.

.
.

Sabtu, 20 Maret 2010

SEJARAH PHI KUALA TUNGKAL (BAB III)

BAB III

GAMBARAN UMUM

PENDIDIKAN KUALA TUNGKAL SEBELUM BERDIRINYA MHI

A. KEDATANGAN ETNIS PERANTAUAN KE KUALA TUNGKAL

Dahulu, Kuala Tungkal adalah sebuah kampung kecil, desa terpencil, dusun pinggiran, parit daratan, daerah terisolir dan tertinggal, belum ada jalur darat yang menghubungkan antara Kuala Tungkal-Jambi, bukanlah bewujud seperti kota yang dapat disaksikan saat ini. Harus bertahan terhadap gempuran penjajah. Sekarang sudah berubah, berbenah, maju dan berkembang pesat.

Bermula, Pada tahun 1902 (berkemungkinan akhir abad ke-19) terbukalah pertama kali Kuala Tungkal, maka semakin banyaklah orang yang mulai berdatangan. Seperti dari suku Banjar Kalimantan yang beremigrasi dari Malaysia pertama kalinya menginjak tanah Tungkal ini. Yang mana jumlah mereka sekitar 16 orang, antara lain ialah: H. Abdul Rasyid, Hasan, Si Tamin gelar Pak Awang, Pak Jenang, Belacan Gelar Kucir, Buaji. Kemudian suku ini berdatangan lagi dengan jumlah yang agak banyak yaitu sekitar 56 orang yang dipimpin oleh H. Anwari dan iparnya H. Bahruddin, yang mana mereka banyak menetap di Beram Itam Kanan dan Beram Itam Kiri. Selanjutnya datang suku Bugis, Jawa, Donok/Laut yang bayak hidup di pantai/laut, China serta India yang datang untuk berdagang.

Suku Banjar yang tinggal di Sumatera dan Malaysia merupakan anak, cucu, intah, piat dari para imigran etnis Banjar yang datang dalam tiga gelombang migrasi besar-besar ke pulau Sumatera (tahun 1780, 1862 dan 1905) Pada gelombang migrasi ketiga tahun l905, etnis Banjar terpaksa melakukan migrasi disebabkan karena Sulthan Muhammad Seman yang menjadi Raja di Kerajaan Banjar ketika itu mati syahid di tangan Belanda.

Adapun penyebab mengapa etnis Banjar beremigrasi dari Kalimantan dikarenakan pada tahun 1905 perlawanan terakhir para Gusti (gelar bangsawan Banjar) ditumpas, tetapi sisa-sisanya masih mengadakan perlawanan kecil-kecilan yang cukup membahayakan Belanda. Kerja rodi (bahasa Banjar: erakan) dan pajak kepala yang dianggap memberatkan, mengakibatkan dalam periode ini banyak sekali orang Banjar terutama dari Hulu Sungai mengungsi keluar Kalimantan Selatan pergi ke Sumatera dan Malaysia Barat. Terhadap tekanan rodi (serta pajak, landrente, pajak pasar, pajak yang dikenakan pada orang yang naik haji) menimbulkan keresahan sosial (karena rakyat mengetahui bahwa otonomi dalam bentuk Gemeente Raad yang diberikan pemerintah kolonial hanyalah untuk kepentingan orang-orang kulit putih alias penjajah) dan perlawanan dari anak cucu orang sepuluh Amuntai, pemberontakan Nanang Sanusi (1914-1918), dan pemberontakan Gusti Barmawi di Kelua, Tabalong. Antara tahun 1914-1919 akibat perang dunia I, Kalimantan Selatan kekuarangan beras yang luar biasa, hingga terkenal dengan nama “zaman beras larang” dan “zaman anti beras”, hidup rakyat menjadi sangat susah sekali. Sejak tahun 1920-an, akibat rodi ini telah pindah banyak sekali penduduk Hulu Sungai ke daerah Sapat dan Tembilahan, Indragiri Hilir, di Pantai Timur Sumatera (Kuala Tungkal) dan Malaysia. Menyusuri jalur sekitar Kalimantan Barat, Pantai Utara Bangka (Belinyu) menuju Kuala Tungkal dan Tembilahan selanjutnya menyebar ke Sumatera Utara, Batu Pahat dan Perak, Malaysia. Jalur ini merupakan jalur kuno migrasi suku Mayan ke Madagasykar. Kemungkinan para perantauan Banjar ini berasal dari Malaysia kemudian ke Kuala Tungkal atau sebaliknya.

