.

.
.

Rabu, 23 Februari 2011

HANG TUAH

Pembacaan Poskolonial Terhadap Sejarah Melayu, Hikayat Hang Tuah dan Hikayat Raja-raja Pasai

A. Pengantar

Cukup banyak tulisan yang telah mencoba untuk menjelaskan identitas Melayu dan kemelayuan. Namun, dari beberapa tulisan, tulisan-tulisan yang terkumpul dalam Contesting Malayness: Malay Identity Across Boundaries (Barnard: 2004) merupakan hasil riset mutakhir tentang konsep kemelayuan (Malayness) dan identitas Melayu (Malay Identity). Dalam salah sebuah tulisan yang disusun Reid (2004: 1-24) dikemukakan bahwa sampai dengan abad ke-19 arti istilah Melayu setidak-tidaknya mencakup tiga hal. Pertama, istilah itu berhubungan dengan perhatian terhadap anak keturunan raja. Kedua, Melayu mengacu pada makna munculnya kebangsaan modern atau ras dan ketiga Melayu sebagai superkultur urban.

Menurut pandangan yang pertama para pengarang istana yang sangat menghormati tradisi kerajaan mencemaskan semakin mantapnya prinsip-prinsip kemelayuan yang terjadi di luar kepentingan pribadi raja dan keluarga kerajaan (Chou, 2004: 4). Dalam pandangan itu, intervensi dari luar (baca: dari Jawa) yang berpotensi menggerus identitas Melayu akan membangkitkan kesadaran untuk memperkokoh identitas tersebut (Andaya, 2004 b: 18). Arti kedua merupakan persuasi gagasan-gagasan yang berasal dari Eropa tentang kebangsaan dan ras. Berbeda dengan pandangan yang pertama, makna yang kedua ini menganggap raja-raja Melayu sebagai ancaman terbesar bagi bangsa Melayu. Arti yang kedua ini mensyaratkan kemampuan bersaing bagi bangsa Melayu tidak hanya dengan kelompok-kelompok etnis yang lain yang pada waktu itu banyak bermukim di Bandar-bandar dagang Melayu seperti Jawa, Mandailing, Bugis, Aceh, Banjar, dan Pekan, tetapi juga dengan para penutur bahasa Melayu lain yang memiliki loyalitas terhadap penguasa-penguasa tertentu. Adapun pengertian Melayu sebagai superkultur urban adalah ciptaan Belanda dan hal itu tidak banyak berhubungan dengan etnisitas. Istilah itu merupakan label bagi diaspora komersial dari penduduk urban berbahasa Melayu dari latar belakang etnis yang berbeda-beda. Menurut pandangan ini siapa saja yang bertutur dalam bahasa Melayu adalah Melayu (lihat Chou, 2004: 4).

Dalam skema di atas, Sejarah Melayu (SM), Hikayat Hang Tuah (HHT) dan Hikayat Raja-Raja Pasai (HRRP) merupakan representasi dari konsep yang pertama.

B. Diri dan Liyan dalam Perspektif Pascakolonialisme

Dalam wacana pascakolonialisme ada pembicaraan tentang otherism atau otherness. Dasar pandangan itu adalah anggapan bersifat etnosentris yang memandang bahwa diri sendiri (etnis atau bangsa sendiri) adalah makhluk-makhluk mulia. Sementara liyan dipandang dengan persepsi berlapis dari rasa tidak suka, takut, dan benci. Ketidakpercayaan terhadap liyan ini sangat problematik karena merupakan dasar bagi rasisme (Brace, 2006: 268).

Sementara itu, klaim bahwa ada basis genetik bagi superioritas suatu bangsa terhadap bangsa yang lain sama sekali tidak berdasar. Superioritas adalah konsep politik dan sosioekonomi yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa politik, militer, sejarah ekonomi yang mutakhir serta tradisi kultural dari suatu negara atau kelompok (Harrison, 2003: 74). Superioritas ras adalah sebuah konstruk sosial (Brace, 2006: 270).

Dengan demikian, devaluasi terhadap “perbedaan” atau “liyan” pada dasarnya adalah persoalan psikologis. Secara naluriah, orang cenderung curiga terhadap siapa saja yang kelihatan berbeda: berbeda kepercayaan, berbeda tingkah laku, berbeda aksen atau bahasa, berbeda pakaian, dan berbeda makanan. Berangkat dari sini, persepsi terhadap liyan pada hakikatnya berpusat pada diri. Tidak ada liyan yang bisa dijadikan objek. Semua liyan adalah bagian dari diri dan semua realitas adalah subjektif karena merupakan konstruk (Brace, 2006).

Dasar-dasar teoretik di atas tampaknya dapat diterapkan untuk alat analisis terhadap berbagai fenomena tekstual dalam SM, HHT, dan HRRP yang menempatkan Jawa sebagai liyan. Yang akan dilakukan adalah membongkar konstruk sosial dan historis Melayu yang melahirkan superioritas Melayu dan penstereotipan Jawa sebagai liyan.

C. Diri-Melayu dan Liyan Jawa dalam Sejarah Melayu, Hikayat Hang Tuah, dan Hikayat Raja-Raja Pasai

Sejarah Melayu (SM), Hikayat Hang Tuah (HHT), dan Hikayat Raja-Raja Pasai (HRRP) merupakan tiga buah memori naratif Melayu terpenting. Meskipun ketiga narasi itu tidak berkisah tentang kenyataan atau tidak seluruhnya tentang kenyataan, tetapi juga tidak dapat disederhanakan begitu saja sebagai fiksi yang hanya berasal dari benak pembawa cerita. Ketiga narasi tersebut menarasikan tradisi yang secara lisan telah diwariskan selama berabad-abad tentang ekspansi imperium Jawa atas Tanah Melayu baik di selatan maupun di utara Selat Malaka.

