nenek Banjar (1978-1979; saudara H. Abdul Wahab; paman KH. M. Ali Wahab), namun Beliau ini menjabat sebagai kepala MA PHI tidak berapa lama, lebih kurang dalam waktu satu tahun. Kemudian pada tahun 1979, yang menjabat kepala MA PHI adalah KH. Gumri Abdullah (1979-1997) yang mana Beliau ini sebelumnya menjabat kepala MTs PHI (1978-1979) dan guru MTs PHI pada sore hari yang pernah mengajar yang dipinta langsung oleh Guru Daud selama 8 tahun (1961-1969) dan menjadi Mudir Madrasah Darul Ihsan Tingkat Ibtidaiyah dan Tsanawiyah[49] yang berlokasi di jalan Siswa/Ki Hajar Dewantara Kuala Tungkal yang dekat dengan tempat tinggal zuriyatnya sekarang (hanya tinggal Madrasah Ibtidaiyah saja yang aktif dikepalai oleh H. Jamil Gumri, S.Ag anak Beliau sendiri; Camat Tungkal Ilir).

Pada tahun ajaran 1979/1980, santri-santri PP PHI mengalami peningkatan yang cukup tajam khususnya pada tingkatan Madrasah Ibtidaiyah, muridnya berjumlah 550 orang, gurunya sebanyak 6 (enam) orang. Berarti rata-rata seorang guru mengajar 91-92 orang anak. Oleh karena itu, masalah kekurangan guru inilah yang terjadi di PP PHI. Demikianlah keadaan guru dan murid pada umumnya, dimana masalah inilah yang menjadi pokok persoalan. Yang mana muridnya banyak, sedangkan jumlah gurunya sedikit. [50]

Berikut ini enam daftar jumlah murid dan guru pada Madrasah Ibtidaiyah dalam provinsi Jambi tahun ajaran 1979/1980.[51]

No

Nama Madrasah

Murid

Guru

Lokasi

Lk

Pr

Jlh

Lk

Pr

Jlh

1

Al-As’ad

250

357

607

19

4

23

Kota Jambi

2

MHI

250

300

550

6

6

Ka. Tungkal

3

Nurul Iman

454

454

10

10

Kota Jambi

4

Darul Ihsan

175

175

350

4

2

6

Ka. Tungkal

5

Nurul Islam

108

85

193

8

2

10

Kota Jambi

6

Al-Jauharain

90

81

171

18

18

Kota Jambi

Dan pada tingkatan MTs, juga pada tahun ajaran 1979/1980, MHI-pun mengalami peningkatan yang cukup tajam, dnegan jumlah murid putra 79 orang dengan jumlah guru 14 orang dan murid putri 80 orang dengan jumlah guru 15 orang. Mayoritas guru-guru tersebut adalah guru-guru yang mengajar secara bergantian pada tingkan Mts dan MA.

Berikut ini enam daftar jumlah murid dan guru pada Madrasah Tsanawiyah dalam provinsi Jambi tahun ajaran 1979/1980. [52]

No

Nama Madrasah

Murid

Guru

Lokasi

Lk

Pr

Jlh

Lk

Pr

Jlh

1

MHI Pa/Pi

79

80

159

14/15

14/15

Ka. Tungkal

2

Al-As’ad

143

143

17

17

Kota Jambi

3

Sa’adatuddarain

72

72

7

7

Kota Jambi

4

Al-Khairiyah

34

31

65

16

1

17

Kota Jambi

5

Nurul Falah

31

32

63

12

12

Ka. Tungkal

6

Darul Ihsan

20

15

35

4

2

6

Ka. Tungkal

Pada tahun ini pula (1979) KH. M. Ali Wahab (alumni MHI) mendirikan cabang Thoriqah Qodiriyah wa Naqsyabandiyah dan Majlis Ta'lim Al-Hidayah Kuala Tungkal.[53] Kemudian beliau mengundang Syeikh Muhammad Nawawi yang bermukim di Berjan Porworejo Jawa Tengah untuk melakukan bai’at Thoriqah Qodiriyah wa Naqsyabandiyah. Di antara ulama Kuala Tungkal yang ikut pada waktu itu adalah KH. M. Ali Abdul sendiri, KH. M. Subli bin H. Ismail dan Tuan Guru H. Ahmad Bukhari[54] dan lain-lain. Adapun penamaan majlis ta’lim itu dengan mengambil nama dari Perguruan Hidayatul Islamiyah itu sendiri, yang mana murid-murid Beliau adalah guru-guru dari kalangan PHI, masyarakat sendiri dari kalangan tua dan muda serta dari dalam dan luar negeri.