Adapun ulama terkemuka banjar di antaranya: Syeikh M. Arsyad Al-Banjari (w.1227 H/1812 M) yang terkenal dengan kitab fiqihnya “Sabil al-Muhtadin”, dan Syeikh Abdurrahman Shiddiq Al-Banjari. (Tuan Guru Sapat/Datuk Sapat) yang menjabat sebagai Mufti kerajaaan Indragiri.

Kini, Islampun juga telah menjadi ciri khas atau identitas masyarakat Kuala Tungkal masyarakatnya yang religius.

B. KEADAAN KUALA TUNGKAL SEBELUM BERDIRINYA MHI

Kuala Tungkal dahulu, tidak ada jalan darat yang menghubungkan Kuala Tungkal-Jambi, yang ada hanya jalan laut naik Kapal Motor (KM/kapal merbau) melewati Kuala sungai batanghari di Muara Sabak karena jalan darat belum dibuka. Sesekali pasukan Belanda dari kresidenan/kewedanaan Jambi datang untuk memantau Kuala Tungkal karena ada wakil bea-cukainya di daerah ini. Kuala Tungkal termasuk bagian kabupaten Batang Hari.

Keadaan masyarakat Kuala Tungkal dahulu, begitu haw-haw (sangat kacau), banyak kemaksiatan yang muncul, seperti perjudian, sabung ayam, dll. Terlebih lagi di Tangga Raja, disana ada “Rumah Kopi Senggol” dekat Lorong Perestasi (PSKe) bebas yang dibuka setiap malam kamis, bersamaan dengan masuknya kapal Belanda (kapal PM). Kemudian orangpun berdatangan memenuhi tempat ini. Tersedia juga meja bola (biliyard), di ujung Pelabuhan. Selain itu keadaan yang tak kalah parahnya sebelum ada pendidikan agama Islam yang belum bersinar banyak di kalangan masyarakat Kuala Tungkal yang buta huruf, terlebih lagi belum mengenal bagaimana ajaran Islam.

Selain itu, adanya pengelompokkan ras antara 2 kelompok suku, antara Melayu Palembang (Parit 1) dan Banjar Kalimantan Selatan (Parit 2, 3, 4, 5, 6, dan 7), sehingga terjadinya perselisihan. Suku/orang Banjar adalah kelompok masyarakat yang taat beragama Islam, sedang Melayu adalah kelompok masyarakat yang juga beragama Islam, namun tidak setaat orang Banjar. Ada pula sebagian dari mereka tidak beragama Islam yang agak sulit untuk menerima Islam sebagai agama yang benar. Hal ini terjadi karena di Kuala Tungkal para pemuka agama adalah dari kalangan orang Banjar yang memiliki kedudukan tinggi.

C. PENDIDIKAN DI KUALA TUNGKAL SEBELUM DATANGANYA GURU DAUD DAN BERDIRINYA MHI

  1. Pendidikan Umum

Kuala Tungkal pada zaman Belanda, tepatnya sebelum berdirinya MHI, telah berdiri sekolah Belanda, yaitu Volkschool atau Sekolah Rakyat/Sekolah Desa 3 tahun (disebut kelas dua) yang kemudian dikenal dengan Sekolah Rakyat, dibuka di tiap-tiap desa atau marga. Sekolah itu menerima peserta didik dari kalangan masyarakat umum. Adapun mata pelajaran terbatas pada membaca, menulis, dan berhitung. Berdiri pertama kali pada tahun 1907. Adapun sekolah desa ini tenaga pengajarnya adalah juri tulis marga dibantu oleh guru-guru lain. Pada mulanya sekolah-sekolah desa ini tidak dapat berkembang dan banyak yang kosong. Hal ini disebabkan rakyat tetap bersikap antipati terhadap sekolah yang didirikan Belanda/orang kafir, di samping penerimaan murid-murid yang selektif dengan mengutamakan penerimaan murid-murid dari pamong marga. Setelah menyelesaikan Volkschool, kemudian dilanjutkan dengan Vervolgschool atau Sekolah Rakyat Lanjutan, lama pendidikannya selama 2 tahun, sekolah ini didirikan pada tahun 1914. Di daerah Jambi dapatlah dikemukakan bahwa di tiap Onderdistrik ketika itu sudah ada Vervolgschool, yakni sebagai sambungan atau lanjutan dari Sekolah Desa yang ada di lingkungan marga. Sekolah tersebut tidak mengajarkan banyak disiplin ilmu, melainkan hanya membaca, belajar ilmu kesehatan dan ilmu bumi. Adapun sekolah Belanda ini dilakukan pada waktu pagi hari.

