.

.
.

Minggu, 21 Maret 2010

SEJARAH PHI KUALA TUNGKAL (BAB II)

BAB II

SEJARAH SINGKAT

PERKEMBANGAN PONDOK PESANTREN

A. DI INDONESIA

Disini akan diceritakan terlebih dulu sejarah pendidikan Indonesia secara singkat dan umum, tidak ada tempat khusus untuk menguraikannya dalam buku ini, hanya sebagai pengantar saja.

Sebagaimana tercatat, bahwa pondok pesantren adalah bentuk lembaga pendidikan pribumi tertua di Indonesia. Telah kita ketahui, bahwa agama Islam masuk ke Indonesia melalui pedagang dari India dan Arab yang mengajarkan agama Islam kepada masyarakat Indonesia pada kesempatan apapun. Mereka pada umumnya adalah para pedagang dan perantau yang bersikap ramah, ulet bekerja dan sederhana. Mereka datang sebagai golongan minoritas yang tidak bersenjata. Karena agama Islam adalah agama yang sangat mudah dan sesuai dengan bangsa Indonesia, maka agama Islampum dapat diterima dan mudah berkembang.

Pondok pesantren, jika disandingkan dengan lembaga pendidikan yang pernah muncul di Indonesia, merupakan sistem pendidikan tertua saat ini dan dianggap sebagai produk budaya Indonesia yang indigenous. Pendidikan ini semula merupakan pendidikan agama Islam dimulai sejak munculnya masyarakat Islam di Nusantara pada abad ke-13. Beberapa abad kemudian pendidikan ini semakin teratur dengan munculnya tempat-tempat pengajian (ngon ngaji). Bentuk ini kemudian berkembang dengan pendirian tempat-tempat bagi para pelajar (santri), yang kemudian disebut pesantren. Meskipun bentuknya masih sangat sederhana, pada waktu itu pendidikan pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang terstruktur, sehingga pendidikan ini dianggap sangat bergengsi. Di lembaga inilah kaum muslim Indonesia mendalami doktrin dasar Islam, khususnya menyangkut praktek kehidupan beragama.

Sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam tradisional yang telah berurat akar di negeri ini, pesantren telah diakui memilih pengaruh tersendiri dalam kehidupan bermasyarakat. Pada permulaan perkembangan agama Islam, yaitu sekitar abad ke-14 pondok pesantren dimulai dari pulau Jawa, dikarenakan para Wali Songo mengajarakan ajaran Islam di pulau Jawa dan juga di pulau Sumatera.

Pondok adalah tempat menginap para santri. Konon menurut riwayat, yang mula-mula mengadakannya adalah Syeikh Maulana Malik Ibrahim, salah seorang Wali Songo yang berhasil mencetak kader mubaligh selama 20 tahun yang di gembleng dengan pendidikan pesantrennya.

Sebagai lembaga pendidikan berbasis agama (educational institution-based religion), pesantren pada mulanya merupakan pusat penggemblengan nilai-nilai dan penyiaran agama Islam. Namun dalam perkembangannya, lembaga ini semakin memperlebar wilayah garapannya yang tidak melulu mengakselerasikan mobilitas vertikal (dengan penjejalan materi-materi keagamaan), tetapi juga mobilitas horizontal (kesadaran sosial). Pesantren kini tidak lagi berkutat pada kurikulum yang berbasis keagamaan (religion-based curriculum) dan cendrung melangit, tetapi juga menyentuh persoalan kekinian masyarakat (society-based curriculum). Dengan demikian, pesantren tidak bisa lagi didakwa semata-mata sebagai lembaga keagamaan murni, tetapi juga (seharusnya) menjadi lembaga sosial yang hidup yang terus merespon “carut-marut” persoalan masyarakat di sekitarnya.

Dalam perkembangannya, untuk lebih memperdalam ilmu agama, telah mendorong tumbuhnya pesantren yang merupakan tempat untuk melanjutkan belajar agama. Maka berduyun-duyunlah orang yang akan belajar agama, sehingga di situlah tempat berdiamnya guru, yang kemudian mendirikan tempat belajar agama yang disebut dengan pesantren yaitu tempat murid atau santri belajar agama Islam.

Pesantren pada umumnya sering juga disebut dengan pendidikan Islam tradisional dimana seluruh santrinya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang kiyai. Asrama santri tersebut berada di lingkungan komplek pesantren, yang terdiri dari rumah tinggal kiyai, mesjid, ruang untuk belajar, mengaji, dan kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya.

Dengan sistem yang dinamakan pesantren, proses internalisasi agama Islam kepada santri berjalan penuh. Dalam pesantren, dengan pimpinan dan keteladanan para kiyai, ustaz dan pengelolaan yang khas, tercipta suatu komunikasi tersendiri, yang di dalamnya terdapat semua aspek kehidupan mulai dari pendidikan, ekonomi, budaya dan organisasi.