Oleh karena itu, ketiga narasi berbahasa Melayu di atas menyimpan ingatan kolektif yang hampir sama terhadap Jawa mengingat ketiganya berasal dari kurun waktu yang hampir sezaman. Ingatan kolektif itu terbangun dari proses panjang pasang surut hubungan Melayu-Jawa. Jawa dicitrakan sebagai ”bangsa” yang layak diwaspadai dan dipinggirkan karena kekuasaan Jawa telah menjadi sangat dominan pada masa ketiga narasi tersebut dibangun. Jawa menjadi ancaman potensial yang harus dilawan dan diberontaki meskipun hanya pada tataran wacana.

Dalam cerita ke-6 SM disebutkan tentang hubungan Jawa (Majapahit) dengan dunia Melayu. Dikisahkan bahwa salah seorang raja Majapahit, Sang Aji Jaya Ningrat adalah keturunan raja Tanjung Pura. Raja ini mempunyai seorang putri yang sangat cantik, Raden Galuh Candra Kirana. Kecantikan Candra Kirana termasyhur sampai ke Melaka, sehingga Sultan Mansyur syah pun berminat untuk menyuntingnya. Dengan ditemani oleh beberapa orang hulubalang setianya, antara lain Tun Bijaya Sura dan Laksamana Hang Tuah, Sultan Mansyur Syah mengunjungi Majapahit. Mereka disambut oleh Seri Betara Majapahit dengan penuh keagungan, tetapi juga dengan bermacam-macam tipu daya yang bertujuan untuk menghinakan dan melenyapkan sultan Melaka beserta para hulubalangnya itu (Ahmad, 2006: 112-130).

Pelecehan pertama terjadi di balairung Majapahit. Sultan Melaka diterima di balairung yang memiliki tangga tiga tingkat. Sultan Melaka duduk di lantai peseban sebaris dengan raja Tanjung Pura dan raja Daha yang pada waktu itu tengah menghadap Betara Majapahit. Sementara itu, tepat di hadapan Betara Majapahit di salah satu anak tangga ditambatkan seekor anjing berantai emas. Hang Tuah yang merasa sangat terhina dengan kejadian itu minta tolong kepada Tun Bijaya Sura mencari akal untuk melepaskan diri dari situasi yang tidak menyenangkan itu. Tun Bijaya Sura pun menari-nari dengan ikat kepala berhiaskan genta. Tariannya menarik perhatian Betara Majapahit, hingga ia dipersilakan menari di dekatnya. Sambil menari, Tun Bijaya Sura mendekati anjing berkalung emas tersebut dan mengibas-ngibaskan ikat kepala bergenta yang berbunyi gemerincing. Mendengar gemerincing bunyi genta, anjing berkalung emas itu pun terkejut dan meronta sekuat tenaga hingga kalung emas di lehernya putus terus melarikan diri.

Ketika diminta untuk menyuguhkan atraksi yang lain, Tun Bijaya Sura memilih menampilkan sapu-sapu rengit/ringin. Ia minta bantuan tiga orang anak Melayu untuk memainkannya. Ternyata, salah satu bagian dari permainan itu adalah menghadapkan kaki ke arah Betara Majapahit. Tun Bijaya Sura tidak mengindahkan protes dari para punggawa Majapahit karena dianggap melanggar tabu yang berlaku di istana Majapahit. Ia membela diri dengan berdalih bahwa apa yang disaksikan itu adalah bagian dari pertunjukan sapu-sapu rengit/ringin.

Merasa berhasil membalas penghinaan Betara Majapahit terhadap sultan Melaka, Tun Bijaya Sura memberi giliran kepada lima sekawan, Hang Tuah, Hang jebat, Hang Kesturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu untuk menunjukkan keperkasaan mereka dengan cara menaiki balai larangan Betara Majapahit. Dengan gagah berani, kelima pahlawan Melaka itu naik ke balai larangan yang pada waktu dipenuhi oleh orang-orang yang tengah menghadap Betara Majapahit. Perbuatan lima sekawan itu mengundang amarah orang-orang Majapahit yang segera menghujani mereka dengan berpuluh-puluh, beratus-ratus, bahkan beribu-ribu tombak. Namun, tak satu pun ujung tombak berhasil menggores kulit mereka. Sebaliknya, beribu-ribu tombak orang-orang Majapahit justru kehilangan mata tombaknya karena sabetan keris tempa Melaka.

Keperkasaan Hang Tuah menjadi buah bibir di Majapahit. Di mana-mana orang merindukan Hang Tuah. Jika ia berada di Peseban, peseban gempar; jika ia pergi ke pasar, pasar geger. Segala perempuan Majapahit, terutama para perempuan muda tidak mampu mengendalikan birahinya ketika melihat Hang Tuah. Bahkan, perempuan yang sedang berada di pangkuan suaminya, segera akan meninggalkan pelukan suaminya jika Hang Tua berada di dekatnya. Orang-orang jawa pun berpantun sebagai berikut.

Enya suruh tanggapana penglipur; saben dina katon parandene oneng uga. Iwer kabeh sang dara kabeh, dene Laksamana lumaku-lumaku, penjurit ratu Melayu. Kaget wong paken dene Laksamana tumandang, Laksamana tumandang, penjurit ratu ing sebrang. Geger wong pasar dene Laksamana liwat penjurit ratu Melaka. (Ahmad, 2006: 124)

Ini sirih jadikanlah sebagai pelipur rasa birahi; setiap hari terlihat, tetapi tetap merasa rindu. Kacaulah para dara semuanya melihat Laksamana berjalan-jalan, hulubalang raja Melayu. Terkejutlah orang-orang di pangkuan karena melihat Laksamana, hulubalang raja seberang. Gemparlah orang sepasar melihat laksamana lewat, hulubalang raja Melaka.