Pendidikan Barat yang masuk ke daerah Kuala Tungkal pada awal abad ke 20 lebih ditekankan pada sistem klassikal di mana diberikan pelajaran-pelajaran pengerahuan umum. Pemerintah Kolonial Belanda merasa perlu menyelenggarakan pendidikan Barat di samping untuk memenuhi permintaan tenaga-tenaga administrasi yang mereka perlukan di daerah jajahan ini ternyata juga untuk membentengi Belanda dari volkano Islam yang mereka anggap sebagai suatu ancaman terhadap pemerintahan kolonial di Indonesia ini. Jadi sekolah yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda tersebut bukan untuk kepentingan bangsa Indonesia, yang mereka sebut Inlander. Sehingga seorang Inlander baru dapat menikmati pendidikan ini setelah melewati seleksi ketat, yang pada kenyataannya bukan seleksi kecerdasan yang dilakukan tetapi seleksi ras dan status.

Pendidikan Barat yang diselenggarakan Pemerintah Hindia Belanda tumbuh bersama munculnya elite Hindia Belanda seperti tersebut di atas tidak banyak memberi arti langsung bagi kemajuan rakyat jajahan di daerah ini. Adanya ketentuan-ketentuan mengenai seleksi yang ketat bagi anak-anak orang Indonesia yang dapat memperoleh pendidikan di sekolah pemerintah Belanda tersebut.

  1. Pendidikan Agama

Sebagaimana diketahui, bahwa agama Islam menyuruh kepada para penganutnya untuk menyampaikan ajaran Islam kepada siapa saja dan dimanapun mereka berada.

Corak pendidikan Islam yang pertama di Kuala Tungkal sama dengan corak pendidikan Islam di daerah-daerah lain di Indonesia. Pendikan Islam pertama itu lebih cocok dinamakan penyebaran ajaran Islam beserta ajarannya oleh para pelajar alumni Timur Tengah tepatnya Makkah al-Mukarramah yang berasal dari etnis perantauan yang berasal dari Kalimantan Selatan yang tersebar ke Pantai Timur Sumatera tepatnya Kuala Tungkal.

Pelajar muslim alumni asal Timur Tengah tersebut di samping sebagai orang yang pandai dalam ilmu agama, mereka juga merupakan orang yang pandai bergaul. Ajaran Islam yang mereka siarkan diberikan melalui contoh perbuatan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Mereka merupakan orang yang memiliki sifat-sifat kebaikan yang terdapat dalam ajaran Islam yang mencerminkan kehidupan mereka. Selain membawa ilmu pengetahuan di Kuala Tungkal, para alumni Timur Tengah tersebut jga membawa nuku-buku dan faham-faham yang baru berkembang tentang Islam dan ajarannya.

Transmisi ilmu keIslaman di Kuala Tungkal masih sangat informal, anak-anak dan orang dewasa belajar membaca dan menghafal al-Qur’an dari orang-orang kampung yang lebih dulu menguasainya. Kalau ada seorang haji atau pendatang dan ulama setempat juga melakukan pengajian umum kepada masyarakat di mesjid itu kiranya yang terjadi di Jawa dan Sumatera.