Pesantren yang memposisikan dirinya sebagai pendidikan berbasis agama semenjak dahulu merasa “tidak miskin”, hanya karena tidak diperhatikan oleh negara, tidak dibantu oleh negara. Bahkan dengan itu, pesantren semakin besar oleh gotong royong masyarakat sekitarnya sebagaimana pesantren juga membalas budi kepada masyarakat dengan caranya sendiri agar mereka bisa mengenyam pendidikan dan meningkatkan kualitas hidup mereka. Dengan fenomena ini, pesantren sudah mempunyai segmen masyarakat peminat pendidikan alternatif sendiri, sehingga membuatnya tidak butuh dicampuri apalagi dirubah orientasinya oleh pihak lain.

Pada era otonomi daerah sekarang ini, keberadaan pesantren kembali menemukan momentum relevansinya yang cukup besar untuk memainkan kiprahnya sebagai elemen penting dalam proses transformasi nilai-nilai yang mesti dilakukan pesantren secara sederhana dapat dibingkai dalam strategi menegakkan amar ma'ruf nahi mungkar. Namun demikian secara paradigmatik tentang konsep amar ma'ruf nahi mungkar setelah sebelumnya dilakukan reinterprestasi dan kontekstualisasi. Agenda ini menjadi penting, karena selain pesantren dianggap banyak kalangan sebagai lembaga pendidikan yang transformatif melakukan perubahan dan pembangunan sosial di tengah masyarakat.

Terlebih lagi, otonomi mengandalkan kemandirian tiap-tiap daerah dalam mengatur rumah tangga daerahnya sendiri berdasarkan kemampuan swadaya daerah tersebut tanpa adanya campur tangan pemerintah pusat yang cukup besar. Keberadaan pesantren menjadi partner yang ideal bagi instutusi pemerintah untuk bersama-sama meningkatkan mutu pendidikan yang ada di daerah sebagai basis bagi pelaksanaan trsansformasi sosial melalui penyediaan sumber daya manusia yang qualified dan berakhlak karimah.

Selain itu, era pesantren abad ini ditandai dengan semakin mesranya hubungan antara satu pesantren di satu pihak dan pemerintah di pihak lain. Ini misalnya dibuktikan dengan adanya kesediaan pemerintah untuk menyediakan alokasi dana pembangunan pesantren di samping memberi bantuan tenaga administratif dalam pengembangan sistem pendidikan pesantren. Kemesraan ini memang tidak selalu bermakna positif, karena diam-diam pemerintah bergelagat memamfaatkan pesantren terhadap dirinya. Tidak saja ”kemesraan” hubungan dengan negara, pesantren abad ini mulai membangun hubungan simbiotik mutualistik dengan masyarakat sekitamya.


B. DI JAMBI

Jambi adalah salah satu daerah yang berpegang teguh terhadap ajaran Islam, tanpa terkecuali Kuala Tungkal. Maka banyaklah muncul pesantren-pesantren yang didirikan oleh ulama bersama masyarakat. Dengan demikian dapatlah kita ketahui bahwa permulaan abad ke-20, merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan madrasah hampir di seluruh Indonesia, dengan nama dan tingkatan yang bervariasi.

Lembaga pesantren semakin berkembang secara cepat dengan adanya sikap non-kooperatif ulama terhadap kebijakan “politik etis” pemerintah kolonial Belanda pada akhir abad ke-19. Kebijakan pemeritah kolonial ini dimaksudkan sebagai balasan jasa kepada rakyat Indonedia dengan memberikan pendidikan modern, termasuk budaya Barat. Namun pendidikan yang diberikan sangat terbatas, baik dari segi jumlah yang mendapat kesempatan mengikuti pendidikan maupun dari segi tingkat pendidikan yang diberikan.

Sikap non-kooperatif dan silent opposition para ulama itulah kemudian ditunjukkan dengan mendirikan pesantren di daerah-daerah yang jauh dari kota untuk menghindari intervensi pemerintah kolonial serta memberi kesempatan pada rakyat yang belum memperoleh pendidikan.

Pada zaman pemerintahan Belanda, pendidikan Islam di Indonesia pada umumnya dan di Jambi pada khususnya menjadi pihak yang menentang atau paling kurang ber-oposisi baik langsung maupun tidak langsung. Sebagaimana diketahui, pemerintah penjajah tersebut memojokkan dunia pesantren dan mengucilkannya pesantren dengan menganggapnya kecil.

Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, banyaknya umat Islam Indonesia yang belajar menimba ilmu-ilmu agama (nyantri) ke sumber aslinya, di Timur Tengah (Makkah al-Mukarramah dan Madinah al-Munawwarah), tak terkecuali banyak juga umat Islam Jambi yang menuntut ilmu disana, yang mana sebagian mereka ada yang tetap bermukim disana, dan sebagian mereka ada pula yang kembali ke tanah air, dan kembali lagi untuk tinggal di sana karena beberapa persoalan.

Mereka yang kembali ke tanah air itu pulang membawa orientasi baru pada manifestasi keilmuan di lingkungan pesantren, yaitu pendalaman ilmu fiqh secara mendalam dan membawa pikiran-pikiran baru dalam sistem pendidikan Islam, yang intinya; 1) mengembangkan sistem pengajaran dari pendekatan selama ini menjadi sistem klasikal, yang dikenal sistem madrasi, 2) memberikan pengetahuan umum dalam pendidikan Islam. Begitu pula di Jambi, bangkitlah sejumlah ulama tokoh Islam Jambi untuk mendirikan madrasah.

Ini terbukti, sampai sekarang masih terlihat bekasnya atau bahkan faktanya yang masih tegar, bahwa pesantren pada umumnya mengambil lokasi yang jauh terpencil menyeberang sungai atau setidaknya di daerah yang agak jauh dari pusat penjajahan di kota. Seperti di Seberang Kota Jambi, walaupun pada akhirnya sesuai dengan perkembangan zaman daerah itupun menjadi ramai pada saat ini. Juga bisa terlihat bukti lainnya, seperti mesjid-mesjid kuno.

Sejarah pendidikan Islam di Jambi sudah cukup lama adanya, mulai dari pondok pesantren yang bernota bene “pesantren tua” hingga “pesantren muda”, dari kiyai tua hingga kiyai muda.

Pondok pesantren di Jambi mulai tercatat keberadaan dan perkembangannya pada akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20. Bahwa saat inilah yang merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan madrasah hampir diseluruh Indonesia, termasuk di Jambi dengan nama dan tingkatan yang bervariasi. Namun madrasah-madrasah tersebut pada awal perkembangannya, masih bersifat diniyah semata-mata.

Pertumbuhan dan perkembangan dunia pendidikan di Jambi sangatlah kompleks tidak terlepas hubugan dengan sejarah masuknya Islam di Indonesia. Pendidikan Islam di Indonesia bermula ketika orang-orang yang masuk Islam ingin mengetahui lebih banyak isi ajaran agama yang baru dipeluknya, baik mengenai tata cara beribadah, baca al-Qur'an, dan megetahui Islam lebih luas dan mendalam. Mereka belajar di rumah, surau, langgar atau mesjid. Di tempat inilah orang-orag baru masuk Islam dan anak-anak mereka belajar membaca al-Qur'an dan ilmu-ilmu agama lainnya secara individual dan langsung.

Keberadaan pondok pesantren di Jambi sangat erat kaitannya dengan keberadan Langgar Putih yang banyak mempengaruhinya. Langgar tersebut berlokasi di kelurahan Ulu Gedong yang didirikan pada tahun 1868 oleh syeikh Khotib Mas’ud. Fungsi dari Langgar Putih ini dijadikan sebagai sarana pendidikan agama Islam. Setelah Beliau wafat pada tahun 1889, maka misi Beliau dilanjutkan oleh keponakannya sekaligus anak angkatnya; Syeikh Abdul Majid Jambi, yang mana Beliau menuntut ilmu ke Makkah al-Mukarramah seangkatan dengan Syeikh Ahmad Khatib ulama Minang Kabau.

Pada masa syeikh, di Langgar Putih ini mulai mengadakan pengajian kitab kuning di daerah kesulthanan Jambi dan berlangsung hingga tahun 1904 karena Beliau harus hijrah ke Makkah guna untuk menghindari penangkapan dari pihak Belanda.

Marilah kita simak ke belakang pada tahun 94 tahun silam (1915) dimana sarana pendidikan Islam, banyak madrasah yang tumbuh dan berkembang dengan jumlah yang cukup banyak, namun sangat disayangkan pada saat ini banyak di antara madrasah-madrasah tersebut tidak aktif lagi (tertinggal dengan sekolah yang bersistem modern) atau dengan kata lain “kalah saing” dengan sekolah-sekolah umum, seolah-olah keberadannya wujūduhu ka’adamihi (antara ada dan tiada). Sangat di sayangkan jika hal ini terjadi, apalagi keberadaannya dan antara “hidup segan mati tak mau”.

Ada banyak faktor penyebab hal tersebut, di antaranya adalah karena madrasah-madrasah tersebut masih bersistem sangat sederhana dan tidak banyak memasukkan mata pelajaran umum sebagai bidang studinya. Padahal kesemuanya itu merupakan salah satu tuntunan zaman dalam dunia pendidikan. Faktor lain mugkin karena kekonsistenan pendiri/pengurus madrasah terhadap kurikulum pendidikan yang mengkhususkan pada pendidikan keislaman semata-mata sehingga madrasah tersebut semakin kurang diminati seiring perkembangan zaman. Hal demikian terus berlangsung hingga awal era kemerdekaan.