Ujian terhadap Sultan Mansyur Syah dan para hulubalangnya terus-menerus terjadi. Setelah berhasil mengatasi berbagai rintangan itu, Sultan Mansyur Syah dikawinkan dengan Raden Galuh Candra Kirana. Kedua mempelai tinggal beberapa waktu di Majapahit untuk kemudian pulang bersama-sama ke Melaka. Namun, sebelum berangkat Sultan Mansyur Syah menugasi Tun Bijaya Sura untuk minta daerah Indragiri, Hang Jebat untuk daerah Jambi dan Tungkal, sedangkan Laksamana diminta untuk minta daerah Siantan sebagai bagian dari kesultanan Melaka. Berdasarkan pertimbangan Patih Gajah Mada, semua permintaan Sultan Mansyur Syah dikabulkan, kecuali permintaannya akan daerah Siantan. Siantan dianugerahkan Betara Majapahit kepada Hang Tuah turun kepada anak cucunya karena Betara Majapahit sangat terkesan kepada tarian yang dipersembahkan Laksamana kepadanya.

Kontestasi Melayu-Jawa juga menjadi bagian yang cukup penting dalam HHT. HHT merupakan teks yang tidak mengenal batas waktu karena termasuk epos Melayu yang paling populer. Versi-versi awalnya kemungkinan besar telah diceritakan pada abad ke-15, tetapi versi tulisnya baru muncul satu setengah abad atau dua abad berikutnya (bdk. Reid b, 2004: 222). Hikayat ini berkisah tentang seorang pahlawan Kesultanan Melaka yang merupakan representasi keberanian Melayu. Hang Tuah melakukan muhibah ke negeri India, Cina, dan bahkan Rum (Byzantium/Turki) sebagai utusan sultan Melaka untuk mendapatkan pengakuan mereka terhadap eksistensi Kesultanan Melaka dan penghormatan mereka kepada orang-orang Melayu beserta rajanya.

Dari sekitar 500 halaman hikayat itu (Ahmad, 1997), sekitar 150 halaman (h. 109 s.d.190 dan h. 266 s.d. 322) diabadikan untuk mengisahkan persaingan antara Sultan Melaka dengan Seri Betara Majapahit. Kisahnya bermula ketika Sultan Melaka bermaksud meminang Tun Teja sebagai istrinya. Keinginan ini dicela oleh Patih Kerma Wijaya karena menurut dia, hanya putri Betara Majapahitlah yang layak bersanding dengan sultan. Sebagai wujud tanggung jawabnya, Patih Kerma Wijaya bersedia memimpin utusan ke Majapahit. Hanya saja karena di Majapahit terdapat banyak prajurit pilihan dan jagoan, Patih Kerma wijaya mohon diizinkan ditemani oleh para kesatria Melaka yang gagah berani dan bijaksana. Dengan izin raja, Hang Tuah, Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu pun menyertai perjalanan Patih Kerma Wijaya ke Majapahit.

Kedatangan Sultan Melaka disambut oleh Seri Betara Majapahit dan Patih Gajah Mada dengan berbagai kehormatan. Akan tetapi, karena khawatir jika sudah menikah dengan Sultan Melaka putrinya, Raden Galuh Emas Ayu akan dibawa ke Melaka, Seri Betara Majapahit minta kepada patih Gajah Mada mengatur siasat dan tipu daya agar keinginan Sultan Melaka itu dapat digagalkan (h.142).

Patih Gajah Mada merancang beberapa siasat antara lain melalui amuk, pencurian keris Taming sari milik Hang Tuah, dan pembunuh yang sangat sakti untuk menghabisi para hulubalang Melaka itu. Akan tapi, para prajurit Majapahit pilihan Patih Gajah Mada selalu gagal melaksanakan tugasnya. Kelima hulubalang Melaka itu malahan sempat berguru tentang ilmu keprajuritan dan tata pemerintahan kepada seorang ajar Majapahit bernama Sang Persata Nala di Gunung Wirana Pura. Mereka berlima juga diajar berbagai-bagai kesaktian. Meskipun demikian, Hang Tuahlah yang dianggap oleh Sang Persata Nala dapat mewarisi ilmunya karena dia sangat tekun dan berbakat (h.160-163). Di sini Hang Tuah mewarisi “ilmu” Jawa in optima prima yang sangat berguna dalam persaingannya dengan para jago Majapahit..

Ujian dari Jawa untuk Hang Tuah, muncul lagi ketika Hang Tuah diutus sekali lagi oleh Sultan Melaka untuk meredakan kemarahan Seri Betara Majapahit karena mendengar Sultan Melaka benar-benar mengawini Tun Teja, putri Bendahara Seri Buana Inderapura (h.269). Patih gajah Mada menyiapkan berbagai siasat dan tipu daya untuk membunuh para hulubalang Melaka itu. Melaui topos amuk, pameran kekuatan prajurit, pencurian keris oleh prajurit rahasia, dan rencana pembunuhan dengan melibatkan ribuan prajurit, serta bantuan dari tokoh-tokoh sakti, Hang Tuah berusaha dilumpuhkan. Namun, karena Hang Tuah sudah menguasai ilmu keprajuritan dan segala kesaktian Majapahit dari Sang Persata Nala, segala upaya Patih Gajah Mada sia-sia. Walaupun demikian, Seri Betara Majapahit dan Patih Gajah Mada tidak putus asa. Diutusnya Marga Paksi tujuh bersaudara untuk melakukan tugas rahasia menyusup dan menghancurkan Melaka dari dalam. Namun, sekali lagi, tugas itupun gagal. Hang Tuah berhasil menggagalkan aksi ketujuh prajurit rahasia utusan Patih Gajah Mada tersebut dan memenggal kepala mereka (h.320).