Jumlah rakyat Kuala Tungkal yang sudah menunaikan ibadah haji pada waktu itu berjumlah kurang lebih 100-an pada zaman Belanda. Mereka bukan hanya sekedar untuk menunaikan ibadah haji, ada beberapa orang di antara mereka dapat diketahui menuntut ilmu ke Makkah al-Mukarramah sebelum adanya MHI. Di antara mereka seperti, KH. Abdul Kadir, KH. Ahmad Bukhari, KH. Abdul Hamid, KH. Ismail, dan Iain-lain.

Para haji itu dibuktikan dengan banyaknya ulama-ulama, pemrakarsa/pendiri, pelajar dan para pejuang yang telah menunaikan ibadah haji sebelum kedatangan Beliau. Adanya kapal api Bintang Samudera (BS) yang mengangkut masyrakat Islam Kuala Tungkal menunaikan ibadah haji karena pesisirnya yang strategis di Pantai Timur Sumatera. Hal itu tidaklah begitu mengherankan, karena posisi Kuala Tungkal itu sendiri berada di pantai Sumatera. Sebelum berdirinya MHI di Kuala Tungkal ini banyak sekali ulama-ulama yang telah melaksanakan ibadah haji dan mengaji di Makkah al-Mukarramah.

Perjalanan ke Makkah al-Mukarramah juga memberikan kepada mereka pengetahuan mengenai dunia luar, dan banyak di antara mereka yang sangat menyadari adanya ancaman terhadap Islam karena adanya ekspansi kolonial. Mayoritas mereka adalah ualama-ulama keluaran Makkah al-Mukarramah yang telah beberapa tahun menetap di sana, mereka adalah etnis perantauan dari Kalimantan Selatan. Tidak mengherankan di daerah ini masyarakatnya begitu antusias untuk melaksanakan ibadah haji hingga sekarang dan beragama Islam fanatik.

Pengajian pada masa ini, Qori' al-Qur'an telah ada beberapa orang saja, dan umumnya mereka belajar, menetap di Makkah al-Mukarramah selama beberapa tahun, kemudian kembali ke kuala Tungkal. Tidak mengherankan lagi bahwa Qori’ tamatan Makkah al-Mukarramah tersebut mempunyai banyak murid. Mereka semua dalam mengajar tidak menerima gaji, karena mereka mengajar karena Allah semata, bukan untuk mencari penghasilan.

Adapun peranan mereka dalam dunia pendidikan Islam Kuala Tungkal setelah menuntut ilmu di Makkah al-Mukarramah pada waktu itu adalah dengan membentuk pengajian, dengan kata lain bahwa sudah ada bentuk-bentuk pengajian yang dilakukan oleh ulama-ulama Kuala Tungkal, di antaranya adalah H. Bakri Qori' al-Qur'an Makkah al-Mukarramah dari Banjar yang terbatas hanya pada pengajian membaca al-Qur'an dalam bentuk halqah dari mesjid ke mesjid atau mengajar al-Qur'an keliling kampung tidak mengajarkan kitab-kitab klasik. Selain mereka ada juga KH. Abdul Wahab (ayah dari KH. M. Ali Wahab) guru yang pernah belajar di Makkah al-Mukarramah, yang mengajar dengan membuka pengajian-pengajian di rumah dengan bentuk secara duduk (halaqah) namun tidak mendirikan atau membuka madrasah.

Sekitar tahun 1920-an ada juga guru agama yang bernama Haji Hasyim dihormati di Kuala Tungkal, yang berkemungkinan Beliau adalah murid dari Haji Abdurrahman Shiddiq Al-Banjari (wafat 1939), mufti kerajaan Inderagiri yang tinggal di Sapat ketika itu. Hal ini ditandai pada tahun 1920-an telah terdapat organisasi professional yaitu Persatuan Guru Agama (PGA) terdapat hampir di setiap onder afdeeling dalam keresidenan Jambi.

Adapun pendidikan Islam secara modern yang dipelopori oleh Muhammadiyah (1912) ketika itu tidak terdapat di Kuala Tungkal karena masyarakat tidak terlalu tertarik dengan organisasi tersebut. Kegiatan usaha dan gerakan organisasi ini bukan hanya bertujuan untuk memperkokoh tegak teguhnya Negara Republik Indonesia, tetapi juga mengembangakan kegiatan-kegiatan dalam dunia kependidikan itu sendiri.