Adapun pelajaran dipengajian ini setelah diadakannya baiat hanyalah terbatas pada zikir-zikir/awrad/amalan-amalan yang dilakukan oleh para pengkutnya. Dahulunya perkumpulan ini dipandang sebelah mata oleh kalangan masyarakat Kuala Tungkal. Walaupn demikian, Thoriqah Qodiriyah wa Naqsyabandiyah ini terus saja berjalan walaupun hanya dengan mengajarkan zikir-zikir saja. Untuk lebih memantapkan eksistensi thoriqah ini, maka muncullah sebuah usulan dari pengikut thoriqah agar kiranya di dalam thoriqah ini tidak hanya mengajarkan zikir-zikir semata, tetapi harus dibarengi dengan pengajian-pengajian melalui kitab-kitab gundul dan Melayu mulai dari kajian yang rendah hingga, mulai dari kitab yang tipis hingga tebal berjilid.[55]

Dengan berdirinya Thoriqah Qodiriyah wa Naqsyabandiyah, maka pengikut yang telah dibai’at ini biasanya mengdakan haul hari wafatnya Syeikh Abdul Qodir al-Jailani yang dilaksanakan pada setiap tanggal 11 Rabiuts tsani di rumah Beliau bersama masyarakat yang mengikuti pengjian.

Di samping mengajarkan kitab-kitab khusus kepada para santrinya, juga mengadakan pengajian mingguan untuk umum, dimana yang dibahas adalah kitab-kitab yang relatif sederhana. Alhamdulillah hingga sekarang pengajian yang dibuka oleh Beliau masih tetap aktif.


[1] Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 9.

[2] Hj. Afifah H. Daud, Wawancara.

[3] Lihat Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 9.

[4] Lihat www.Google.com, Bahron Anshori, Sejarah Khilafah ‘Alaminhajin Nubuwwah: Musyawarah Ahlul Halli Wal Aqdi I, http/blog/spot,html. Lihat www.Google.com, Indra J. Piliang, Sebagian Besar Caleg Terindikasi Polbus, http/blog/spot,html. Sumber informasi lain menyebutkan tanggal 11-15 Maret 1953.

[5] Lihat www.Google.com, Indra J. Piliang, Sebagian Besar Caleg Terindikasi Polbus, http/blog/spot,html.

[6] MA PHI (2001). Nafasah al-Khawâtir, MA PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 53.

[7] www.Google.com, Ahmad Fathul Bari, Sejarah Pemikiran Islam: di Indonesia Prawoto Mangkusasmito, http/blog/spot,html.

[8] Museum Negeri Jambi, Dokumentasi.

[9] KH. M. Arsyad, Dokumentasi Fhoto.

[10] Museum Negeri Jambi, Dokumentasi.

[11] KH. M. Arsyad, Dokumentasi Fhoto dan Wawancara.

[12] Hj. Afifah H. Daud dan KH. M. Arsyad, Dokumentasi Fhoto dan Wawancara. MA PHI (2001). MA PHI (2003). Al-Anwar asy-Syâthi’ah, MA PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 66-67.

[13] MA PHI (2003). Al-Anwar asy-Syâthi’ah, MA PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 72.

[14] Lembaga Adat Kabupaten Tanjung Jabung Barat (2003). Buku Panduan Pengukuhan dan Pemberian Gelar Adat Di Bumi Serengkuh Dayung Serentak Ke Tujuan: Kuala Tungkal. h. 11.

[15] Lembaga Adat Kabupaten Tanjung Jabung Barat (2003). Buku Panduan Pengukuhan dan Pemberian Gelar Adat Di Bumi Serengkuh Dayung Serentak Ke Tujuan: Kuala Tungkal. h. 11.