Persaingan Melayu-Jawa juga mendapatkan perhatian dalam Hikayat RajaRaja Pasai (HRRP). HRRP mengisahkan kehancuran Pasai oleh Majapahit karena raja Pasai, Sultan Ahmad melakukan tindakan tercela membunuh putranya Tun Abdul Jalil yang dicintai oleh putri Majapahit karena dibakar cemburu. Perbuatan tercela Sultan Ahmad itu bukan yang pertama kalinya karena sebelumnya ia juga merekayasa pembunuhan terhadap anak sulungnya, Tun Beraim Bapa juga karena dibakar cemburu. Tindakan yang kedua berakibat fatal bagi Pasai karena sepeninggal Tun Abdul Jalil, putri Majapahit Tuan Puteri Gemerencang yang telah dibakar asmara menenggelamkan diri di laut Jambu Air, tempat mayat Tun Abdul jalil dibuang. Kematian Tuan Puteri Gemerencang membakar amarah Sang Nata Majapahit. Dalam waktu tiga hari tiga malam Pasai pun dihancurkan oleh bala tentara Majapahit dan untuk sementara waktu, dijadikan sebagai koloni Majapahit. Harta benda Pasai dijarah dan penduduknya dijadikan tawanan. Dalam perjalanan pulang ke Majapahit dengan membawa kemenangan besar, bala tentara Majapahit singgah di Jambi dan Palembang. Kedua daerah itu menyatakan takluk kepada Majapahit. (Hill, 1960: 93-100).

Kejayaan atas Pasai mendorong Sang Nata melakukan perluasan daerah taklukan. Ia minta kepada Patih Gajah Mada bersama dengan Tumenggung Macan Negara, Demang Singa Perkasa, dan Senapati Ing Alaga untuk menaklukkan sebagian Sumatra: Ujung Tanah, Tioman, Bangka, Belitung, Riau, dan Bintan serta sebagian Kalimantan: Sambas, Mempawah, Sukadana, Kota Waringin, dan Banjar. Selain itu, bala tentara Majapahit juga berlayar ke arah Timur menaklukkan beberapa wilayah di Timur seperti Bima, Sumbawa, Selaparang, Bali, dan Blambangan. Semua kerajaan itu menyatakan takluk kepada Majapahit dan secara teratur menyerahkan upeti kepada Sang Nata Majapahit (Hill, 1960: 100-102 ; Jones, 1987: 71).

Belum puas dengan menguasai beberapa kerajaan tersebut di atas, Sang Nata Majapahit kembali merancang perjalanan penaklukan. Akan tetapi, berbeda dengan penaklukan-penaklukan sebelumnya penaklukan itu dilakukan dengan cara mengadu kerbau. Yang menjadi sasaran penaklukan adalah Pulau Perca, dalam hal ini adalah sebuah daerah di pedalaman Jambi yang bernama Priangan. Patih Gajah Mada menemui Patih Suatang, panglima bala tentara Priangan menyampaikan tantangan Sang Nata Majapahit, yaitu jika kerbau Majapahit menang daerah itu harus menjadi taklukan Majapahit, tetapi sebaliknya jika kerbau Majapahit kalah, pasukan Majaphit akan menarik diri dari Pulau Perca. Tantangan Sang Nata disanggupi oleh Patih Suatang. Ia minta waktu selama tujuh hari untuk melakukan persiapan (Hill, 1960: 103-104 ; Jones, 1987: 72-73).

Tahu bahwa kerbau Sang Nata Majapahit adalah kerbau besar, perkasa, serta tiada terlawan, Patih Suatang mempersiapkan seekor anak kerbau yang kuat dan kokoh. Selama tujuh hari anak kerbau itu di tempatkan dalam sebuah kandang dan dibiarkan tidak menyusu. Ketika tiba saatnya kerbau itu diadu, kerbau kecil yang sedang kelaparan itu secepat kilat menyerbu selangkangan kerbau Sang Nata Majapahit dan menetek testis kerbau Majapahit itu. Kerbau Majapahit itu berusaha melepaskan diri dari kerbau kecil tersebut, tetapi sia-sia karena tubuh kerbau itu kecil dan berada di antara selangkangan kerbau Majapahit. Akhirnya, kerbau Majapahit tersebut terus-menerus melenguh, berguling-guling di tanah dan kalah. Para kesatria Majapahit merasa malu menyaksikan kejadian itu (Hill, 1960: 104-105 ; Jones, 1987: 72-73). Mereka mohon pamit kepada Patih Suatang untuk pulang kembali ke Majapahit. Keinginan mereka tidak dikabulkan oleh Patih Suatang. Patih Suatang beserta anak buahnya justru menyiapkan sebuah pesta besar dengan makan dan minum untuk melepas keberangkatan bala tentara Majapahit. Hanya syaratnya, bala tentara Majaphit tidak boleh menenggak minuman sendiri. Mereka minum dengan cara menenggak minuman yang dituangkan ke dalam mulutnya oleh orang-orang Patih Suatang dari sebatang bambu. Karena tidak memiliki kesempatan untuk menolak minuman itu, bala tentara Majapahit mabuk bertumbangan. Pada saat mabuk itulah, para prajuit Majapahit dibantai oleh para pengikut Patih Suatang. Yang bisa melarikan pulang ke Majapahit (Hill, 1960: 105-106 ; Jones, 1987: 74-75).