Organisasi sosial seperti Muhammadiyah pernah berusaha untuk mendirikan cabangnya di Jambi, namun oleh karena alasan yang berbau politik, dan dianggap sebagai aliran ”kaum muda” yang akan mengguncangkan atau akan menimbulkan kerusakan di kalangan rakyat Jambi, ditolak dan dilarang untuk daerah Jambi.

Menurut hemat penulis, di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 banyak orang perantauan muslim yang datang ke Kuala Tungkal ini. Kaum muslim itu mendirikan mesjid untuk mengerjakan sholat jum’at, juga untuk tempat mengaji al-Qur’an untuk pendidikan dan pengajaran Islam tingkat permulaan (rendah).

Hal ini dibuktikan pada tahun ±1925 terbentuknya “Kepenghuluan Melaju” yang masyarakatnya banyak berasal dari Palembang bersamaan dengan itu pula dibangun mesjid ”Melayu” atau mesjid ”Perukunan Melayu” (1925/1926, sekarang lokasinya adalah mesjid Raya al-Muttaqin) di atas tanah wakaf H. Anwari Hakim (ayah dari KH. M. Thaib Anwari, seorang etnis Banjar) seorang Hakim pada zaman Belanda. Kemudian pada tahun 1936 “Kepenghuluan Melaju” berubah menjadi kepenghuluan Tungkal IV yang menjadi penghulunya adalah Bapak Ahmad A. Majid.

Kemudian setelah setahun berjalan, maka mesjid Melayu ini tidak muat lagi untuk menampung jamaah karena kesadaran masyarakat untuk sholat di mesjid Melayu ini semakin meningkat, maka (1926) dibangunnya sebuah mesjid yang diberi nama masjid Hidayatullah/mesjid Lama/mesjid Jami’ di atas tanah wakaf Datuk Mamek (nenek dari Uyah jalan Kalimantan; orang Melayu Palembang), yang mana kemudian diadakan pertukaran tanah kepemilikan. Karena semula tanah masjid Melayu adalah kepunyaan H. Anwari Hakim dan Mesjid Lama tanahnya kepunyaan Datuk Mamek. Adapun pembanguan mesjid ini disebabkan karena mesjid melayu tidak muat (terlalu kecil) untuk melaksanakan sholat jum’at yang hingga sekarang masih berdiri dengan beberapa kali renovasi karena di ”makan” usia yang masih ada sebagian kecil dari bagian mesjid yang masih tetap asli. Di mesjid Lama inilah masyarakat melaksanakan ibadah sholat jum'at yang jamaahnya datang dari parit 2, 3, 4, 5, 6 dan 7. Sebuah mesjid asal yang dibangun pada zaman Belanda jauh sebelum berdirinya mesjid-mesjid di Kuala Tungkal. Bersamaan dengan pembangunan mesjid ini pula, dibentuklah pengajian al-Qur’an, dan pengajian yang di ambil dari kitab-kitab kuning dan kitab Melayu dengan cara halqah yang diikuti oleh orang-orang tua di sebuah rumah milik H. Anwari Hakim yang lokasi di belakang rumah kediaman Ustaz Hasan Basri (pensiunan pegawai KUA Kuala Tungkal) atau di seberang mesjid Lama/perkuburuan jalan Kalimantan yang dilakukan oleh ulama-ulama terdahulu seperti H. M. Shaleh, H. Anwari Hakim. Yang mana pengajian ini berlangung hingga zaman Jepang.

Hal ini diasumsikan bahwa mayoritas para perantauan adalah beragama Islam. Hal itu menjadikan alasan utama untuk awal pembangunan mesjid sebagai tempat ibadah umat Islam, khususnya sholat jamaah dan shalat jum’at.