Jambi adalah salah satu daerah yang berpegang teguh pada ajaran Islam. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya madrasah/pesantren di Jambi (tepatnya di Jambi Seberang) yang kini sudah menjadi pondok pesantren, seperti berikut:

1. Madrasah Nurul Iman Ulu Gedong, didirikan oleh KH. Abdul Shomad.

2. Madrasah Sa'adatud Darain Tahtul Yaman, didirikan oleh KH. Ahmad Syakur.

3. Madrasal Nurul Islam Tanjung Pasir, didirikan oleh Kemas KH. M. Shaleh.

4. Madrasah Jauharain Tanjung Johor, didirikan oleh KH. Abdul Majid.

Setelah 20 tahun berjalan lamanya, pada tahun 1935 setelah perkembangan pondok pesantren di Seberang Kota Jambi, maka di Kuala Tungkal ibu kota Tanjung Jabung-pun memunculkan madrasah baru yang bernama Madrasah Hidayatul Islamiyah (MHI) yang berarti dan memiliki kekuatan baru dalam penyebaran ajaran Islam dan perjuangan melawan penjajah di bagian timur pantai Sumatera ini. MHI ini memiliki banyak persamaan dengan empat madrasah induk yang terletak di Seberang Kota Jambi itu, terutama kurikulumnya hampir 75% sama.

Pondok pesantren yang didirikan oleh Perukunan Tsamarul Insan tersebut begitu berpengaruh terhadap perkembangan pondok pesantren di Tanjung Jabung. Karena banyak alumnui pada pondok pesantren tersebut berasal dari Kuala Tungkal khususnya dan Tanjung Jabung pada umumnya, seperti KH. M. Ismail (orang tua KH. M. Said Ismail) sebagai tenaga pengajar pertama, yang mana Beliau adalah alumnus madarasah Nurul Iman yang tidak diragukan lagi faham keagamaannya berasal dari Kuala Tungkal, dan banyak lagi yang lainnya.

Sejalan dengan perkembangan dan kemajuan zaman serta tuntutan mayarakat, dewasa ini lembaga pondok pesantren masih tetap bertahan di alam pendidikan modern, bahkan semakin berkembang sedemikian rupa, baik jumlahnya, tujuan dan sistem pendidikannya yang menganut berbagai jenis serta tingkat pendidikan yang diselenggarakan dan Iain-lain.

Meski model pesantren yang identik dengan tradisionalitasnya sudah agak semakin pudar, ditambah semakin banyaknya pesantren yang bernuansa modern dan dikelola dengan sistem modern pula. Akan tetapi, harus diakui bahwa ada suatu ”ikon kuat” yang sudah mendarah daging sehingga pesantren tetaplah sebuah lembaga yang mampu bertahan dengan tradisinya meskipun tantangan yang dihadapinya di era global ini tidaklah sedikit.

Sebagai contoh, dikemukakan disini bentuk-bentuk pesantren yang terdata yaitu sebagai pondok pesantren yang menyelenggarakan pengajian kitab-kitab klasik juga meyelenggarakan kegiatan pendidikan formal ke dalam lingkungan pondok pesantren.

Berdasarkan data emis tahun 2007, jumlah pondok pesantren di provinsi Jambi sebanyak 185 buah yang lokasinya sebagian tersebar di pedesaan. Angka itu tiap tahun akan bertambah, karena berdasarkan laporan yang masuk ke Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Jambi selalu saja belangsung pendirian pondok pesantren, baik oleh perseorangan, organisasi, yayasaan mampun disponsori oleh pemerintah daerah.

Namun angka itu belum seberapa bila dibandingkan dengan keseluruhan jumlah pondok pesantren yang angkanya mencapai sekitar 30.368 pondok pesantren menurut data 1955. Pondok pesantren itu tersebar di seluruh Indonesia dari pelosok desa sampai ke kota.

Melihat semakin tumbuh dan berkembangnya keberadaan pondok pesantren di propinsi Jambi yang mengindiskasikan bahwa pembangunan SDM (Sumber Daya Manusia) khususnya di sektor pendidikan agama tentunya tidak kalah bersaing dengan pendidikan umum.

Perkembangan pesantren dewasa ini dapat dianggap sangat pesat, hal tersebut ditandai dengan semakin banyaknya pesantren yang bermunculan, disinergikannya sistem pesantren dalam sitem pmdidikan lainnya seperti model boarding school, sehingga banyak ragam dan corak bentuk pesantren dan sekolah-sekolah model pesantren.

0 komentar:

Posting Komentar