Setelah makan, maka berdirilah segala hulubalang dan rakyat membawa minuman seorang buluh telang itu, lalu ia hampirlah pada seorang seorang. Maka hendak disambutnya oleh orang Jawa itu tiada diberinya oleh segala rakyat Pulau Perca itu katanya,”Tiada demikian adat kami, melainkan kami juga menuangkan dia kepada mulut tuan tuan akan memberi hormat jamu kami itu.” Maka sekaliannya pun berngangalah, maka tabuh pun berbunyi, maka sekaliannya pun menuangkan lalu meradakkan ke kerongkongannya. Maka setengah mereka itu habislah mati dan setengah mereka itu lari....Maka segala rakyat yang lari itu pun pulanglah ia ke Majapahit dengan Masygulnya dan percintaannya....

Cerita ke-6 SM menunjukkan strategi narasi Melayu dalam menyiasati pertandingan wacana yang terjadi antara Melayu dengan Jawa. Pertama, SM menggunakan genealogi untuk mempertemukan sultan Melaka dengan raja Majapahit. Raja Majapahit digambarkan sebagai anak raja Melayu Tanjung Pura yang pada hakikatnya memiliki pertalian darah dengan sultan Melaka karena sama-sama merupakan keturunan Sang Sapurba. Genealogi ini menempatkan sultan Melaka setara dengan Betara Majapahit. Kedua, berbagai siasat dan tipu daya yang dirancang Patih Gajah Mada dan Seri Betara Majapahit untuk mecelakai sultan Melaka dan para hulubalangnya digambarkan selalu gagal. Kegagalan itu menunjukkan superioritas Melaka atas Majapahit. Ketiga, kekalahan Majapahit yang harus ditebus dengan jatuhnya beberapa daerah taklukannya di seberang lautan ke bawah kekuasaan sultan Melaka, menyiratkan bahwa di hadapan Melaka posisi tawar Majapahit lemah.

Sementara itu, di pihak lain, dapat pula ditafsirkan bahwa segala kebesaran Melaka hanya bisa diperoleh melalui perantaraan kemurahan hati Betara Majapahit. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa peristiwa. Sultan Melaka mendapatkan istri yang setara dengan kebesarannya hanya di Majapahit, yaitu dengan mengawini Raden Galuh Candra Kirana. Di samping itu, dalam berbagai peristiwa yang memojokkan Majapahit, tetapi mengunggulkan citra Melaka, Betara Majapahit bersedia mengakui kecerdikan siasat para hulubalang Melaka dan selalu memberi keleluasaan kepada mereka untuk menunjukkan berbagai kepiawaian mereka yang lain yang kesemuanya hanya akan mengagungkan bangsa Melayu. Bahkan, ketika sultan Melaka minta beberapa daerah taklukkan Majapahit sebagai hadiah, Betara Majapahit pun dengan senang hati melepaskannya. Dari berbagai peristiwa ini, terlihat bahwa sebagian kejayaan sultan Melaka hanya dapat diperoleh dari kebesaran hati Betara Majapahit. Dengan demikian, meskipun ditempatkan dalam posisi yang kurang menguntungkan, kehadiran liyan Jawa merupakan bagian integral dalam SM.

Fenomena di atas semakin mengemuka dalam HHT. Keputusan Sultan Melaka menerima saran Patih Kerma Wijaya untuk meminang putri Seri Betara Majapahit, Raden Galuh Emas Ayu menunjukkan bahwa sultan mengakui hegemoni Majapahit. Lebih-lebih, saran ini berasal dari seorang pejabat senior yang amat disegani yang asalnya adalah pendatang dari Lasem, salah satu wilayah Majapahit. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa anasir Jawa mulai menggerakkan cerita.

Pelibatan Hang Tuah dan keempat sahabatnya dalam misi ini merupakan strategi Kerma Wijaya untuk melibatkan para kesatria Melaka itu dalam pusaran konflik. Kerma Wijaya pasti mengetahui karakter para kesatria Majapahit yang tidak menyukai kehadiran orang-orang Melayu. Dengan demikian, segala peristiwa yang dialami oleh Hang Tuah dan keempat sahabatnya sudah dapat diramalkan. Narator Melayu yang mahatahu (omniscent) merangkai kisah kejayaan para kesatria Melayu ini sebagai sarana untuk mengagungkan citra Melayu di mata orang-orang Majapahit (Jawa). Serangkaian kegagalan siasat Patih Gajah Mada adalah bukti kebesaran Melayu. Ternyata, Melayu tidak mudah ditundukkan bahkan oleh seorang sekaliber Patih Gajah Mada yang dikenal secara luas sebagai ahli strategi yang ulung.

Akan tetapi, keberhasilan itu juga menyulut kedengkian di kalangan para hulubalang Melayu. Mereka khawatir kedudukan mereka akan tergusur oleh Hang Tuah. Karena itu, dengan bersekongkol dengan Kerma Wijaya mereka berusaha menyingkirkan Hang Tuah. Mereka berhasil memfitnah Hang Tuah di hadapan sultan, sehinggga Hang Tuah dihukum buang karena dituduh berselingkuh dengan dayang-dayang istana. Dalam peristiwa ini, liyan Jawa menjadi salah satu faktor penyebab penderitaan Hang Tuah. Peristiwa itu terulang lagi ketika Hang Tuah sekali lagi berhasil mengakhiri segala gangguan yang berasal dari kekuatan subversif Majapahit. Karena fitnah dan kedengkian Kerma Wijaya dan beberapa orang hulubalang Melayu, Hang Tuah sampai dijatuhi hukuman mati. Meskipun hukuman itu kemudian secara diam-diam diubah oleh bendahara menjadi hukum buang untuk yang kedua kalinya.