Dari penjelasan di atas, dapat ditarik benang merah, bahwa orang-orang perantauan asal Kalimantan Selatan telah melakukan migrasi melalui tiga tahap. Itu berarti berkemungkinan pada gelombang ke-3 (1905) telah banyak yang melakukan hijrah ke Kuala Tungkal. Ini mengindikasikan jika masyarakat perantauan itu telah berdomisili di Kuala Tungkal, mereka telah melakukan aktivitas pendidikan Islam,

Di sini boleh dikatakan bahwa pendidikan Islam di Kuala Tungkal hanya dilaksanakan dari rumah ke rumah dan dari mesjid ke mesjid berupa mengaji al-Qur’an dan dan mengaji kitab dasar. Yang pengajian itu diikuti oleh semua golongan usia. Belajar dengan bersila dan memakai rihal tidak mau menggunakan perangkat modern seperti sekarang ini. Mereka belajar pada seorang demi seorang dan belum berkelas-kelas seperti sekarang. Para pengaji itu belajar huruf hijaiyah, setelah bisa baru membaca al-Qur’an.

Masyarakat Kuala Tungkal belajar/mondok ke Jambi tidak terlalu banyak. Dahulu petani makmur dengan kopra berharga mahal, banyak orang tua mempunyai uang yang kemudian megirimkan anaknya untuk belajar ke kota Jambi Seberang (seperti ke Madrasah Nurul Iman) untuk belajar agama. Di antara mereka seperti KH. Ismail, KH. Thaib (anak H. Anwari Hakim), KH. M. Ardhi, KH. Abdul Kadir pada zaman Belanda. Di madrasah itu mereka diajarkan/dengan ajaran seperti rambut tidak boleh panjang, dan Iain-lain. Ada juga yang pergi ke Langkat Sumatera Utara pada sekolah modern dengan berdasi, dan Iain-lain. Adapun para guru MHI yang belajar ke Langkat Sumatera Utara, seperti Guru Gumri, Patih Masdar, Hasan, AR, Sanusi. Makanya ada sebagian dari guru MHI berasal dari pondok pesantren seberang kota Jambi dan Langkat Sumatera Utara.

Sedangkan kebanyakan masayarakat di waktu itu mengikuti pendidikan ke Madrasah Nurul Iman (didirikan 1915 M) Seberang Kota Jambi. Karena memang pada waktu itu di Jambi banyak bermunculan madrasah-madrasah, seperti Madrasah Nurul Iman, Madrasah Sa'adatud Darain, Madrasal Nurul Islam dan Madrasah Jauharain (semua telah menjadi pondok pesantren). Fasilitas angkutan sungai antara kota Jambi dengan Kuala Tungkal ibu kota Tanjung Jabung yang berjarak sekitar 200 Km ditempuh dalam tempo kurang lebih 17 jam.

Kemungkinan terbesar lainnya adalah, sebagaimana diketahui bahwa kabupaten Tanjung Jabung terletak di daerah pantai yang berbatasan dengan provinsi Riau dan berdekatan dengan Malaysia, sehingga orang Tanjung Jabung banyak pula belajar agama di Malaysia. Oleh karena itu agama Islam yang berkembang di daerah ini mempunyai ciri-ciri tersendiri, hal ini diduga karena ada pengaruh dari Malaysia. Hal ini sebagaimana Guru Daud Arif itu sendiri pernah menetap dan belajar di Malaysia sebelum menetap dan belajar di Kuala Tungkal dan Makkah al-Mukarramah, sedikit banyaknya pasti ada pengaruh sistem pembelajaran di sana.

Selain itupun pola perilaku masyarakat Kuala Tungkal sangat ditentukan oleh norma dan adat istiadat masyarakat suatu daerah, terlebih lagi hal yang berkaitan dengan madrasah. Pola perilaku berbeda dan lebih mengikat dari pada kebiasaan. Kebiasaan adalah cara bertindak seseorang dalam masyarakat yang mungkin diikuti orang lain. Sedangkan pola perilaku adalah suatu yang umum dilakukan suatu masyarakat di suatu daerah. Keadaan pola masyarakat Kuala tungkal ini mirip sebagaimana yang terjadi di Kalimantan Selatan, karena mayoritas para perantauan berasal dari daerah yang ada di pulau yang bernama “Borneo” itu.

Adapun hasil pendidikan Islam pada masa awal abad ke-20 ini selain melahirkan guru-guru besar di bidang agama Islam dan pemimpim masyarakat, juga melahirkan tokoh pejuang yang gigih di daerah Kuala Tungkal.

0 komentar:

Posting Komentar