[16] MA PHI (2001). Nafasah al-Khawâtir, MA PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 72.

[17] Lihat MA PHI (2001). Nafasah al-Khawâtir, MA PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 52.

[18] MA PHI (2001). Nafasah al-Khawâtir, MA PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 43.

[19] Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 9.

[20] KH. M. Arsyad, Dokumentasi

[21] Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 10.

[22] Lihat Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 10.

[23] MA PHI (2001). Nafasah al-Khawâtir, MA PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 43.

[24] MA PHI (2001). Nafasah al-Khawâtir, MA PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 53.

[25] Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 10.

[26] Wawancara, Abdul Halim Kasim.

[27] MA PHI (2001). Nafasah al-Khawâtir, MA PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 43

[28] Lembaga Adat Kabupaten Tanjung Jabung Barat (2003). Buku Panduan Pengukuhan dan Pemberian Gelar Adat Di Bumi Serengkuh Dayung Serentak Ke Tujuan: Kuala Tungkal. h. 12.

[29] Anonim (2007), Prospektus 200-72008 IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi: Paradigma Baru Menuju Universitas Islam Negeri. IAIN STS Jambi: Jambi. h. 10.

[30] Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 10.

[31] Hj. Afifah H. Daud, Wawancara.

[32] Hasbullah (1996). Kapita Selekta Pendidikan Islam. RajaGRafindo Persada: Jakarta. h. 74.

[35] MA PHI (2003). Al-Anwar asy-Syâthi’ah, MA PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 74.

[36] Hj. Afifah H. Daud, Wawancara.

[37] Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 10.

[38] Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 11.

[39] Hariyanti (1992). Pengaruh Kwalitas Guru Terhadap Prestasi Belajar Murid Bidang Studi Pendidikan Agama Di Madrasah Aliyah Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. IAIN STS Jambi: Jambi. h. 17. Sugeng Edy Saputra (1993). Tinjauan Pelaksanaan Administrasi Pendidikan Madrasah Aliyah Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. IAIN STS Jambi: Jambi. h. 23.

[40] Zubaidah (1991). Mesjid Al-Istiqomah Sebagai Lembaga Pendidikan Agama Islam Bagi Masyarakat Kelurahan Tungkal III Kecamatan Tungkal Ilir Kabupaten Tanjung Jabung. IAIN STS Jambi: Jambi. 32-33.

[41] Zubaidah (1991). Mesjid Al-Istiqomah Sebagai Lembaga Pendidikan Agama Islam Bagi Masyarakat Kelurahan Tungkal III Kecamatan Tungkal Ilir Kabupaten Tanjung Jabung. IAIN STS Jambi: Jambi. 32-34.

[42] MA PHI, Dokumentasi.

[43] Abdul Halim Kasim (1997). Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Yayasan PP PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 11.

[44] KH. Abdul Halim Kasim, Wawancara.

[45] KH. Hasanuddin, Dokumentasi Foto.

[46] KH. Abdul Halim Kasim, Wawancara.

[47] MA PHI (2001). Nafasah al-Khawâtir, MA PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 43.

[48] MA PHI (2003). Al-Anwar asy-Syâthi’ah, MA PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 74.

[49] MA PHI (2001). Nafasah al-Khawâtir, MA PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 46.

[50] Team Peneliti IAIN STS Jambi (1979). Laporan Hasil Penelitian Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam Jambi. IAIN STS Jambi: Jambi. h. 12.

[51] Team Peneliti IAIN STS Jambi (1979). Laporan Hasil Penelitian Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam Jambi. IAIN STS Jambi: Jambi. h. 36.

[52] Team Peneliti IAIN STS Jambi (1979). Laporan Hasil Penelitian Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam Jambi. IAIN STS Jambi: Jambi. h. 37.

[53] MA PHI (2001). Nafasah al-Khawâtir, MA PHI Kuala Tungkal: Kuala Tungkal. h. 53.

[54] Wawancara, KH. Saman Awang.

[55] Wawancara, KH. Saman Awang.