Barangkali pengalaman buruknya dengan orang-orang Jawa itulah yang menyebabkan Hang Tuah dalam sebuah jamuan yang diadakan untuknya pada masa pembuangannya di Inderapura sampai dua kali menyebut bahwa Jawa-Majapahit adalah penyebab tercemarnya identas Melayu Melaka. Di mata Hang Tuah orang Jawa tidak bercita rasa seni serta tidak pandai menari. Tampaknya, hal ini dimaksudkan untuk menyudutkan orang Jawa bahwa orang Jawa hanya menguasai keterampilan kasar dan kurang memperhatikan kehalusan budi serta perilaku.

Maka Laksamana pun tersenyum seraya berkata: Orang Melaka gerangan Melayu kacukan, bercampur dengan Jawa Majapahit…. Laksamana berbangkit menari…. Maka kata Laksamana: jangan sahaya diajuk karena orang Melaka ini tuannya bercampur Jawa Majapahit tiada tahu menari. (Ahmad, 1997: 199)

Dalam hubungannya dengan berbagai pengalaman buruk yang pernah menimpa Hang Tuah, fragmen di atas dapat dibaca sebagai keraguan diri-Melayu terhadap liyan-Jawa dan mulai bertumbuhnya prasangka buruk Melayu terhadap Jawa. Bagi orang Melayu-Melaka, kejawaan telah mencemari autentisitas identitas mereka. Percampuran itu juga mengakibatkan lahirnya kultur hibrida yang tidak mereka kehendaki (bdk. Maier, 1992: 20). Melalui pembacaan kontrapunktal, yaitu membaca teks dengan mempertimbangkan hal-hal yang tidak ditampakkan dalam teks atau disembunyikan (Said, 1994: 51 ) fragmen di atas juga dapat ditafsirkan bahwa Hang Tuah menyesalkan perkawinan yang dilakukan Sultan Melaka dengan putri Majapahit serta dominasi pelarian Jawa, Kerma Wijaya di istana Melaka.

Kedudukan Kerma Wijaya menjadi kuat karena pada saat melarikan diri ke Melaka dia membawa seluruh kerabatnya beserta 7000 orang pengikutnya (h. 51). Kerabat dan para pengikutnya itu kemudian menjadi kekuatan yang ada di belakang Kerma Wijaya dan menaikkan wibawanya sebagai pejabat penting di bawah sultan. Selain itu, sebagai seorang pejabat senior dia juga berhasil menciptakan jejaring yang luas di kalangan para hulubalang Melaka, khususnya mereka yang tidak menyukai Hang Tuah (h. 192 dan 324). Kerma Wijaya memiliki loyalitas ganda. Meskipun telah memiliki kedudukan tinggi di istana Melaka, dia tidak dapat menyembunyikan kebaktiannya kepada Seri Batara Majapahit. Kerma Wijaya mencoba mengarahkan orientasi hubungan luar negeri Melaka ke Majapahit. Tampaknya, HHT merupakan narasi pertama Melayu yang menengarai tentang adanya kemungkinan bahaya yang ditimbulkan oleh dominasi migran Jawa.

SM dan HHT sebagai narasi sezaman (Andaya, 2004a: 71 dan Maier, 2004: 77) tampak ingin menggugat dominasi Jawa atas Melayu yang pada abad ke-15 hanya mengacu pada Semenanjung Malaysia (Andaya, 2004a: 71). Hal ini terjadi karena pada abad ke-15 Majapahit dan Melayu berebut hegemoni atas negeri-negeri di sekitar Selat Melaka. Hanya bedanya kekuasaan Majapahit tengah menyongsong senjakala, sedangkan Melaka berada pada puncak kejayaannya.

Yang menarik, kedua naratif tersebut menyebut nama Patih Gajah Mada sebagai tokoh yang selalu menimbulkan kesulitan bagi para kesatria Melayu, Hang Tuah lima sekawan. Padahal, secara faktual hal itu tidak mungkin terjadi karena Patih Gajah Mada sudah meninggal pada 1364 (Robson, 1995: 7 dan Ras, 1992: 150). Anakronisme itu terjadi karena dalam ingatan sosial Melayu, Patih Gajah Mada dianggap sebagai musuh bersama yang potensial. Pada 1331 Patih Gajah Mada pernah menyatakan ambisi teritorialnya melalui sumpah palapa yang menyatakan bahwa dia tidak akan beristirahat sebelum berhasil menaklukkan Nusantara (wilayah di luar Majapahit).

Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa. (Brandes, 1920: 36)

Apabila nusantara sudah takluk saya beristirahat, apabila Gurun, Seran, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik sudah takluk pada saat itulah saya beristirahat.



Tak ada bukti yang meyakinkan bahwa bahwa Gajah Mada berhasil mewujudkan ambisi teritorialnya tersebut. Namun, satu tahun setelah Gajah Mada wafat pada 1365, Nagarakertagama menginformasikan bahwa imperium Majapahit di bawah Raja Hayam Wuruk telah memegang kendali atas bumi Melayu: Sumatra, Pahang, sebagian besar Semenanjung Malaysia, sebagian Kalimantan, dan daerah-daerah di Kepulauan Sunda Kecil, Makasar, Maluku Selatan, dan Papua (Pigeaud, 1960-1963 I: 16-18). Apabila daftar yang dibuat oleh Prapanca ini benar, artinya pada saat itu Majapahit berhasil menguasai seluruh wilayah Nusantara. Hegemoni atas bumi Melayu merupakan ambisi lama Kertanegara, raja Singasari, ketika yang bersangkutan pada 1275 menempatkan pasukan yang kuat dalam rangka sebuah ekspedisi di Sumatra (Brandes, 1920: 24) dan Robson, 1995: 54).

Hegemoni Jawa atas Melayu di atas tampaknya juga yang menjadi dasar bagi penulisan bagian akhir HRRP. Berbeda dengan SM dan HHT, HRRP memberi ruang yang seimbang dalam narasinya. HRRP secara terbuka mengungkapkan kehancuran Pasai karena raja yang berkuasa telah bertindak zalim. Patih Gajah Mada dan bala tentaranya merupakan legitimasi bagi penghancuran Pasai karena tidak mungkin ada penghancuran dari dalam. Doktrin raja adil raja disembah, raja zalim bisa disanggah dalam praksisnya telah berubah menjadi raja adil raja disembah, raja zalim (tak bisa) disanggah karena raja secara mistis adalah syah alam dan zil’lullah fi-l-‘alam. Doktrin ini menjelaskan bahwa kekuasaan raja adalah muqaddas dan bisa memaksa segala lapisan masyarakat untuk tunduk dan patuh kepada penguasa. Oleh sebab itu, tidak ada ruang untuk pembagian kekuasaan. Apabila ada, hal itu pasti terjadi karena karena paksaan. Biasanya, peristiwa itu diawali dengan peristiwa kaotis (Sudibyo dalam Wahid, 2006: 294). Serangan Majapahit atas pasai adalah peristiwa kaotis yang mengakhiri kekuasaan Pasai.

Kejatuhan Pasai merupakan sarana negosiasi untuk memunculkan kembali kekuasaan Melayu yang lebih cerdas jika dibandingkan dengan Pasai. Patih Suatang dan bala tentaranya yang tidak lebih perkasa daripada Pasai dapat menghancurkan kekuatan destruktif Majapahit, bahkan dengan cara yang sangat memalukan. Majapahit (Jawa) yang digambarkan hanya mengandalkan kekuatan fisik (bala tentara yang besar dan kerbau aduan yang kuat) dapat dikalahkan dengan taktik dan siasat yang jitu. Bahkan, terkesan bahwa Jawa sangat dungu karena sama sekali tidak dapat membaca taktik dan siasat tersebut. Hal itu terlihat dari ketidaksiapan mereka ketika kerbau aduan mereka dihadapi oleh anak kerbau kecil yang tengah kelaparan dan kelengahan mereka ketika pada pesta mereka dibuat mabuk dan sama sekali tidak menyadari bahaya diminumi minuman keras dari tabung bambu yang ujungnya sudah diraut runcing.

Lepas dari kebenaran faktual informasi yang disampaikan kitab Pararaton dan Prapanca, pada tataran diskursif, ambisi Kertanegara dan Gajah Mada itu tampaknya menjadi salah satu konstruk yang menjadi dasar penyusunan memori naratif SM, HHT, dan HRRP. Ketiga ingatan naratif yang kemudian dituliskan pada sekitar abad ke-17 s.d. 18 itu tidak harus dipahami sebagai kisah tentang peristiwa nyata, tetapi juga tidak boleh hanya disederhanakan sebagai rekaan yang lahir dari mulut tukang cerita.

Proses pengubahan (perubahan) dalam rangkaian transmisi dapat disamakan dengan proses konseptualisasi. Setidak-tidaknya masyarakat memiliki cara untuk menyegarkan ingatan akan masa lampau. Kecenderungan alami ingatan sosial adalah mengesampingkan apa yang dianggap tidak bermakna dan tidak memuaskan secara naluri dalam ingatan kolektif masa lampau dan menyisipinya atau bahkan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih sesuai dengan konsepsi khusus tentang dunia. Proses konseptualisasi yang sering mendiskualifikasi ingatan sosial sebagai sebuah sumber empiris juga merupakan sebuah proses yang menjamin stabilitas seperangkat ide yang diyakini secara kolektif dan memungkinkan ide-ide itu disebarkan dan ditransmisikan (Fentress and Chris Wickham, 1992: 58-59)

Melalui judul yang berkisah tentang sejarah sebuah negeri (SM) dan kisah tentang seseorang (HHT) atau kelompok orang (HRRP), ketiga naratif itu mengisyaratkan bahwa yang dikemukakan di dalamnya adalah fakta atau atau menyerupai fakta. Meskipun pengertian fakta di sini harus dipahami sebagai fakta yang hidup dalam ingatan masyarakatnya. Di samping itu, ketiga naratif tersebut berusaha menarasikan tradisi yang dalam beberapa hal telah ada sebelumnya dalam ingatan masyarakat. Kemungkinan besar, ketiga naratif tersebut dimaksudkan sebagai wacana tanding bagi dominasi teks Jawa yang mendeskreditkan kedudukan bangsa Melayu. Fungsinya adalah untuk menciptakan imbangan kekuasaan antara Melayu dan Jawa karena dalam narasi besar Jawa, Melayu ditempatkan di bawah dominasi Jawa.

D. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian di atas tampak bahwa fenomena otherism atau othernes dalam SM, HHT, dan HRRP, muncul setiap kali identitas Melayu terancam. Pada masa prakolonial Melayu, ancaman potensial datang dari Jawa yang secara diskursif melalui narasi besar Pararaton dan Nagara Krtagama mewacanakan keunggulan imperium Jawa atas tanah Melayu. Metanarasi tentang keunggulan Jawa itu mendapatkan tandingan dalam tiga naratif penting Melayu di atas yang secara persuasif menolak dominasi tersebut. Meskipun demikian, secara tersirat terlihat bahwa penolakan itu justru lebih mengukuhkan kedudukan liyan Jawa. Liyan Jawa yang diberontaki, pada dasarnya dibutuhkan untuk menegakkan identitas Melayu prakolonial yang loyal terhadap penguasa.

Dalam konteks masa kini fenomena fobi terhadap Jawa dan semangat anti-Melayu yang terdapat dalam memori naratif yang pernah muncul dalam serangkaian peristiwa yang menandai pasang surut hubungan antara kedua negara perlu dimaknai dengan lebih bijak. Romantisme sebagai bangsa serumpun harus diinterpretasikan bahwa kedua bangsa bisa berdiri sejajar. Tidak perlu muncul romantisme bahwa bangsa yang satu harus selalu memaklumi apa yang dilakukan oleh bangsa yang lain serta tidak perlu memunculkan kompleks superioritas dan inferiortas, lebih-lebih mimpi-mimpi tentang keagungan Indonesia Raya atau Melayu Raya yang terbukti pernah sangat mengganggu hubungan kedua negara. Sementara itu, laut yang membentang di antara kedua negara hendaklah dipahami sebagai jembatan penghubung bukan sebagai jurang pemisah.

Daftar Pustaka

Ahmad, Kassim. 1997. Hikayat Hang Tuah. Kuala Lumpur: Yayasan Karyawan.

Ahmad, A. Samad. 2006. Sulalatus Salatin: Sejarah Melayu. Edisi Pelajar. Cetakan ke-10. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Andaya, Barbara Watson and Leonard Y. Andaya. 1982. A History of Malaysia. Houndmills, Basingstoke, Hampshire: Macmillan Education LTD.

Andaya, Leonard Y. 2004 a. “The Search for the ‘Origins’ of Melayu”. Barnard, Timothy P. (ed.). 2004. Contesting Malayness: Malay Identity Across Boundaries. Singapore: Singapore University Press.

------------- 2004 b. “Rethinking Malay Relationships: Rulers and Kinship Groups”. Symposium Thinking Malayness. The Research Institute for Languages and Cultures of Asia and Africa Tokyo University of Foreign Studies 19-21 June 2004.

Brace, C. Loring. “Race” Is a Four-Letter Word: the Genesis of the Concept. New York: Oxford University Press.

Brandes. J.L.A. 1920. “Pararaton (Ken Arok): Het Boek der Koningen van Tumapel en van Majapahit”. Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Deel LXII. ‘s Gravenhage: Martinus Nijhoff.

Chou, Cynthia. 2004. “Movement, Shifting Identities and the Imagination”. Symposium Thinking Malayness. The Research Institute for Languages and Cultures of Asia and Africa, Tokyo University of Foreign Studies, 19-21 June 2004.

Fentress, James and Chris Wickham. 1992. Social Memory: New Perspectives on the Past. Oxford: Blacwell Publishers.

Harrison, Nicholas. 2003. Postcolonial Criticism. Cambridge: Polity.

Hill, A.H. 1960. “Hikayat Raja-Raja Pasai: A. Revised Romanised Version of Raffles MS 67 with an Engilsh Translation.” JMBRAS, Volume 33, Part 2, No. 190.

Jones, Russel. 1987. Hikayat Raja Pasai. Petaling Jaya: Fajar Bakti SDN. BHD.

Maier, H.M.J. 1992. “The Malays, the Waves and the Java Sea”. Houben, V.J.H., H.M.J. Maier and W. van der Molen (eds.) 1992. Looking in Odd Mirros: the Java Sea. SEMAIAN 5. Rijksuniversiteit Leiden: VTCZAO.

------------2004. We Are Playing Relatives: A Survey of Malay Writing. Leiden : KITLV Press.

Pigeaud, Th. G. Th. 1960-1963. Java in the fourteenth Century. A Study in Cultural History. The Nagarakertagama by Rakawi Prapanca of Majapahit, 1365 A.D. The Hague: Nijhoff. 5 Vols.

Ras, J.J. 1992. “Java and the Nusantara”. Houben, V.J.H., H.M.J. Maier and W. van der
Molen (eds.) 1992. “Looking in Odd Mirros: the Java Sea”. SEMAIAN 5. Rijksuniversiteit Leiden: VTCZAO. 17

Robson, S.O. 1995. Desawarnana (Nagarakrtagama) by Mpu Prapanca. Leiden: KITLV Press.

Reid, Anthony. 2004 a. “Understanding Melayu (Malay) as a Source Of Diverse Modern Identities”. P.Barnard, Timothy. 2004. Contesting Malayness: Malay Identity Across Boundaries. NUS: Singapore university Press.

-------------2004 b. Sejarah Modern Awal Asia Tenggara. Diterjemahkan oleh Sori Siregar, Hasif Amini, dan Dahris Setiawan. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.

Said, Edward W. 1994. Culture and Imperialism. New York: Vintage Book.

Sudibyo. 2006. “Raja Adil Raja Disembah, Raja Zalim (Tak) Bisa Disanggah: Mistifikasi
dan Pengagungan Kekuasaan dalam Babad dan Hikayat”. Wahid, Puteri Roslina Abd.(ed.). 2006. Prosiding Persidangan AntaraBangsa Pengajian Melayu 2006, 8-9 November 2006. Kuala Lumpur: Akademi Pengajian Melayu.
http://www.indonesiaartnews.or.id/images/spasi.gif*) Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada

0 komentar:

Posting Komentar